Friday 11 September 2009

Mempertanyakan Bangsa Indonesia (3)

Oleh: Nurchalis Madjid

TAPI tidak bisa secara segera dengan cara pelan-pelan. Supaya didorong keduanya menuju komprehensi dengan cara memberi pelajaran agama pada sekolah umum dan pelajaran umum kepada sekolah umum. Sehingga halangan psikologis bagi anak-anak santri untuk masuk sekolah menjadi hilang.
Nah tahun 1970-an mereka mulai lulus universitas. jadi ada intelektual boom, tapi peranannya belum terasa karena mereka umumnya masih muda. Maka mereka lebih sibuk pada urusan domestik, pekerjaan susah, rumah juga susah yang paling gampang cari jodoh.
Tapi itu cukup untuk membuat mereka input looking dan baru setelah masa ini selesai pada tahun 1980-an mereka output looking, maka di mana-mana ada gejala yang didominasi oleh mereka ini. Tahun 1985 merupakan puncaknya karena pada tahun 1986 Moerdiono sudah diingatkan bahwa sampeyan akan jadi korban dari sukses sendiri.
Karena mensponsori pendidikan berusaha untuk menaikkan taraf hidup, tapi tidak antisipasi konsekuensinya yaitu artikulasi, Indonesia akan semakin ribut karena semua orang akan bicara. Dan dalam kombinasi satu sama lain yang melibatkan ratusan ribu orang akan menjadi energi politik dan biasanya yang dipukul pertama adalah pemerintah.
Akhirnya itu terbukti. Jadi sebetulnya Soeharto menjadi korban dari suksesnya sendiri. Selain dari hal-hal yang sudah menjadi wacana umum seperti perlakuan-perlakuan yang tidak benar terhadap anaknya sendiri. Inti sebetulnya dia tidak berhasil mengantisipasi suksesnya sendiri.
Termasuk harmonisasi komunikasi, Soeharto punya peranan besar sekali. Kalau Indonesia kini makin Indonesia dan makin homogen karena fasilitas komunikasi broadcast satelit Palapa.
Tiba-tiba orang Indonesia yang di desa terpencil pun sekarang jadi faham politik karena melihat televisi. Sekarang relatif lebih homogen dibanding dulu. Cuma karena Harto lebih menekankan kepada ekonomi maka ada segi yang dilupakan yakni nation building-human resources building berkenaan dengan masalah kesadaran kebangsaan.
P4 yang disponsori kontraproduktif, karena itu indoktrinasi. Sebenarnya Indonesia adalah bangsa yang besar sekali yang masih dalam proses menjadi. Indonesia bangsa yang belum selesai.
Justru sekarang dengan adanya Gus Dur ini (sebetulnya bukan Gus Durnya yang penting tapi proses Pemilu dan pemilihan Presiden yang demokratis), maka saat ini merupakan kesempatan emas untuk merealisa semua ide terbaik mengenai negara nasional modern.
Kalau dulu kita tahu dari membaca, sekarang kita belajar dari pengalaman-eksperimentasi. Sehingga ada trial and error, ada biaya dan keuntungan. Kita harus berusaha supaya biayanya tidak begitu tinggi sehingga kita tidak kuat membayar. Kalau tidak kuat membayar maka kita ambruk.
Perolehan reformasi yang paling penting dan berharga adalah kebebasan. Selama masyarakat bebas maka seluruh proses bisa dikontrol karena terbuka. Tapi kalau tidak bebas tiba-tiba saja semua itu palsu, begitu terowongan kita lewati dan kita kembali ke terowongan maka kita dapati semua itu palsu. (sari perhumas luncheon talk)
Penulis adalah (Ketika tulisan ini dibuat masih menjabat sebagai Rektor Universitas Paramadina)

No comments: