Banjarmasin (ANTARA News) - Praktik sistem presidensial setengah hati menjadikan roda pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi tidak efektif.
Penilaian tersebut disampaikan sejumlah pakar politik pada forum seminar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dengan tema Pemilihan Presiden 2009:Pemantapan Sistem Politik Demokrasi dan Pengokohan Reformasi" di Banjarmasin, Selasa.
Hadir dalam seminar itu Prof.Dr.M.Ryaas Rasyid,MA, Prof.Dr.Maswadi Rauf,MA , Dr.J.Kristiadi, Prof.Syamsuddin Haris,M.Si, Firman Noor,MA dan Andrinof Chaniago,M.Si.
Para pakar ilmu politik itu secara khusus membahas materi aktual seperti Evaluasi Sistem Presidensial, Sosok Ideal Presiden RI 2009-2014, Format Kampanye Ideal, Peta Kekuatan Politik dan Kecendrungan Koalisi, Partisipasi Publik dan Budaya Politik Pemilih, serta Evaluasi Pilpres 2004.
"Kalau saja praktek presidensial berjalan optimal artinya presiden menggunakan kewenangan secara penuh dalam mengatur bangsa ini, maka kondisi tidak akan seperti terjadi sekarang ini," ucap Maswadi Rauf ketika sebagai pembicara pada sesi Evaluasi Sistem Presidensial.
Namun karena pertimbangan tetap terpeliharanya stabilitas politik maka terjadilah politik akomodatif atau praktek sistem presidensial setengah hati seperti yang dilakukan Presiden SBY dan Wapres JK dalam menjalankan roda pemerintahan hingga memasuki tahun keempat masa pemerintahan hasil Pemilu 2004.
Di sisi lain sistem presidensial sebenarnya mengandung potensi kebuntuan politik, bila terjadi persaingan seimbang antara presiden dengan parlemen atau DPR.
Sistem presidensial di negara-negara Amerika Latin sudah seringkali terjadi "deadlock" atau kebuntuan yang berlanjut pada terjadi perebutan kekuasan dengan cara makar.
"Hanya saja keuntungan Indonesia pada dua faktor yaitu tidak ada perbedaan mendalam di antara parpol dalam hal ideologi, dan tidak ada tradisi kudeta militer," ucapnya.
Pakar politik dari Universitas Indonesia itu mengingatkan, bukan berarti prektek presidensial di Indonesia tidak menimbulkan kerawanan dan bisa saja terjadi dua hal yang selama ini membedakan Indonesia dengan negara-negara di Amerika Latin.
Sementara itu Syamsuddin Haris berpendapat dalam mengelola negara dengan pertimbangan menciptakan stabilitas itu memang baik, tapi efektifitas roda pemerintahan jauh lebih baik dan menjadi tuntutan mendesak.
Terjadi di Indonesia penerapan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan multi partai atau parlementer, sebagai sebuah sistem yang dipaksakan dan hal itu hanya sebatas imajiner.
"Aneh, partai politik pendukung pemerintah juga melakukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah sehingga sulit mencapai pemerintahan yang efektif," katanya.
Untuk itu Syamsuddin Haris menyarankan agar ke depan Indonesia tidak perlu berubah pada sistem parlementer, tapi juga tidak lagi menerapkan sistem presidensial.
Ada satu pilihan yang dinilai lebih cocok bagi Indonesia yaitu sistem semi presidensial, yang sebenarnya standar dalam tipe sistem negara.(*)
Penilaian tersebut disampaikan sejumlah pakar politik pada forum seminar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dengan tema Pemilihan Presiden 2009:Pemantapan Sistem Politik Demokrasi dan Pengokohan Reformasi" di Banjarmasin, Selasa.
Hadir dalam seminar itu Prof.Dr.M.Ryaas Rasyid,MA, Prof.Dr.Maswadi Rauf,MA , Dr.J.Kristiadi, Prof.Syamsuddin Haris,M.Si, Firman Noor,MA dan Andrinof Chaniago,M.Si.
Para pakar ilmu politik itu secara khusus membahas materi aktual seperti Evaluasi Sistem Presidensial, Sosok Ideal Presiden RI 2009-2014, Format Kampanye Ideal, Peta Kekuatan Politik dan Kecendrungan Koalisi, Partisipasi Publik dan Budaya Politik Pemilih, serta Evaluasi Pilpres 2004.
"Kalau saja praktek presidensial berjalan optimal artinya presiden menggunakan kewenangan secara penuh dalam mengatur bangsa ini, maka kondisi tidak akan seperti terjadi sekarang ini," ucap Maswadi Rauf ketika sebagai pembicara pada sesi Evaluasi Sistem Presidensial.
Namun karena pertimbangan tetap terpeliharanya stabilitas politik maka terjadilah politik akomodatif atau praktek sistem presidensial setengah hati seperti yang dilakukan Presiden SBY dan Wapres JK dalam menjalankan roda pemerintahan hingga memasuki tahun keempat masa pemerintahan hasil Pemilu 2004.
Di sisi lain sistem presidensial sebenarnya mengandung potensi kebuntuan politik, bila terjadi persaingan seimbang antara presiden dengan parlemen atau DPR.
Sistem presidensial di negara-negara Amerika Latin sudah seringkali terjadi "deadlock" atau kebuntuan yang berlanjut pada terjadi perebutan kekuasan dengan cara makar.
"Hanya saja keuntungan Indonesia pada dua faktor yaitu tidak ada perbedaan mendalam di antara parpol dalam hal ideologi, dan tidak ada tradisi kudeta militer," ucapnya.
Pakar politik dari Universitas Indonesia itu mengingatkan, bukan berarti prektek presidensial di Indonesia tidak menimbulkan kerawanan dan bisa saja terjadi dua hal yang selama ini membedakan Indonesia dengan negara-negara di Amerika Latin.
Sementara itu Syamsuddin Haris berpendapat dalam mengelola negara dengan pertimbangan menciptakan stabilitas itu memang baik, tapi efektifitas roda pemerintahan jauh lebih baik dan menjadi tuntutan mendesak.
Terjadi di Indonesia penerapan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan multi partai atau parlementer, sebagai sebuah sistem yang dipaksakan dan hal itu hanya sebatas imajiner.
"Aneh, partai politik pendukung pemerintah juga melakukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah sehingga sulit mencapai pemerintahan yang efektif," katanya.
Untuk itu Syamsuddin Haris menyarankan agar ke depan Indonesia tidak perlu berubah pada sistem parlementer, tapi juga tidak lagi menerapkan sistem presidensial.
Ada satu pilihan yang dinilai lebih cocok bagi Indonesia yaitu sistem semi presidensial, yang sebenarnya standar dalam tipe sistem negara.(*)
http://www.antaranews.com/print/99360/
No comments:
Post a Comment