Thursday 18 August 2011

Bangsa Yang Belum Sembuh (2 habis)

Ketimpangan kesejahteraan yang dialami secara berkepanjangan oleh bangsa Indonesia ditengarai disebabkan oleh beberapa hal:
1. Tingkat pendidikan yang masih rendah sehingga jumlah golongan terpendidik masih rendah. Rendahnya pendidikan ini berakibat luas dan masif ke berbagai bidang, misalnya sangat terasa di bidang politik. Sejak reformasi di tahun 1998, ketika demokrasi dan HAM diperkenalkan secara sungguh-sungguh di Indonesia, bagi rakyat demokrasi itu adalah demonstrasi, sehingga hampir seluruh persoalan diselesaikan melalui demo. Ironisnya seringkali demo berubah menjadi anarkhis. Di lain pihak rakyat menganggap HAM itu adalah masalah elit bahkan dikatakan “titipan” asing (barat), mereka tidak paham, padahal HAM itu sebenarnya telah ada bersamaan dengan lahirnya agama. Bahkan hampir bisa dipastikan agama lahir karena pelanggaran HAM yang berlebihan yang dilakukan para penguasa tyran saat itu. Jangankan rakyat, aparat penegak hokum, utamanya polisi, terlihat masih gagap mengimplementasikan HAM di lapangan. Penyakit ini masih memerlukan beberapa waktu untuk penyembuhannya. Pemerintah harus serius membangun dunia pendidikan.

Dalam konteks yang lain, dalam Pemilihan langsung misalnya, betapa hasilnya mengecewakan. Anggota legislative, terutama di daerah yang terpilih bukan orang-orang terbaik dari daerah pemilihannya, bahkan banyak diantara mereka adalah pecundang. Demikian juga dampaknya di sector ekonomi, sangat sulit mencari orang yang punya kemampuan mengelola usaha-usaha secara professional, sehingga setiap bantuan datang dari pemerintah untuk UKM misalnya, dana yang diberikan itu akan hilang begitu saja. Hanya satu, dua UKM yang mampu mengelola dana bantuan secara baik dan berhasil. Kegagalan mereka umumnya disebabkan factor pendidikan dan pengalaman.

2. Mental pengelola Negara yang buruk adalah penyebab Negara ini dikelola dengan cara yang salah. Dari periode ke periode, masalah korupsi tidak pernah habis-habisnya, selalu saja kasus-kasus korupsi menjadi topik-topik unggulan media massa yang melibatkan para pengelola Negara, dari yang kelas teri sampai yang kelas kakap. Sungguh mengerikan, betapa ironisnya bangsa yang 100% bertuhan dan 80-90% diantaranya Islam, justeru perilaku korup tumbuh dengan suburnya. Orang sering mengatakan perilaku korup ini sudah membudaya, artinya perbuatan korup itu seakan-akan mengalami pembenaran secara diam-diam karena itu perbuatan itu menjadi biasa di mana-mana.

Dampak Korupsi ini tentu sangat dahsyat. Negara mengalami kerugian besar yang uangnya berasal dari rakyat. Sekedar ilustrasi singkat; Seorang Pemborong mendapatkan proyek dari Pemerintah, ada aturan yang tidak tertulis, bahwa Sang pemborong akan memberikan fee minimal 10% dari nilai proyek kepada pemberi pekerjaan (pemerintah). Misalnya nilai proyek Rp.100 juta x 10% = 10 juta. Ingat saya katakan ini nilai minimal, jadi bisa jauh lebih tinggi, tergantung deel. Ini yang menyebabkan perusahaan tersebut mengurangi kualitas pekerjaan, bahkan terpaksa menyunat gaji karyawannya, mengurangi kualitas manajemen internalnya, mengurangi kualitas SDMnya dan sebagainya.

Karenanya jangan heran kalau sektor swasta tidak maju maju di Negara ini. Seorang karyawan swasta, kecuali sector-sektor tertentu seperti perbankan, tidak ada pikiran untuk terus-terusan bekerja di perusahaan itu. Selalu saja ada upaya mereka untuk masuk menjadi PNS karena dianggap pekerjaan yang paling prospektif. Persoalan mental ini pula yang menjadikan para penyelenggara Negara berperilaku feodal, bermental boss sedangkan rakyat adalah bawahannya. Jadi jangan heran jika seorang anak bangsa yang mendatangi kantor pemerintah akan dipandang sebelah mata oleh para karyawan.
Selain itu para penyelenggara Negara selalu ingin mencari selamat, mementingkan diri sendiri, memperkaya diri sendiri dan sebagainya. Mental-mental seperti ini sudah sangat kuat menghujam dibalik kulit para PNS. Walaupun demikian tentunya, tidak semua PNS, penyelenggara Negara yang bermental seperti itu, namun sayangnya jumlah mereka terlalu kecil.

3. Mental Para Penegak Hukum mulai dari Polisi, Jaksa sampai dengan Hakim juga sangat buruk. Pengakuan masyarakat yang pernah berurusan dengan mereka-mereka sungguh memalukan. Orang memelesetkan KUHP = Kasi Uang Habis Perkara plesetan ini ditujukan bagi ke-3 lembaga penegak hukum tersebut. Memang Pemerintah berupaya membenahi keadaan ke 3 lembaga ini namun saya melihatnya masih jauh dari mimpi. Sebagai rakyat kecil hanya bisa berharap keadaan ini segera berakhir.

4. Kualitas pendidikan atau out put pendidikan, mulai dari SD sampai dengan Peguruan Tinggi sebagian besarnya memperihatinkan. Banyak sekali lembaga pendidikan yang asal-asalan tanpa sedikitpun mempertimbangkan kualitas. Output pendidikan yang buruk ini kemudian menimbulkan pengangguran intelektual secara masal, artinya pengangguran kaum terpelajar karena tidak mendapatkan pekerjaan. Jika kualitas pendidikan Negara ini baik, sduah pasti banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghasilkan uang. Invention yang berasal dari tenaga-tenaga berkualitas akan terus berkarya berkarya dan berkarya. Tapi ini belum bisa dilakukan. Kita memang masih berharap terhadap beberapa lembaga pendidikan yang sudah professional, seperti ITB, UI, UGM, IPB dan lain-lainnya.

5. Faktor mental masyarakat yang malas belajar ilmu pengetahuan, tidak punya etos kerja sebagaimana orang Jepang, China, Korea dan sebagainya. Jika kita masuk ke rumah-rumah orang di seluruh negeri ini, kita akan menyaksikan betapa rumah sangat kering dengan buku atau sumber2 ilmu pengetahuan lainnya. Orang lebih suka mengumpulkan barang-barang konsumtif dari pada buku, orang lebih suka bergunjing dari pada membicarakan ilmu, orang lebih suka menghayal dari pada berpikir, orang lebih suka bermimpi daripada membaca, orang lebih suka berbicara daripada menulis dan mendengar. Kenyataan ini adalah penyakit kronis bagi bangsa yang tanah airnya sangat subur dan kaya ini. Orang menyebut tanah air ini surga tapi penduduknya seakan tinggal di neraka.

6. Mental saling salahkan antara penguasa dengan yang dikuasai. Rakyat selalu menuduh pemerintah tidak becus, sebaliknya pemerintah juga menuduh rakyat terlalu bodoh untuk menerima gagasan dan program pembangunan yang canggih. Rakyat tidak sanggup menerapkan nilai agung dan beradab yang membalut suatu undang-undang sehingga wajar rakyat hanya taat pada hukum jika ada polisi. Sebaliknya rakyat menganggap Pemerintah tidak transparan, pemerintah sering diam-diam membuat Undang-undang pesanan bangsa lain dan merugikan rakyatnya.

7. Anggota DPR/DPRD yang terkesan over acting, meraka yang semuanya adalah kepanjangan tangan partai sesungguhnya lebih memilih mendukung dan berjuang untuk kepentingan partainya daripada untuk kepentingan rakyat. Ironisnya banyak diantara mereka yang hanya memanfaatkan lembaga ini untuk status social semata dan mencari keuntungan pribadi. Kondisi ini tercipta karena latar belakang anggota DPR/DPRD sangat beragam status social/status ekonominya dan juga status intelektualnya. Seandainya anggota DPR/DPRD rata-rata memiliki latar belakang status social yang baik, status intelektual yang baik maka bisa dipastikan mereka akan menjadi lembaga wakil rakyat beneran. Jadi mereka akan mendukung atau tidak mendukung program pemerintah dilakukan secara profesional dan proforsional.

Jadi selama mental penyelenggara Negara masih buruk, mental masyarakat masih buruk, mental aparat penegak hukum masih buruk, maka jangan terlalu berharap Indonesia bisa maju bersaing dengan Malaysia, Singapura, Korea, Jepang dan Negara-negara barat lainnya.

Bangsa ini masih mengalami penyakit berkepanjangan dan sampai saat ini belum mendapatkan obatnya. (arya sosman)

No comments: