Tuesday 10 November 2009

Menunggu Rasa Malu Para Petinggi Hukum


Jakarta - Di Jepang, April 1989, Perdana Menteri Noboru Takeshita terpaksa mengundurkan diri karena korupsi yang dilakukan oleh anggota partainya, Liberal Democratic Party. Masih di Jepang, pada bulan Mei 2007, Menteri pertanian, kehutanan, dan perikanan Toshikatsi Matsuoka bahkan sampai bunuh diri karena tak tahan menanggung malu karena kebijakan koruptifnya mulai dipertanyakan publik.

Di Tanzania, Februari 2008, Perdana Menteri Edward Lowassa mengundurkan diri karena kasus korupsi yang dilakukan oleh kantornya mulai diselidiki. Dalam pernyataan pengunduran dirinya di parlemen, ia menyatakan tidak bersalah dan belum diberi kesempatan untuk menjelaskan posisinya, namun mengundurkan diri dipandang sebagai jalan keluar yang terbaik.

Baru-baru ini, 31 Juli 2009, Walikota Hoboken, New Jersey, Amerika Serikat, mengundurkan diri dari jabatannya meski ia tak mengaku bersalah. Dikatakannya dalam suratnya yang terbuka untuk umum: “Saya berharap saya bisa tetap memegang jabatan saya dan melaksanakan tugas-tugas saya sampai saya berkesempatan menyelesaikan persoalan hukum atas diri saya di pengadilan. Namun sayangnya, ternyata kontroversi seputar persangkaan korupsi saya telah membuat saya tak bisa lagi fokus menjalankan tugas dan menjadi halangan bagi saya untuk bekerja bagi pemerintah Hoboken.” Ia menambahkan permintaan maaf kepada seluruh warga Hoboken atas gangguan dan kekecewaan yang telah ditimbulkannnya.

oleh: Bivitri Susanti

Bagaimana dengan di Indonesia? Kita lewatkan soal bunuh diri karena dalam “budaya” dan norma agama yang ada di Indonesia bunuh diri tidak pernah menjadi solusi yang baik. Namun bagaimana dengan rasa malu yang menyebabkan pengunduran diri pejabat publik? Ini belum pernah terjadi.

Tapi kisah-kisah di atas menjadi relevan karena rekaman KPK atas Anggodo Widjojo di Mahkamah Konstitusi, Selasa (3/11) kemarin. Sebuah rekaman yang seharusnya menjadi tamparan bagi petinggi hukum negeri ini.

Sedikitnya dua petinggi Kejaksaan Agung, 1 pejabat tinggi Kepolisian dan seorang penyidik Kepolisian, serta seorang anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban disebut dengan jelas dalam rekaman tersebut. Bahkan, nama RI-1 pun disebut-sebut.

Bivitri Susanti adalah peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Kandidat PhD di University of Washington School of Law, Seattle

Sumber: www.detiknews.com

No comments: