Monday 3 July 2017

Bentuk Pemerintahan Islam dan Wacana Demokrasi



Oleh: Muhammad Zulifan
(Peneliti, Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam-UI)

Tipologi Bentuk Pemerintahan Islam

Setidaknya ada tiga tipologi pemikiran dalam melihat relasi Islam dan bentuk pemerintahan, yakni bentuk pemerintahan Teo-Demokrasi, sekuler dan moderat (Kamil, 2013:21).

1. Teo-Demokrasi

Abu al-A’la al-Maududi
Tipologi Teo-Demokrasi melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Pandangan ini menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang menyatu.

Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara berdasarkan syariah Islam dan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif bahkan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama yang sempurna, Islam tidak hanya sebagai agama seperti pengertian Barat yang sekuler, tetapi suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan tak terkecuali masalah politik. Adapun tokoh yang termasuk dalam tipologi ini adalah Rasyid Ridha (1865-1935), Sayyid Qutb (1906-1966, Abu al-A’la al-Maududi (1903-1979), dan di Indonesia Muhammad Natsir.

Sayyid Qutb, dalam penjara
husus Indonesia, Muhammad Natsir menyatakan bahwa Islam lebih dari sekedar sistem agama, tetapi suatu kebudayaan yang lengkap. Negara adalah dua entitas relegio-politik yang menyatu. Konstruk negara yang dicita-citakan Islam adalah negara yang berfungsi menjadi alat Islam yang secara formal mendasarkan Islam sebagai ideologinya. Ia berfungsi mengawasi berlakunya nilai-nilai Islam dan menjunjung tinggi supremasi hukum Islam (Effendi, 1998: 78)

2. Tipologi Sekuler

Ali Abd al-Raziq
Menurut tipologi ini, Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara peraturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena itu persoalan negara adalah persoalan sekuler (duniawi) yang pertimbangannya adalah akal dan moralitas (kemaslahatan) kemanusiaan yang bersifat duniawi semata. Negara tidak harus diatur agama, demikian juga negara tidak boleh intervensi masalah agama karena agama dalam persoalan pribadi dan keluarga. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd al-Raziq (1888-1966), A. Luthfi Sayyid (1872-1963), dan di Indonesia Soekarno (1901-1970).

Bagi al-Raziq, misi Nabi adalah misi agama an sich yang tidak ada kaitannya dengan politik
Sukarno
keduniawian (sekuler). Nabi adalah utusan Allah yang ditugaskan untuk mendakwahkan Islam tanpa bermaksud mendirikan negara. Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul yang semata-mata mengabdi pada agama. Kekuasaan nabi adalah kekuasaan rohaniah yang berbeda dengan kekuasaan raja yang mempunyai kekuasaan fisik yang meniscayakannya ketundukan jasmaniyah. Nabi tidak mendirikan kerajaan atau negara dalam pengertian yang selama ini berlaku dalam ilmu politik. Karena itu, tidak ada seorangpun yang dapat mengganti risalahnya (Kamil, 2013: 28).

A Luthfi Sayyid berpendapat hal yang sama. Menurutnya, agama dan negara adalah hal yang berbeda. Dalam membangun negara, kamu muslimin tidak harus mengikatkan diri pada Islam dan pan –Islamisme karena tidak lagi relevan. 

Sikap seperti ini juga diyakini Soekarno di Indonesia. Baginya, agama dan negara harus dipisah agar keduanya berjalan sendiri-sendiri. Negara harus dilepas ikatannya dari negara dan demikian sebaliknya.
Argumen yang dikemukakan Soekarno adalah, jika agama diperkenankan hadir dalam wilayah publik, ia akan menjadi alat politik belaka bagi yang berkepentingan dan juga akan melahirkan rasa terdiskriminasi bagi pemeluk selain agama publik tersebut. Menurut Soekarno, yang mesti diambil dari agama (semisal Islam) adalah api atau semangatnya saja, dan karakter agama juga harus rasional, kultural, dan progresif (Effendi, 1998: 78) 


Di Turki, pemikir yang berpandangan sama dengan pemikir di atas adalah Zia Gokalp (1875-1924). Ia menganjurkan pemisahan masalah dinayet (keyakinan dan ibadah) dan muamalah (sosial), termasuk di dalamnya soal politik. Bagi Gokalp, persoalan agama adalah urusan ulama, sementara persoalan sosial politik adalah urusan sultan atau negara. Hal ini karena persoalamn muamalah sangat dinamis dan berubah-ubah, sementara agama cenderung tidak demikian (Nasution, 2003:168)


3. Tipologi Moderat

Haikal
Tipologi ketiga adalah tipologi moderat. Tipologi ini menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik. Tetapi menolak juga pendapat kedua bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik (Kamil, 2013: 31).

Kendati Islam tidak menunjukkan preferensi pada sistem politik tertentu, namun dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral dan etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara dimana umat Islam bebas memilih sistem mana yang terbaik. Tokoh yang termasuk dalam tipologi ini adalah Muhamamd Hussein Haikal (lahir 1888, penyusun buku Sejarah Hidup Nabi Muhammad, sos)  Muhamamd Abduh (1862-1905), Fazlurrahman, Muhamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid.

Abduh
Haikal (1993:126) berpendapat bahwa di dalam al-Quran dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya tidak diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Oleh karenanya empat khalifah periode awal (khulafaur rasyidin) memang dibaiat masyarakat di masjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Nabi sendiri membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya.

Menurut Haikal, ada tiga prinsip dasar peradaban manusia menurut sumber Islam yakni prinsip monoteisme murni, kedua, prinsip sunatullah (hukum alam/logika kausalitas) yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar sesama manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua.

Sejalan dengan Haikal, Muhammad Abduh termasuk pemikir tipologi ketiga. Menurutnya, Islam bukanlah agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antar sesama muslim dan sesama manusia lainnya yang untuk menjaminnya diperlukan penguasa atau Negara

Bagi Abduh, negara kaitannya dengan agama adalah subsider saja dan pendapatnya juga bahwa tidak ada orang atau lembaga yang memegang kekuasaan keagamaan dengan mempunyai kewenangan wakil tuhan dimuka bumi. Kepala negara adalah seorang sipil yang diangkat dan dapat diberhentikan rakyat, dan kepada mereka ia bertanggungjawab.di Mesir, Partai Nasional Mesir yang dirumuskannya membuka anggota dari seluruh rakyat Mesir, baik yang beragama Islam, Yahudi, Kristen maupun yang lainnya.

Fazlurrahman
Bila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikit Islam setelahnya yakni Fazlurrahman dan Mohamed Arkoun menyebut bahwa dari prinsip disebut al-Quran dan Hadits, preferensi Islam adalah sistem politik demokratis (Azhar, 1996: 150). Fazlur Rahman berpendapat bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstremitas serta ulil amri (penguasa) tidak menerima konsep elitisme ekstrim.

Masyarakat Islam adalah masyarakat yang inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit. Bagi Fazlur Rahman, syuro tidak berati bahwa satu pihak meminta nasehat pada pihak lain sebagaimana dahulu terjadi antara khalifah dan ahlu halli wa al-‘aqdi, melainkan nasihat timbal balik melalui diskusi bersama. Namun demokrasi yang dimaksud Fazlur Rahman adalah yang berorientasi pada etika dan nilai Islam, tidak bersifat material layaknya demokrasi di Barat

Arkoun
Senada dengan Haikal, Arkoun menerima penyataan Ibnu Khaldun bahwa sistem kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif dan hegemonik, seperti yang terlihat pada termonologi bai’ah dan wakil Allah di muka bumi. Dari sini Arkoen menyetujui negara demokratis dan mengkritik para ulama yang telah ikut melestarikan status quo kekuasaan dinasti yang jauh dari moral Islam 
Nurcholish Madjid
Meski demikian, Arkoun juga mengkritik habis sekularisasi gaya Ataturk di Turki yang bagi Arkoun merupakan bentuk kesadaran naif yang didasari oleh kekagetan budaya. Ia juga menolak pembentukan negara Islam ala Khomeini karena telah melakukan sakralisasi terhadap sesuatu yang sebenarnya duniawi. Prinsip kenegaraan Islam menurut Arkoun adalah syura (musyawarah), ijtihad, dan penerapan syariat Islam yang tujuannya untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral, bertanggung jawab dan bermartabat (ibid.:157).

Wacana Islam dan Demokrasi

Terdapat perbedaan di kalangan cendekiawan muslim menyikapi konsep Demokrasi dalam wacana partai politik dan negara Islam. Kalangan yang menerima demokrasi berpandangan bahwa hal itu bukan sebagai problem yang harus dipermasalahkan. Dr. Yusuf Qaradhawi (1997:191) berpendapat bahwa substansi demokrasi sejalan dengan Islam karena Islam dan demokrasi sama-sama menolak diktatorisme. Huwaidi (1996:195) menyatakan, dalam Islam terdapat konsep penyelenggaraan kekuasaan dengan prinsip amanah, musawah, ‘adalah, syuro, ijma’, dan baiat. Prinsip demokrasi dalam al-Quran begitu kuat. Yang diperlukan adalah reformulasi dan reinterpretasi.
Persoalan mendasar dalam melihat hubungan ketiganya adalah keyakinan bahwa tuhanlah yang berkuasa mutlak (QS. Ali Imran:26), meski menurut John L. Esposito penolakan pada demokrasi tersebut lebih karena faktor Barat colonial yang sekuler, bukan penolakan pada demokrasi secara keseluruhan. Meski sebenarnya dalam diri manusia terdapat kekuasaan temporal dari Tuhan seperti ayat teantang manusia sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah:30) dan ayat-ayat free will (al-Kahfi:29 dan ar-Ra’d:11).

1. Sikap Kelompok Pertama

Benar bahwa al-Quran memuat segala hal, namun hal itu hanya aspek etik saja, mengingat al-Quran dalam aspek-aspek social hanya membicarakan prinsip-prinsipnya, yakni ‘adl (keadilan), syura (musyawarah), musawah (persamaan). Bahkan untuk keadilan, Ibn Taimiyah berkata:” Allah mendukung kekuasaan yang adil meskipun kafir, dan tidak mendukung kekuasaan yang dzalim meskipun Islam.”

Kebebasan mengkritik juga dijamin dalam Islam misalnya prinsip amar ma’ruf nahyi munkar (QS. Ali Imran:104). Dalam hadits riwayat Ibnu Majah dikatakan bahwa jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran pada penguasa yang dzalim. Disamping itu terdapat jaminan kebebasan berpendapat ( QS. As-Syura:38, Annisa:59 dan 83; kebebasan berserikat dalam al-Maidah: 2, al-Mujadilah: 22 dan kebebasan beragama dalam QS. al-Baqarah ayat 256 dan Yunus ayat 99.

Argumen yang menunjukkan kesesuaian Islam dan demokrasi adalah penolakan Islam terhadap kediktatoran Namrudz dan Firaun (QS.al-Baqarah:258 dan ad-Dukhan:31); pemilu sebagai kesaksian rakyat (al-Baqarah 282-283), pengecaman terhadap rakyat yang hanya membebek saja ( QS. Al-Qashash:8, 24), negara Islam menjunjung tinggi toleransi dan pluralitas sebagai sunnatullah (Qs. Al-Baqarah 256, Huud:118 Yunus: 99).

Argumen lain adalah bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam adalah bahwa legislasi tidak berarti penentangan terhadap hukum Tuhan karena legislasi di parlemen dalam persoalan yang belum jelas aturannya dalam syariah; multi partai dalam sistem demokrasi merupakan kelembagaan yang akan menghindari kedzaliman, dan yang dimaksud kemultian dalam hal ini adalah dalamarti jenis dan spesifikasi, bukan perselisihan.
Larangan meminta kekuasaan seperti disebut dalam hadits adalah dalam konteks ambisius dan rakus. Pencalonan sebagai bagian dari system demokrasi dibolehkan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Yusuf dan Sulaiman.

Islam mengenal system penerimaan rakyat yang disebut baiat. Kata Nabi, “ada tiga orang yang shalatnya tidak terangakat sejengkalpun di atas kepalanya….pertama, orang yang mengimami shalat suatu kaum, sedang mereka membencinya” (HR. Ibnu Majah). Berdasar hadits ini, salah satu ukuran demokrasi adalah pada tingkat aspiratifnya. Suatu Negara dikatakan demokrasi sejauh ia mencerminkan aspirasi rakyatnya, termasuk di dalamnya tidak bertentangan dengan sistem kepercayaan (agama) yang dianutnya sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat dengan konsep WASP (White, Anglo Saxon, and Protestan).

2. Sikap Kelompok Kedua

Demokrasi ditolak oleh elit di negara muslim karena efektivitas demokrasi terhadap keutuhan bangsa. Demokrasi dianggap melahirkan kekacauan sosial, clean governance yang tidak kunjung tiba sebab maraknya praktik politik uang dan koronisme akibat balas budi terhadap mereka yang berjasa dalam pemilihan presiden atau pilkada langsung. Hal utama penolakan tersebut disebabkan karena demokrasi tidak membawa pada peningkatan kesejahteraan ekonomi (Kamil, 2013: 95).

Alasan kedua penolakan elit muslim terhadap demokrasi adalah karena persoalan teologis. Kelompok ini memandang bahwa demokrasi sebagai sesatu yang haram dalam Islam dan patut diwaspadai. Mereka diantaranya adalah Sayyid Qutb dari Mesir, Thabathabai dari Iran, Ali Benhadj dari Al-Jazair dan Abdul Qadim Zallum, pendiri Hizbut Tahrir.

Sayyid Qutb, seorang ideolog Ikhwanul Muslimin yang dieksekusi rezim Gamal Abdun Nasr pada tahun 1966, sangat keras menentang setiap gagasan kedaulatan rakyat. Bagi Sayyid Qutb, demokrasi merupakan pelanggaran bagi kekuasaan Tuhan. Sedang seseorang yang mengakui kekuasaan Tuhan berarti melakukan penentangan secara menyeluruh terhadap kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian, bentuk, sistem, dan kondisi. Sayyid Qutb menekankan bahwa syariat sebagai sistem hukum sudah sangat lengkap, sehingga tidak ada legislasi lain yang mengatasinya.

Thabathabai, seorang mufasir dan filsuf Iran terkemuka berpendapat bahwa Islam dan demokrasi tidak bisa disatukan karena prinsip mayoritasnya. Menurutnya, setiap agama besar dalam kelahirannya senantiasa bertentangan dengan pendapat mayoritas. Sedang manusia sering tidak menyukai apa yang tidak adil dan benar. Dengan mengutip al-Quran surat al-Mu’minin ayat 70-71, ia berkesimpulan bahwa salahlah mereka yang menganggap tuntutan mayoritas selalu adil dan mengikat.

Senada dengan Thabathabai, Abdul Qadir Zallum berpendapat bahwa demokrasi adalah sistem kufur non Islam (ad-dimuqratiyah nizham kufr) yang bertentangan dengan Islam. Ia berargumen bahwa demokrasi adalah produk akal manusia, bukan Tuhan, bagian dari akidah sekularisme. Dalam Islam kedaulatan ada di tangan syariat, tidak di tangan rakyat. Dalam Islam, prinsip mayoritas tidak memiliki signifikansi karena yang signifikan adalah teks-teks syariat dan kebebasan seperti kebebasan beragama dalam Islam tidak ada.

3. Sikap Kelompok Ketiga

Kelompok ketiga berusaha menyatukan pendapat dua kubu di atas. Kelompok ini dipelopori oleh Abul ‘Ala al-Maududi. Doktrin kedaulatan Tuhan dalam bentuk syariat (hukum Tuhan) yang membatasi kedaulatan rakyat. Bagi Al-Maududi (1990:160), ada kemiripan antara demokrasi dan Islam. Bedanya, dalam sistem politik di Barat, suatu negara demokratis menikmati kedaulatan mutlak, maka dalam demokrasi Islam, kekhilafahan ditetapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang telah digariskan oleh hukum ilahi.

Suatu negara yang didirikan atas dasar kedaulatan de jure Tuhan tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengannnya (Al-Quran dan hadits) sekalipun rakyat menuntutnya. Misalnya kasus UU yang membolehkan minuman keras di negara sekuler, tidak akan terjadi dalam sistem pemerintahan Islam. Namun, tidak berati sistem Pemerintahan Islam mengebiri potensi rasional manusia untuk masalah administrasi dan persoalan yang tidak dijelaskan secara gamblang dalam syariat.

Hal semacan itu dapat ditetapkan berdasar konsensus di antara kaum Muslimin yang memiliki kualifikasi. Sistem Islam usulan al-Maududi ini mengambil jalan moderat. Ia menyebut sistem ini dengan istilah “Teo-Demokrasi” yakni sistem pemerintahan demokrasi ilahi, suatu sistem kedaulatan rakyat yang dibatasi kedaulatan Tuhan lewat syariat-Nya.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Abd al-Athi Muhammad. al-Fikr al-Siyasi Li al-imam Muhamamd Abduh. Mesir: al-Maiat al Misriyyat al –Ammat li al-Kitab, 1978.
al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekulerisme. Bandung: Pustaka, 1981.
al-Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Pustaka, 1984.
Al-Ghazali. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Kairo: t.p. 1320 H.
Al-Maududi, Abul ‘ala. Hukum dan Konstitusi Sistem Poltik Islam, Terjemahan The Islamic Law and Constitution. Bandung: Mizan, 1990.
al-Maududi, Abul ‘Ala. Khilafah dan Kerajaan, terjemah oleh Muhammad al-Baqir dari al-Khilafah wa al-Mulk. Bandung: Mizan, 1996.
Al-Mawardi. al-Ahkam al-Sulthaniyah. Beirut: Dar al-Fikr, Tth.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Asas-asas Hukum Tata Negara Menurut Syariat Islam. Yogyakarta: Matahari Masa, 1969.
Arkoun, Mohamed. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. Jakarta: INIS, 1994.
Azhar, Muhammad. Filsafat Politik, Perbandiangan Islam dan Barat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Effendi, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Haikal, Muhammad Hussein. Pemerintahan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Huwaidi, Fahmi. Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat, terjemahan dari al-Islam wa al-Dimuqratiyah. Bandung: Mizan, 1996.
Kamali, Muhammad Hasyim. Kebebasan Berpendapat dalam Islam. Bandung: Mizan, 1996.
Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik, Agama dan Negara. Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2013.
Khan, Qamarudin. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah. Bandung: Pustaka, 1983.
Nasution, Harun, dkk. Eksiklopedi Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houve, 2003.
Qaradhawi, Yusuf. Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah. Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1997.
Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Ridha, Rasyid. al-Khilafah au al-Imamah al-udzma. Kairo: al-Manar, 1341 H.
Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas, tentang Transformasi Intelektual (terj.). Bandung: Pustaka, 1982.
Rais, Amien. Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan, 1987.
Syadzali, Munawir. Islam dan Tatanegara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI-Press, 1993.
Taimiyah, Ibnu. Al-Siyasah al-Syariah. Kairo: Dar al-Kutub al-Arabi, tt.
Zainuddin, A. Rahman. Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Ibnu Khaldun. Jakarta: Gramedia, 1992.


http://duniatimteng.com/bentuk-pemerintahan-islam-dan-wacana-demokrasi/