Monday 21 July 2014

Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS), Mahakarya Politik Mujahidin

Shoutussalam.com - Daulah Islam Irak dan Syam (Selanjutnya disingkat dengan kependekan versi bahasa Inggrisnya, ISIS) menjadi fenomena yang menarik di pembukaan penanggalan masehi, tahun 2014. Ratusan pendatang yang berkaitan dengan ISIS disikat habis, hingga menculik dan memperkosa wanita-wanitanya.
Alasannya adalah ISIS sebagai salah satu elemen perjuangan Suriah merupakan elemen yang dituding paling brutal. Dituduh paling takfiri, ‘keblasuk’ pemahaman khawarij, mujrim, suka membunuh sembarangan dan lain sebagainya. Hingga akhirnya insiden pembantaian terhadap para muhajirin yang bergabung ke ISIS, yang dianggap sebagai hukuman dari brigade-brigade lain, menjadi topik perhatian khusus.
Hingga akhirnya beberapa media Islam di Indonesia mengangkat secara ramai terhadap ISIS. Pembelaan ini sangat wajar. Sebab di mata media-media ini, kejahatan brigade (yang banyak diidentifikasi sebagai kelompok kriminal) yang menyerang ISIS ini sudah kelewatan. Secara khusus, mereka hanya menargetkan muhajirin dan muhajirat yang bergabung. Mereka tidak berani secara head to head ‘mengadili’ kombatan lokal ISIS.
Kemudian muncullah sebuah masukan, bahwa lebih baik media-media Islam fokus kembali ke perlawanan Syiah, dengan alasan kejadian semacam ini sudah ‘di-setting’. Entah si empunya masukan tidak paham, atau menganut paham yang lain, masukan ini akhirnya membuahkan inspirasi bagi penulis memberikan sedikit opininya untuk menunjukkan bahwa pembelaan kepada ISIS (pembelaan yang bagi sebagian orang terlihat ‘lebay’), adalah pembelaan yang sewajarnya.
Hasil Obrolan Politik Para Pakar Jihad
Lahirnya Daulah Islam Irak, berikut ISIS, merupakan keputusan taktis yang sifatnya politik. Politik macam ini merupakan politik yang halal dan terang benderang kehalalannya. Tidak ada perdebatan bahwa mendirikan daulah dengan jalan musyawarah ini adalah sah, meskipun masalah wajib atau tidaknya baiat kepada amirnya bisa dibicarakan nanti dan tidak akan dibahas di sini.
Mujahidin dari zaman ke zaman di berbagai front telah merasakan ‘getahnya’. Setelah berjuang di front tertentu, mereka dicap sebagai teroris. Dikejar-kejar di sana-sini oleh aparat lokal maupun internasional merupakan cerita yang lumrah dari front internasional semacam Bosnia, Afghanistan, Moro, hingga front lokal semacam Poso dan Ambon.
‘Kegagalan’ masa lalu rupanya membuat mujahidin era masa kini menyimpulkan ijtihad politiknya. Dan hal ini sejalan dengan semacam pembahasan yang dipopulerkan dengan embel-embel teori jihad dan politik jihad yang banyak didengungkan beberapa waktu lalu hingga akhir-akhir ini di Indonesia, serta banyak dilakukan bedah buku untuknya.
Urgensi ungkapan politik dalam jihad ini secara gamblang disebutkan oleh Hazim Al-Madani, yang tulisannya tentang  politik dalam jihad sudah banyak diterjemahkan di Indonesia. Berikut pernyataan tersebut:
“Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa jiwa ikhlas, dan berhasil menghidupkan kecintaan mati syahid. Tapi kita lalai memikirkan kekuasaan (politik), sebab kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Hasilnya, kita sukses mengubah arah angin kemenangan dengan pengorbanan yang mahal, hingga menjelang babak akhir saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan “rahmat”  kepada kita – demikian kosa kata yang biasa mereka gunakan – untuk menjinakkan kita.” (Dikutip dari Refleksi Jihad Aceh, elhakimi.wordpress.com)
****
Proses terjadinya ‘kegagalan’ politik dalam jihad ini dapat dimodelkan sebagai berikut:
Aktivitas Jihadis Lokal   –> Beraktivitas Jihadi di Front  –> Pulang Kampung Jadi Buron
Model seperti di atas tentunya hanya berlaku bagi mereka-mereka aktivis Islam yang digelari sebagai teroris. Atau lebih sopannya lagi, mereka dalam sudut pandangan harokah disebut sebagai jihadis.
Ansyad Mbai (dengan BNPT) sebagai salah satu contoh eksistensi proyek de-jihadisasi telah membuktikan hal ini. Menurut pensiunan petinggi kepolisian ini, mereka yang cinta berjihad dan membela muslimin di Suriah, untuk kemudian pulang lagi ke Indonesia, layak diwaspadai.
“Bahayanya mereka di sana ikut pelatihan. Persis seperti situasi di Afghanistan,” kata Kepala BNPT Ansyad Mbai di Jakarta, Kamis (19/12/2013). ”Kita harus antisipasi, mereka pulang dengan kemampuan perang, mereka bisa tingkatkan aksi terornya di kita,” ujarnya.
Sedangkan seorang mujahid sejati tentunya memiliki sikap seperti yang diibaratkan oleh Syaikh Jihad Modern, DR. Abdullah Azzam. “Sungguh teramat sulit bagi hatiku untuk meninggalkan manusia – manusia yang menuliskan sejarah dengan darah, tinggal bersama mereka mampu untuk memperbaharui hidupku, dan jauh dari mereka seakan akan aku mati, saya dan jihad adalah bagaikan ikan dengan laut atau bagaikan ikan dengan air, sesungguhnya ikan tidak akan bisa hidup diluar air, begitu juga jiwaku dan ruhku tidak akan bisa merasakan nikmatnya kehidupan kecuali didalam medan pertempuran.” begitu mujahid Afghanistan ini mengumpamakan.
****
Bisa dipastikan bahwa pembahasan politik dalam jihad yang banyak dimaksud akhir-akhir ini salah satunya terkait dengan nasib mujahidin yang (maaf) seperti luntang-lantung dan pengangguran. Aktivitas mereka dalam masa pengangguran yang berbahaya bagi penguasa (yang kebanyakan merupakan perpanjangan tangan dari kekuatan kafir internasional), akhirnya membawa mereka dalam ‘kegagalan’.
Tidak jarang ‘kegagalan’ ini berlarut-larut dan membuahkan cibiran serta isolasi dari sesama aktivis, atau bahkan sesama pengaku jihadis. Maka keberadaan ijtihad politik yang kini berada di pusaran konflik Syam merupakan sesuatu hal yang legitimate dan perlu didukung. Sebab terbukti sistem yang diterapkan ISIS ini menetapkan ketiadaan batas-batas nasionalisme. Secara garis besar hanya Islam!
Amaliyat dalam bentuk sekecil mungkin, dalam bentuk yang paling sederhana seperti lonely wolf, sebenarnya merupakan tindakan politis dari setiap pelakunya. Tentunya bekal pengetahuan yang dimiliki setiap komponen berbeda-beda. Namun tindakan sekecil ini tetap saja merupakan sebuah ekspresi politik. Sebab sudah mafhum dalam dunia politik, bahwa sikap untuk tidak berpolitik pada hakikatnya adalah sebuah sikap politik juga.
Oleh sebab itu, dari latar belakang pendirinya, keadaan mujahidin yang perlu melakukan tindakan politik, dan faktor-faktor lainnya, maka eksistensi ISIS adalah sangat legal dan patut didukung. Mereka yang mengaku bagian dari jihadis, atau yang mengaku seperjuangan dari gerakan jihad internasional, seharusnya tak ada udzur untuk tidak mendukung sepenuhnya eksistensi ISIS.
Wallahu a’lam.

Ibnu Malik At-Tabuki
Shoutussalam.com

Sumber: http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/3138/1/negara.islam.irak.dan.suriah.isis.

No comments: