Friday, 11 September 2009

Mempertanyakan Bangsa Indonesia (2)

Oleh: Nurchalis Madjid

KEMUDIAN dirumuskan cita-cita keindonesiaan yang disebut sebagai Pancasila. Ini sama dengan salah satu tonggak dari amerikanisme yakni kata-kata dalam deklarasi Amerika yakni kesucian: egalite, liberty dan fraternity. Juga tiruan motto Bhinneka Tunggal Ika yang diambil dari ungkapan suci perbendaharaan kata Hindu-Budha. Lambang negara Burung Garuda pun tiruan dari Amerika.
Satu hal yang tidak kita tiru dari Amerika dan harus dibayar mahal yaitu ide federalisme. Disebabkan oleh dominasi konsep orang Jawa. Bung Karno pun tidak suka dengan negara federalisme maka ada pepatah persatuan dan kesatuan.
Ini jadi satu instropeksi bagi bangsa Indonesia. Salah satu persoalan dari Indonesia adalah mindset imperialistik pada orang Jawa tercermin dalam istilah Jawa dan luar Jawa- we and they.
Maka, orang Jawa tidak setuju dengan konsep negara federal melainkan memilih negara kesatuan. Tapi sekarang kita membayar dengan mahal sekali. Kecenderungan logisnya ialah pemerintahan yang terlalu tersentralisasi, dominasi dari Jakarta. Uang pun lebih dari 50 persen beredar di Jakarta sedangkan 50 lainnya tersebar di berbagai daerah luar Jakarta.
Akibatnya, karena kita terbiasa berpikir dalam suatu tatanan politik, penyelesaian masalah itu selalu berdimensi top down. Maka secara tidak terasa kita terdidik nature dalam suatu mindset mengharapkan segala sesuatu dari atas. Akibatnya kita tidak bisa mengambil inisiatif dari bawah atau tidak terbiasa.
Bung Karno hidup dalam suatu waktu yang sangat dikompakkan dan harapan begitu tinggi. Ketika dia menjadi presiden mencoba melaksanakan semua ide mengenai negara nasional modern. Tapi karena belum ada prasarana sosial kultural untuk menopangnya, akhirnya gagal. Kegagalannya membawa Indonesia ke malapetaka politik Tahun 1965.
Lalu Soeharto tampil. Dia tidak sekolah, tapi cerdas luar biasa. Dia jenius. Karena kecerdasannya dia tahu bagaimana mengatasi masalah Indonesia dan cenderung single mindedly, bahkan terkesan dia ingin menyelesaikan masalah Indonesia dengan caranya sendiri.
Seolah-olah dia tidak mau mengulangi kebingungan Bung Karno. Maka dia menyelesaikan Indonesia dengan cara militerisme plus Jawanisme, the communitely-nya adalah hirarkies dan ketaatan.
Biar pun Soeharto cerdas by nature - karena tidak sekolah - maka dia tidak punya wawasan tentang modern national state. Maka, konsep kiprahnya diambil dari tradisi pengalaman di Jawa, desa dan wayang. Sehingga dia tampil sebagai presiden namun tingkah lakunya seperti lurah desa Kemusuk. Ini yang membuat dia gagal.
Adapun yang membuat Soeharto awet 32 tahun sedangkan Bung Karno hanya enam tahun kurang karena efisiensi dan efektivitasnya mengikuti cara militerisme dan Jawanisme. Tapi karena secara alamiah bertentangan dengan konsep-konsep dasar dari negara modern seperti yang diletakkan oleh pendiri bangsa, maka dengan sendirinya gagal. Kegagalan itu paralel dengan naiknya kaum terpelajar.
Yang penting masyarakat sama-sama menjadi terpelajar lalu bisa bertemu siapa saja. Biasanya itu muncul setelah suatu investasi yang disebut human investment seperti pendidikan berjalan satu generasi. Sehingga ada siklus satu generasi 20 tahunan: 1908-1928 dan 1945.
Mereka mau suatu periode-periode memetik buah dari suatu investasi. Sedangkan tahun 1965 adalah suatu periode memetik buah invenstasi yang salah. Nah tahun 1985 ada satu gejala yang luar biasa pentingnya.
Tapi kita tidak tahu yaitu naiknya peranan lulusan universitas, yang sudah dimulai sejak tahun 1950-an, berkat Wahid Hasyim (Jawa-NU-pesantren) dan Bahder Johan (Sumatera-Muhamadiyah-VHS) di bawah kabinet Natsir yang buat kesepakatan bahwa dualisme pendidikan Indonesia harus di atasi dan dijadikan nasional.

No comments: