Para “wakil rakyat” yang dipilih oleh rakyat sering kali
mendesain kebijakan yang menguntungkan mereka, keluarga mereka, dan
mereka yang mempunyai kepentingan yang sama dengan mereka.
CALIFORNIA, Jaringnews.com - Tahun 2014 Indonesia
“merayakan” pesta demokrasi lagi. Era Reformasi diharapkan membawa
bangsa dan negara Indonesia ke arah yang lebih baik, dimana kemakmuran
dan kemaslahatan rakyat bisa dirasakan dengan lebih merata. Sayangnya,
ini sering kali hanya menjadi platform partai-partai yang bergulat dalam
memenangkan suara.
Rakyat sendiri terbagi atas mereka yang sadar akan pentingnya
memberikan suara dan mereka yang hanya menerima uang sekadarnya untuk
suara mereka. Yang termasuk ke dalam golongan pertama terbagi lagi atas
mereka yang aktif secara politis, mereka yang tidak begitu aktif secara
politis namun memberikan suara secara legal dan ofisial, dan mereka yang
apatis. Ketiganya mempunyai keterbatasan yang nyata, yaitu hanya mampu
memberikan suara alias “memilih” dari yang disodorkan.
Rakyat mempunyai keterbatasan dalam menentukan arah demokrasi. Mereka
hanya bisa menyatakan ketidaksukaan akan suatu rezim, namun mereka tidak
bisa mempengaruhi kebijakan secara langsung, mengingat mereka sangat
dibatasi. Para “wakil rakyat” yang dipilih oleh rakyat dari suatu daftar
panjang sering kali mendesain kebijakan yang menguntungkan mereka,
keluarga mereka, dan mereka yang mempunyai kepentingan yang sama dengan
mereka.
Kecenderungan ini bisa diamati baik di Indonesia maupun di
negara-negara lain. Dunia sedang mengalami krisis demokrasi. Pergantian
rezim baik secara “demokratis” maupun “tidak demokratis,” tidak selalu
membawa perubahan berarti yang diharapkan oleh rakyat. Ini adalah fakta
dalam demokrasi sebagai pengalaman kolektif.
Dalam Counter Democracy, Pierre Rosanvallon menyatakan bahwa publik
kurang menyadari miskonsepsi tentang menurunnya kepercayaan terhadap
demokrasi. Elemen yang perlu diamati dengan kritis adalah demokrasi
sebagai pengelolaan ketidakpercayaan, bukan tentang kepercayaan yang
diberikan oleh publik.
Era teknologi sekarang memungkinkan pengawasan terhadap demokrasi
dilakukan dengan sekejap saja. Kombinasi antara fitur Internet dengan
smartphone serta berbagai gadget memungkinkan setiap warga negara untuk
melakukan monitoring, sehingga kekuasaan sesungguhnya terbagi dengan
manis antara rakyat dengan para “penguasa” alias “wakil rakyat yang
dipilih oleh rakyat.”
Pertukaran posisi dari “rakyat yang tidak berdaya” ke “rakyat dengan
kekuasaan mengawasi” memungkinkan untuk menggulingkan pemerintahan
dengan dalih “liberalisasi” sebagaimana terjadi di berbagai negara.
Namun sering kali harapan ini tidak terpenuhi. Termasuk di Era Reformasi
atau Pasca-Reformasi.
Perhatikan berbagai rezim di Indonesia yang bertindak sebagaimana
“kemauan pasar,” yang menyembunyikan nosi tirani mayoritas. Berbagai
kebijakan didasari oleh “kemauan pasar” yang tidak begitu jelas efeknya
terhadap kepentingan rakyat mayoritas. Di sini terjadi ketimpangan
antara harapan rakyat akan representasi yang mengutamakan kepentingan
rakyat dengan fakta bahwa pesta demokrasi hanyalah suatu instrumen bagi
segelintir orang untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan yang
mengatasnamakan orang banyak.
Berbagai retorika dan statistik ekonomi menjadi indikasi bahwa
segelintir “representatif” rakyat sudah bekerja dengan sebaik-baiknya.
Namun berbagai indikator menunjukkan bahwa kesejahteraan umum masih
merupakan perjalanan panjang yang mungkin semakin sulit di capai.
Di Amerika Serikat yang sudah dianggap sebagai Bapak Ideologi Demokrasi
mengalami kesulitan dalam menjalankan demokrasi sebagai ideologi yang
memberikan kesejahteraan merata, karena ternyata yang menjadi motor
adalah sisi kapitalismenya. Dalam kapitalisme, pemilik kapital mempunyai
bargaining position yang tinggi dan demokrasi memberikan “pasar” bagi
mereka.
Di Indonesia, ternyata juga serupa. Ekonom Harvard Dani Rodrik dalam
The Globalization Paradox menulis bahwa dunia tidak bisa menjalankan
secara stimultan globalisasi hiper, demokrasi dan determinasi diri.
Menurut Rodrik, rakyat berhak memilih namun hak mereka tidak datang
dengan serta merta untuk memilih kebijakan yang mengutamakan kepentingan
mereka.
Di Indonesia, kita bisa perhatikan berbagai kebijakan pemerintah yang
menimpakan kewajiban kepada segelintir kelompok sedangkan pemerintah
sendiri dibebaskan dari kewajiban tersebut. Ini bisa kita lihat
daritidak adanya sistem yang memberikan bantuan kepada mereka yang gagal
mendapatkan pekerjaan dalam jangka waktu tertentu, sedangkan para
pemilik usaha yang mempekerjakan pegawai diharuskan untuk memberikan
pesangon yang sangat tinggi jumlah ketika mem-PHK-kan seseorang. Ini
sebenarnya bisa dibuatkan sistem dimana pemerintah memberikan bantuan
sebesar jumlah pajak yang disetor selama masa kerja bagi mereka yang
sedang mencari pekerjaan berikutnya.
Juga bisa kita perhatikan berbagai kebijakan yang memberikan kesempatan
bagi segelintir kelompok untuk mengambil keuntungan dari apa yang
seharusnya menjadi bagian dari kepemilikan publik, misalnya liberalisasi
penjualan tanah serta monopoli telekomunikasi.
Di AS, ketimpangan akses terhadap penciptaan dan penerapan kebijakan
sangat menguntungkan segelintir orang yang bisa dibaca dari satu persen
dari penduduknya menguasai 35.4 persen seluruh kekayaan. Bagaimana
dengan di Indonesia?
Rodrik menyebut kondisi demokrasi dewasa ini sebagai democracies without choices, sovereignty without meaning, and globalization without legitimacy. Hak-hak hadir tanpa akses nyata terhadap perubahan. Tantangan agar hasil nyata dari Pemilu 2014 lebih baik. Bisakah?
* Jennie S. Bev adalah penulis dan kolumnis berprestasi yang bermukim di California. Arsip tulisannya jenniesbev.typepad.com.
(Tim / Tim)
Sumber: http://jaringnews.com/politik-peristiwa/opini/46389/jennie-s-bev-tantangan-demokrasi-mengelola-krisis-kepercayaan
No comments:
Post a Comment