Tuesday 31 May 2016

Efektivitas UU No. 23 tahun 2004 Tentang Tindak Pidana KDRT di Masyarakat Lombok - NTB (pendekatan sosiologi hukum)

Oleh: Arya Sosman




Pandangan masyarakat terhadap kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga diangap sebagai urusan internal rumah tangga sehingga tidak perlu diketahui oleh umum, pandangan ini kemudian membawa implikasi pada keberlakuan hukum positif, artinya kasus-kasus kekerasan rumah tangga jarang terdengar di pengadilan. Kekerasan tersebut berupa penyiksaan baik berbentuk phisik maupun mental yang dilakukan oleh Suami terhadap isteri atau sebaliknya, kekerasan oleh Orang Tua terhadap anak di bawah umur, atau bisa juga kekerasan yang dilakukan oleh anak yang sudah dewasa terhadap orang tuanya. Akan tetapi yang paling dominan adalah kekerasan dari suami terhadap Isteri atau orang Tua terhadap anak di bawah umur sehingga Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, selanjutnya disebut UU No. 23/2004 Tentang KDRT, hanya mengatur perlindungan terhadap Isteri dan anak atau pihak lain di dalam rumah tangga.

Bagi masyarakat di Lombok, kekerasan dalam batas-batas tertentu yang terjadi dalam urusan rumah tangga terhadap kaum perempuan dapat ditoleransi. Batasan yang dimaksud adalah misalnya kekerasan psykolois akibat ditinggal pacaran, dimadu, dan lain­-lain. Demikian juga kekerasan yang bersifat fisik yang tidak meninggalkan luka parah dan bersifat insidensil dan individual. Berbeda halnya kalau kekerasan itu sampai meninggalkan luka, apalagi luka parah, biasanya masyarakat yang diwakili oleh tokoh­tokoh setempat, yang umumnya berasal dari keluarga yang dituakan, akan melakukan pendekatan-pendekatan persuasif, jika yang melakukan kekerasan itu suami yang masih berusia muda biasanya akan dinasehati atau dimarahin. Tetapi jika yang melakukan kekerasan itu suami-suami yang sudah berusia tua, yang sudah tidak memiliki orang tua, biasanya hanya mendapat nasehat dari orang terdekatnya, dan jika nasehat itu tidak di dengar akan mendapat sanksi sosial berupa celaan dan sebagainya. 


Masyarakat Lombok tidak mengenal hukum pidana adat, kalaupun ada saat ini sudah menjadi kenangan sejarah. Karena itu masyarakat Lombok sepenuhnya tunduk pada hukum yang dibuat pemerintah (hukum negara). Karena itu kasus-kasus yang mengandung unsur pidana umumnya langsung menjadi urusan pemerintah (penegak hukum). Akan tetapi dalam konteks rumah tangga di Lombok kekerasan rumah tangga belum tentu dapat dijangkau oleh hukum positif. Sebab kekerasan rumah tangga masih dianggap sebagai urusan internal keluarga, kecuali kekerasan itu menimbulkan daya penderitaan yang dahsyat.


Bagi kaum perempuan (isteri) di Lombok, terutama perempuan tradisional, umumnya hanya menerima jika diperlakukan buruk/kasar oleh suaminya. mereka sering pasrah dan menghubungkannya dengan “nasib”, sehingga biasanya muncul kata-kata sabar, namun pada umumnya seorang isteri akan meminta cerai jika sudah menganggap sikap suaminya berlebihan, sudah di batas ambang kesabaran dan ambang toleransi. hanya saja sang isteri tidak akan melakukan langkah-langkah hukum.  pada umumnya mereka hanya bisa mengadu ke keluarga, kerabat, teman dan sebagainya. Hukum bagi mereka hanyalah fatamorgana, ilusi dan elitis sehingga bagi mereka hukum itu eksklusif – tidak ingklusif. Dengan latar belakang itulah kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak pernah diadukan ke Polisi. 

Berbeda halnya dengan kekerasan rumah tangga yang terjadi di masyarakat modern atau perkotaan, masyarakatnya lebih heterogin, lebih berpendidikan dan lebih mobile (aktif) dan terbuka, dengan sendirinya berbeda cara menyikapi persoalan KDRT dibanding dengan masyarakat yang tinggal di perdesaan. Dengan tipologi yang demikian maka pemahaman serta apresiasinya terhadap hukum positif juga berbeda dengan masyarakat di perdesaan. Masyarakat kota juga mengalami akulturasi sehingga ketaatannya terhadap nilai-nilai tradisional (adat) menjadi berkurang. Itulah sebabnya kasus-kasus KDRT yang terjadi di masyarakat perkotaan lebih mudah terpublikasi secara luas sehingga lembaga pengadilan lebih mudah diingat sebagai tempat penyelesaiannya

Fenomena kekerasan rumah tangga nampaknya tidak lagi dapat dilingkari di ranah adat dan pribadi akan tetapi telah menjadi fenomena sosial secara nasional. Menurut penulis, hal ini terjadi karena: (1) jenis kekerasan rumah tangga beraneka ragam jenis dan bentuknya. (2) efek dari kemajuan teknologi informasi, (3) akibat semakin tingginya tingkat pengenalan dan pengetahuan masyarakat terhadap hukum, 4) akibat makin kuatnya perhatian dunia internasional terhadap masalah ini, dan ke (5) semakin banyaknya kaum perempuan yang terdidik yang kemudian berpengaruh terhadap kemampuannya mengekspresikan hak-hak kemanusiaannya.

Oleh karena persoalan kdrt ini telah menjadi fenomena sosial secara nasional maka pemerintah dan DPR merasa perlu membuat peraturan dalam bentuk undang-udang, dalam hal ini  Undang-undang No. 23 tahun 2004 Tentang Tindak  Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)



Efektivitas UU No. 23 tahun 2004 di Masyarakat Lombok - NTB

a. Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga 

Secara rumum pengertian kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan yang bersifat fisik maupun non fisik (verbal), pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memberikan rumusan pada pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan (istri), adalah sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga)2 

Tidak jauh dari itu Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang KDRT memberikan definisi sebagai “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” (Pasal 1 angka 1). 

Lebih jauh Undang-undang KDRT memberikan rincian pada Pasal 2, bahwa yang termasuk cakupan rumah tangga adalah, sebagai berikut: 

Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua,menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan (Ps 2 (2)). 

Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terutama digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka. Hal ini sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri di mana suami adalah pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya, dan hal ini tidak terjadi sebaliknya. 


Maggi Humm mempertajamnya dengan memberikan lima unsur akan adanya indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu: 

  1. Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau perbuatan, atau ancaman pada nyawa. 
  2. Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat pengabaian dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan 
  3. Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dan lain-lain
  4. Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan.
  5. Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga. 

Dari pengertian-pengertian tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa definisi kekerasan dalam rumah tangga ternyata sangat luas bahkan tanpa kejelasan batasan (ukuran) apakah suatu perbuatan dapat diategorikan KDRT atau bukan dan pasal ini bisa menjadi “pasal karet”, yakni pasal yang bisa ditafsirkan menurut kebutuhan dan atau kepentingan aparat penegak hukum atau siapa saja yang ada di dalamnya. Bisa jadi seorang suami akan dipenjara hanya karena menepis anaknya padahal tujuannya untuk mendidik. 


b. Penyelesaian Kasus KDRT Pada Masyarakat Lombok 

Sebagaimana disebutkan pada bab pendahuluan, bahwa KDRT yang terjadi di masyarakat Lombok lebih dianggap sebagai persoalan pribadi dan urusan internal rumah tangga sehingga masyarakat sering mengabaikannya. Peristiwa KDRT lebih dianggap sebagai persoalan aib keluarga yang tidak pantas diketahui orang lain. Oleh karena itu penyelasaiannya juga secara diam-diam melalui keluarga terdekat, atau melalui mediasi tokoh masyarakat setempat. Jika kejadiannya berulang-ulang biasanya jalan keluarnya adalah “cerai”, bisa atas permintaan si isteri atau pernyataan keputusan si suami. 

Berbeda dengan KDRT terhadap anak kandung, yang melakukan kekerasan bukan hanya pihak ayah tetapi juga pihak ibu. Biasanya KDRT dilakukan karena keadaan luar biasa, misalnya si anak terlalu bandel (nakal) sulit diatur, atau karena faktor-faktor lainnya, yang tujuan sebenrnya adalah edukatif. arat juga terjadi karena faktor karakter orang tua yang tempramental, setres karena menghadapi persoalan berat, dan sebagainya.

Perlu juga diingat bahwa pengertian kekerasan yang dimaksud di sini bukanlah kekerasan sebagaimana dimaksud oleh Undang-undang, karena kekerasan dalam batas-batas tertentu bisa ditolerir oleh-oleh masyarakat setempat, misalnya menghukum anaknya dengan mengurangi jatah makan, atau memberikan pukulan yang tidak menimbulkan luka atau cacatnya bagi si anak, memarahi dengan cara keras dan sebagainya. Kalaupun pihak isteri melakukan pengaduan ke Polisi, biasanya tidak berlanjut ke pengadilan karena dianggap persoalan internal maka pengaduannya dicabut. Oleh karena KDRT bukan delik biasa tetapi merupakan delik aduan, maka pihak kepolisian (aparat penegak hukum) tidak mempunyai alasan hukum untuk melanjutkannya ke kejaksaan atau pengadilan. Dengan sifat dan jenis delik yang demikian akan turut berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan UU No. 23/2004. 


Bagi masyarakat desa, umumnya yang tinggal di pelosok-pelosok, takut kepada aparat penegak hukum, terutama polisi. Polisi bagi mereka merupakan Institusi yang menakutkan, sedangkan pengadilan adalah arena pertarungan bagi orang-orang pinter sekaligus pertarungan uang. Karena itu pengadilan bukanlah tempat yang layak untuk menyelesaikan masalah rumah tangga. Apalagi masyarakat sesungguhnya tidak terlalu percaya dengan lembaga hukum (polisi, jaksa dan pengadilan) sebab mereka menganggap polisi, jaksa dan pengadilan bisa di beli atau bisa ditundukkan oleh pengaruh aparatur pemerintah (Bupati, Camat dan pejabat-pejabat pemerintahan lainnya)


Citra eksklusif dan citra negatif lembaga pengadilan/aparat penegak hukum inilah yang menjadikan kaum perempuan enggan melaporkan kasusnya. Bukan karena mereka tidak mengerti tentang hukum, dalam batas-batas tertentu mereka memahami bahwa penyiksaan, pemukulan yang berlebihan terhadap anak dan sebagainya merupakan pelanggaran hukum. Mereka mengetahui bahwa perbuatan itu menjadikan mereka bisa di penjara. Pengetahuan tersebut didapatkan secara turun menurun sejak jaman Belanda. Jadi jauh sebelum lahirnya UU KDRT tahun 2004 mereka memahami adanya KUHP, walaupun mereka mungkin tidak mengetahui apa itu KUHP, tetapi secara sederhana mereka mengetahui ada hukum dari negara yang melarang perampokan, pencurian, penipuan, penyiksaan, dan sebagainya. 

Jadi Kehadiran UU KDRT bagi masyarakat di Lombok sebenarnya hanya bersifat mempertegas pengetahuan mereka tentang larangan adanya penyiksaan terhadap orang lain termasuk di dalamnya terhadap Isteri dan keluarganya. 
Dengan demikian dapat dismpulkan bahwa efektivitas Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang KDRT tidak berlaku maksimal. Maksudnya kehadiran UU KDRT tidak menjadikan kekerasan dalam rumah tangga hilang atau berkurang begitu saja, atau menjadikan isteri, anak dan keluarga lainnya memiliki kesadaran untuk melakukan pelaporan kepada aparat penegak hukum. UU KDRT hanya diketahui secara terbatas di kalangan terpendidik, baik yang di desa maupun yang tinggal di kota

Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya KDRT 

Ada banyak faktor yang bisa menimbulkan mengapa seseorang melakukan kekrasan dalam rumah tangga, khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Diana Ribka di Jakarta, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai berikut:


Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri, anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruki sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang­wenang terhadap istrinya. Jika sudah demikian halnya maka ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri akan selalu menjadi akar dari perilaku keras dalam rumah tangga. 

Ketergantungan ekonomi, faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya. 

Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik, faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya. 

Persaingan, jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang. 

Frustasi, Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang (a) Belum siap kawin (b). Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga, (c) Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua. Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya. 

Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum, Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami. 

Faktor penyebab yang digambarkan di atas merupakan hasil penelitian di masyarakat perkotaan, tepatnya di kota Jakarta. Oleh karena problema yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di perkotaan jauh lebih kompleks dibanding dengan masyarakat adat yang hidupnya di desa, maka penyebab terjadinya KDRT pada masyarakat yang tinggalnya di desa juga berbeda. 

Masyarakat desa lebih tunduk kepada alam, mereka satu sama lain sangat dekat secara emosional, mereka juga sangat komunal, taat kepada agama sekaligus taat terhadap adat istiadat. Karena itulah masyarakat adat lebih merasa nyaman hidupnya jika hidupnya telah selaras dengan alam semesta telah dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya secara normal. Sehari-harinya mereka bekerja di kebun/ladang/sawah. 
Problema yang timbul di sawah juga sangat sederhana, rutin dan periodik, misalnya masalah air, hama, dan sarana alat produksi (saprodi). Berbeda halnya dengan masyarakat perkotaan, mulai dari masalah sandang, pangan, papan, gesekan dan benturan kepentingan dengan rekan sekerja, godaan hidup yang konsumtif dan sebagainya. 

Derasnya informasi politik, ekonomi, hukum dan yang lainnya menjadikan hidup dijejali dengan suasana kompetisi yang keras. Atmosfir itu sangat mempengaruhi psikologi penduduknya. Sementara di desa suasana seperti itu tidak terjadi. Karena itu penyebab KDRT di kota-kota dengan masyarakat adat yang tinggal di desa tidak sama. Kalau di masyarakat adat penyebabnya lebih banyak disebabkan karena faktor ego laki-laki yang merasa superior dan berikutnya adalah karena faktor watak suami yang buruk. Seorang isteri yang kebetulan mendapatkan jodoh suami yang berwatak tempramental (gampang marah, ringan tangan dan sebagainya) tentu akan sangat gampang mendapatkan tekanan psykologis dan bahkan kekerasan dalam kehidupan rumah tangganya. Demikian juga dengan rumah tangga yang didiami laki-laki yang terlalu membanggakan superioritasnya terhadap isteri akan sulit bagi perempuan terhindar dari kemarahan, tekanan dan kekerasan. Tentu saja faktor-faktor ekonomi juga turut menyumbang.



Kesimpulan 

Dari bahasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa:

Efektifitas keberlakuan UU No. 23/2004 Tentang KDRT tidak dapat berjalan secara efektif dalam arti keberlakuan undang-undang tersebut tidak menjangkau kesadaran masyarakat untuk berhenti melakukan KDRT, karena persoalan KDRT dianggap sebagai urusan internal rumah tangga yang tidak terlalu penting diurus, kecuali jika kekerasan itu mengakibatkan luka yang parah.

Referensi
  • Deklarasi PBB Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Kepada Perempuan, Washington DC, 2000
  • Istiadah, “Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam”, Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan PSP. 
  • Maggi Humm, London: Harvester Wheatsheaf, 1989, h.23 (mengutip dari Novian Djafri, “Tinjauan Pendidikan Sosial dan Hukum Terhadap KDRT”, Jurnal Inovasi, Vol.5, No.4, Desember 2008) 
  • Novian Djafri, “Tinjauan Pendidikan Sosial dan Hukum Terhadap KDRT”, Jurnal Inovasi, Vol.5, No.4, Desember 2008.

No comments: