Monday 28 July 2014

Mengapa Tidak Mencontoh Sistem Pendidikan Ala Finlandia?

Gina Gustina
Finlandia, sebuah negara bagian Eropa Utara yang merupakan produsen ponsel bermerk Nokia–diklaim sebagai negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik nomor satu di dunia. Berdasarkan suvei PISA (Programme for International Study Assessment) yang dilakukan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development)–yang mana survei ini merupakan alat untuk mengukur dan melakukan komparasi terkait kemampuan belajar siswa berumur 15 tahun dari berbagai negara dilihat dari kecakapan baca tulis, sains, dan matematika–negara ini berhasil menempatkan dirinya pada urutan ketiga teratas setelah Cina dan Korea (hasil survei PISA 2009). Meskipun tidak berada di posisi pertama, namun Finlandia terbukti secara serius dan konsisten mampu mempertahankan posisinya di urutan teratas–sejak survei PISA tahun 2000 hingga tahun 2009.

Ada apa dengan sistem pendidikan di Finlandia?

Finlandia berhasil menjadikan dirinya sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik nomor satu di dunia. Hal ini tentu tidak terlepas dari kerja keras dan keseriusan pemerintah untuk melakukan komitmen demi mensukseskan pendidikan nasional. Ada beberapa prosedur dalam sistem pendidikan di Finlandia yang berbeda dengan sistem pendidikan negara lainnya di dunia.
  • Finlandia tidak menerapkan sistem stratifikasi sekolah, tidak ada istilah sekolah favorit atau pun sekolah rakyat. Semua sekolah di negara ini adalah sama, namun yang menjadi pembeda adalah opsi pelajaran bahasa dan olah raga. Sehingga setiap orang di sana menentukan pilihan sekolahnya bukan berdasarkan cluster sekolah terfavorit atau termahal, tetapi berdasarkan jenis bahasa dan olah raga yang ingin ia pelajari. Hampir semua sekolah merupakan milik pemerintah. Pemerintah tidak membeda-bedakan antar sekolah, karena setiap orang berhak mendapatkan pendidikan yang sama mapan.

  • Finlandia menerapkan konsep testless dalam kegiatan pembelajaran. Artinya, siswa tidak terlalu banyak dibebani oleh tes atau ujian, bahkan tidak ada UTS, UAS, atau ujian nasional seperti yang dilakukan di Indonesia. Siswa menempuh tes hanya ketika ia akan memasuki perguruan tinggi saja. Ujian tidak banyak dilakukan karena ujian adalah alat evaluasi yang sifatnya mengukur kemampuan secara generik dan tidak mampu melihat kecerdasan setiap siswa secara spesifik–karena setiap siswa memiliki tingkat kecerdasan berbeda-beda. Guru di finlandia hanya berfokus pada upaya-upaya untuk mengoptimalkan kecerdasan siswa melalui bimbingan aktivitas pembelajaran di kelas.

  • Kualifikasi guru S2 (Master) dan sudah mengikuti pelatihan keguruan berdasarkan waktu yang telah ditetapkan. Dengan adanya standardisasi pendidikan yang tinggi bagi guru-guru di Finlandia, maka pengelolaan pendidikan akan semakin baik, karena guru adalah subjek yang paling berpengaruh di dalam kelas–sekalipun ketika menerapkan metode student centered.

  • Kurikulum bersifat fleksibel. Artinya, kurikulum didesain dan diserahkan kewenangannya pada pemerintah daerah berlandaskan budaya dan kearifan lokal–karena potensi dan karakteristik setiap daerah tidaklah sama. Sehingga masing-masing daerah dapat mengoptimalkan setiap potensinya.

  • Pendidikan di Finlandia tidak menerapkan sistem ranking. Karena pendidikan diciptakan sebagai alat untuk bekerja sama, bukan sebagai alat untuk bersaing dan berkompetisi. Sistem ranking dianggap dapat melumpuhkan motivasi siswa untuk belajar.
Bagaimana dengan sistem pendidikan di Indonesia?

Katanya Indonesia ingin bangsanya maju, kualitas hidupnya nomor satu, perekonomian mapan, beradab dan berbudi pekerti. Bisa saja, tapi semua angan-angan itu berakar dari pendidikan. Silakan saja untuk serius dulu memapankan sistem pendidikan. Karena tingkat dan kualitas pendidikan sangat menentukan kualitas hidup dan moral suatu bangsa. Mengapa Indonesia belum berani menerapkan sistem pendidikan ala Finlandia? Mengapa pemerintah rela mengeluarkan anggaran sebanyak ratusan milyar demi membiayai UN yang tidak terbukti mampu meningkatkan mutu pendidikan nasional–sedangkan membiayai fasilitas sekolah di daerah (di kampung dan di Indonesia Timur) saja masih belum berani? Padahal UN bukanlah merupakan alat evaluasi yang fair, karena setiap sekolah digeneralisasi dengan beban yang sama sulit (UN), namun tidak semua sekolah memperoleh fasilitas pendidikan yang sama mapan.

Berikut adalah beberapa rekomendasi dan poin pembanding terkait sistem pendidikan di Indonesia :
  • Ujian Nasional seharusnya ditiadakan, karena bukan merupakan alat evaluasi yang fair.

  • Belum ada riset dan survei yang membuktikan bahwa UN berhasil menaikkan mutu pendidikan di Indonesia, termasuk di negara lain. Ini yang menjadi alasan mengapa beberapa negara–di antaranya Cina dan Hongkong menhapus UN (meskipun baru sebatas penghapusan UN SD), karena dianggap menghambat perkembangan pendidikan.

  • Kurikulum seharusnya bersifat fleksibel dan berlandaskan kearifan budaya lokal. Misalnya, penerapan kurikulum tertentu pada sistem pendidikan masyarakat Bali untuk mengoptimalkan corak kebudayaan dan adat setempat, atau kurikulum tertentu yang diterapkan pada masyarakat daerah maritim untuk mengoptimalkan sumber daya kelautan  seperti daerah kepulauan di Indonesia Timur, dan penerapan kurikulum tertentu pada masyarakat Kalimantan untuk mengoptimalkan potensi kehutanan, dan lain-lain. Sistem pendidikan tersebut harus dikelola oleh pemerintah daerah, sedangkan pemerintah pusat tidak perlu melakukan generalisasi kurikulum.

  • Ujian Nasional tidaklah dibutuhkan, kecuali bila pendidikan di suatu negara sudah mencapai titik paripurna, dengan peran sebagai alat konfirmasi dan pembukti kualitas pendidikan yang dianggap sudah mapan, bukan sebagai alat kompetisi. Itu pun mekanismenya harus kembali diserahkan pada pemerintah daerah–karena pemerintah daerah yang lebih mengetahui karakteristik dan potensi masyarkatnya sendiri. Mungkin lebih tepatnya berganti nama menjadi Ujian Nasional Daerah.
Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/23/mengapa-tidak-mencontoh-sistem-pendidikan-ala-finlandia-553853.html

No comments: