Saturday 7 November 2009

Telisiklah Perekayasa Kasus KPK

(Editorial Koran Tempo)
Pembentukan tim pencari fakta dugaan rekayasa kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah patut disambut baik. Tapi tim ini harus bekerja maksimal agar khalayak tidak semakin kecewa. Tidak sekadar menelisik kriminalisasi dua tokoh antikorupsi ini, mereka perlu pula merekomendasikan agar pejabat kepolisian dan kejaksaan yang bersalah diberi sanksi setimpal.

Khalayak kesal lantaran dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi itu dijerat tanpa bukti memadai. Mereka dituduh menyalahgunakan wewenang, padahal KPK memang berwenang menyadap dan memerintahkan pencekalan. Bibit dan Chandra semula juga disangka menerima suap, tapi belakangan dituding hanya memeras. Semua tudingan ini mengada-ada karena mereka mengaku tidak pernah menerima duit dari Anggoro Widjojo, buron kasus korupsi pengadaan radio komunikasi di Departemen Kehutanan.

Baik penyalahgunaan wewenang maupun pemerasan merupakan delik yang lentur, amat bergantung pada penafsiran penyidik. Artinya, penegak hukum bisa saja nekat membawa Bibit-Chandra ke pengadilan sekalipun hanya berbekal indikasi, bukan bukti kuat. Cara seperti ini jelas melecehkan rasa keadilan masyarakat. Kenapa polisi terkesan lebih getol mencari-cari kesalahan kedua pejabat KPK itu dibanding memburu koruptor?

Publik semakin marah setelah beredar transkrip rekaman percakapan Anggodo, adik Anggoro, dengan pejabat Kejaksaan Agung. Dari transkrip ini, semakin kuatlah dugaan adanya persekongkolan antara petinggi kejaksaan dan kepolisian untuk mengerdilkan KPK lewat kriminalisasi Bibit-Chandra. Anehnya, Jaksa Agung dan Kepala Polri tidak mengambil tindakan apa pun terhadap pejabat yang muncul atau disebut-sebut dalam transkrip itu. Polisi malah memperlihatkan arogansi dengan menahan kedua pejabat nonaktif KPK itu.

Itu sebabnya, tim independen bentukan Presiden Yudhoyono tidak akan menyelesaikan masalah jika hanya berkonsentrasi pada kasus Bibit-Chandra, bahkan sekalipun keduanya kemudian dibebaskan. Tim verifikasi yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution ini harus pula mengusut pejabat kepolisian dan kejaksaan yang terlibat dalam persekongkolan. Perlu juga dipastikan apakah Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji merestui atau setidaknya mengetahui dan kemudian membiarkan dugaan rekayasa itu.

Jika ternyata keduanya terlibat, jangan ragu tim independen mengusulkan kepada Presiden agar mereka dicopot dari jabatannya. Rekomendasi seperti ini penting buat meredakan konflik antara KPK dan kepolisian-kejaksaan. Harus diakui, dua lembaga penegak hukum konvensional itu setengah hati menerima kehadiran KPK sebagai superbody. Bahkan ada pejabat kepolisian yang berupaya menyepelekan komisi antikorupsi ini dengan sebutan cicak, dan menyebut lembaganya sendiri sebagai buaya.

Hanya dengan tindakan drastis, independensi dan keberanian KPK bisa dipulihkan. Lembaga ini akan bekerja normal bila ada jaminan tidak direcoki lagi oleh kepolisian dan kejaksaan, yang keduanya berada di bawah kendali Presiden. Inilah pentingnya sikap tegas Presiden Yudhoyono. Jika ia mengaku siap berdiri di depan melawan pembubaran KPK, sikap yang sama seharusnya diambil terhadap setiap upaya pengerdilan lembaga ini.
Sumber: www.korantempo.com

No comments: