Saturday 3 October 2009

Kekuatan Gempa Masih Ada 8,8 SR



Wawancara ahli paleotsunami, Dr Danny Hilman Natawidjaya.

VIVAnews – GEMPA 7,6 skala ritcher menguncang Padang dan Pariaman. Ratusan orang tewas, puluhan rumah ambruk dan rusak berat. Riset gempa menyebutkan masih ada sisa energi tektonik yang bertumpuk di Mentawai. Lantas bagaimana proses terjadinya gempa di Padang? Daerah mana saja di Indonesia rawan gempa? Berikut wawancara wartawan VIVAnews, Indra Dharmawan, dengan ahli paleotsunami Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawidjaya.

Bisa Anda ceritakan tentang gempa di Pariaman dan Jambi. Mengapa terjadi hampir bersamaan?
Dua gempa tersebut tidak ada keterkaitan sumber. Yang dekat Padang adalah gempa berasal dari patahan aktif pada lempeng Indo-Australia yang menunjam di bawah Pulau Sumatra, dan yang di barat Jambi terjadi pada Patahan Sumatra yang membelah wilayah bukit barisan. Meskipun mungkin saja gelombang seismik dari gempa Padang punya kontribusi memicu gempa pada patahan Sumatra tersebut karena kebetulan segmen tersebut sudah penuh terisi akumulasi tekanan tektonik.

Anda telah mendeteksi kemungkinan gempa di sekitar Padang jauh-jauh hari. Apa dasar perkiraan Anda saat itu?
Kami dari Tim Peneliti gempa LabEarth LIPI dan Tim Prof. Kerry Sieh yang sekarang di Earth Obervatory of Singapore, NTU sudah mulai meneliti sumber-sumber gempa bumi di Sumatera sejak tahun 1990 sehingga karakteristik kegempaan di Sumatera sudah cukup diketahui. Data dan analisis yang kami lakukan, utamanya ada 5 macam.

Pertama, sejarah kegempaan dari catatan dan laporan dulu. Kedua, pemetaan patahan-patahan gempa terutama untuk di darat, yaitu Patahan Sumatra. Ketiga, data seismologi. Keempat, pengukuran turun naiknya pulau-pulau di Mentawai dari terumbu karang. Ada tipe terumbu karang yang kita sebut mikroatol, yang pola pertumbuhannya sangat sensitif terhadap perubahan muka laut. Mereka bisa merekam pergerakan turun naiknya pantai. Kelima, jaringan pemantau pergerakan mukabumi continuous GPS (Global Positioning System) yang sudah mulai kami pasang sejak 2002. Jaringan ini kami namakan SuGAr (Sumatran GPS Array).

Apa yang bisa dicatat dari pengamatan atas mikroatol itu?
Dari penelitian koral mikroatol kami dapat merekonstruksi siklus gempa besar di (zona subduksi) Mentawai sejak 100 tahun lalu. Menurut rekonstruksi siklus tersebut periode ulangnya sekitar 200 tahunan. Periode gempa-gempa besar terakhir terjadi tahun 1797 dan 1833. Menariknya pelepasan akumulasi tektonik di akhir siklus gempa tersebut hampir selalu berupa kejadian gempa besar lebih dari satu kali. Nah sejak gempa besar kembar tahun 1797 & 1833 tersebut status “zona subduksi” (atau biasa disebut juga sebagai “megathrust”) dari segmen Mentawai adalah sudah di siklus akhir. Gempa megathrust yang terjadi pada bulan September 2007 bisa dianggap sebagai permulaan periode pelepasan tekanan tektonik tersebut.

Apa saja alasan memperkuat perkiraan itu?
Dari hasil kalkulasi kami, gempa 2007 tersebut hanya melepaskan tidak lebih dari 1/3 jumlah energi tekanan tektonik yang terakumulasi di Mentawai. Dengan kata lain masih ada sekitar 2/3 lagi yang tersimpan. Apabila yang 2/3 ini dilepaskan sekaligus maka bisa menghasilkan gempa dengan kekuatan sampai 8,8 SR (energinya kurang lebih 30x lebih besar dari gempa yang baru terjadi).

Lokasi dan jumlah dari energi, atau tekanan tektonik di bawah Mentawai dapat dihitung dari data yang kami peroleh dari SuGAr tersebut. Pada prinsipnya pergerakan relatif Lempeng Indo-Australia terhadap Sumatra dapat diketahui dari Jaringan GPS SuGAr yang kami pasang. Kemudian dari data SuGAr (pergerakan muka bumi di Kep. Mentawai –Batu-Nias-Simeulue dan pantai barat Sumatra) kami bisa memodelkan berapa banyak pergerakan relatif antar lempeng bumi ini diakumulasi menjadi tabungan energi (regangan) pada batas lempengnya, yaitu zona megathrust tadi.

Hasil penelitian kami ini sudah banyak dipublikasikan sebagai makalah-makalah ilmiah di berbagai International Journal bergengsi seperti Science, Nature, Journal of Geophysical Research dan lainnya. Data dan pengetahuan sumber, dan siklus gempa di Sumatra ini boleh dibilang sudah dianggap menjadi salah satu sumber referensi yang terbaik di kalangan para ahli gempa di dunia.

Metode apa yang Anda pergunakan dalam memperkirakan terjadinya gempa di masa depan? Apakah metode tersebut lebih akurat ketimbang metode penelitian sedimen? Apakah ada metode-metode lain yang lebih canggih yang tengah berkembang?
Metoda koral mikroatol ini (disebut juga sebagai paleogeodesi) jauh lebih baik dari yang dengan mempergunakan sedimen (paleoseismologi/paleotsunami). Akurasi dan kekomplitan datanya tidak ada bandingannya diantara metode geologi untuk meneliti sejarah gempa. Masalahnya, mikroatol ini tidak hidup/tumbuh disemua tempat. Hanya kebetulan mikroatol ini banyak sekali hidup di pulau-pulau di wilayah barat Sumatra ini, dan lebih beruntungnya pulau-pulau ini letaknya persis di atas sumber gempa megathrust ingin kami teliti. Itulah kelebihan metoda kami dan keunikan dari wilayah barat Sumatra.

Metoda cGPS ini umum diakui dikalangan peneliti gempa sebagai alat modern yang sangat powerfull untuk merekam proses gempabumi. Kelebihannya dibandingkan seismometer adalah GPS dapat merekam proses tektonik pada periode antar gempa (selagi terjadi pengumpulan tekanan tektonk) sedangkan seismometer hanya mendeteksi/merekam kejadian gempanya saja (yaitu ketika patahan melepaskan akumulasi tekanan tektoniknya). Meskipun demikian dua metoda ini punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

Untuk peralatan modern: mainstreamnya adalah peralatan seismometer dan GPS. Metode yang cukup umum dipakai terutama untuk prediksi medium to short term adalah strain meter (di Indonesia belum dipasang). Masih ada tentunya metoda lain seperti dengan electromagnetic, gravitasi, pengukuran muka air tanah dan sebagainya. Untuk geologi yang biasa dipakai adalah: paleoseismologi, paleotsunami, dan paleogeodesi.

Perlu ditekankan bahwa saat ini belum ada satu pun metode di dunia yang sudah valid bisa meramal kapan tepat waktunya gempa akan terjadi (short-term prediction). Umumnya kami lebih mengkaji ke arah “intermediate to long-term prediction”. Siapapun yang mengaku dapat meramal kapan terjadinya gempa bahkan sampai menyebut tanggal pasti bohong atau omong kosong atau tidak berdasarkan sains.

Apa benar daerah Padang sudah mengalami interlock dua lempeng Eurasia dan Australia sejak lama? Berapa lama gempa bisa terjadi sejak terjadinya interlock?
Bidang batas lempeng (pada zona subduksi dua lempeng) ini punya sifat (daya rekat) berbeda-beda segmen satu dengan yang lainnya. Ada yang 100 persen, tapi ada juga yang 0 persen. Arti 0 persen adalah tidak ada akumulasi tekanan tektonik. Jadi, tidak akan ada gempa di segmen ini. Lamanya periode “interlock” atau bisa dibilang juga sebagai periode antar gempa atau bahasa ilmiahnya “interseismic period” bisa puluhan sampai ribuan tahun tergantung dari “degree of locking” dan ukuran/panjang dari segmentasi-nya. Untuk Sumatra setiap segmennya tipikal memunyai perioda interlock ratusan tahun untuk gempa 8SR atau lebih besar.

Apakah bisa diceritakan hasil riset gempa yang Anda lakukan di sekitar Mentawai-Sumatera Barat?
Sudah banyak disinggung di atas. Riset ini sudah dimulai sejak tahun 1990-an, merupakan kerjasama riset antara Puslit Geoteknologi LIPI dan Tectonic Observatory/Seismological Laboratory Caltech (California Instutute of Technology, USA). Sebagian dari riset ini merupakan bahan disertasi Ph.D saya di Caltech dari tahun 1995-2003. Caltech adalah universitas/institusi sangat ternama di dunia dalam penelitian gempa. Salah satu pendiri seismological laboratory di Caltech adalah Prof. Charles Richter, yang namanya sekarang kerap dipakai untuk skala kekuatan gempa. Pembimbing utama saya adalah Prof. Kerry Sieh, ahli earthquake geology ternama di dunia, yang sekarang mendirikan institusi baru di Singapore, yaitu Earth Observatory of Singapore di Nanjang Technological University. Sponsor utamanya dari NSF (National Science Foundation USA) dan Caltech sendiri. Sebagian dana juga didapat dari LIPI dan RISTEK (melalui RUTI).

Dalam tiga tahun terakhir ini kami (LIPI) juga bekerjasama dengan tim seismologist dari Cambridge dan Liverpool Univ (UK) dan GFZ (Germany) untuk pemasangan jaringan survei seismik di Sumatra (juga bekerjasama dengan BMKG dalam hal ini). Studi ini baru berakhir tahun lalu, datanya masih terus intensif kami analisa. Ada satu hal menarik: dari data seismik ini kami terheran-heran melihat demikian banyak aktifitas gempa di bagian utara Patahan Sumatra (dari khatulistiwa ke Utara), tapi bagian selatannya sepi sekali. Dalam diskusi tim, saya katakan agak ngeri melihat “kesenyapan gempa” di bagian selatan ini karena seringkali patahan gempa itu lebih terkunci penuh tatkala sudah siap memuntahkan tekanan tektoniknya sehingga “sepi”. Dan itu yang terjadi di barat Jambi, yaitu gempa 6.8SR di Patahan Sumatra. “Perioda Kesenyapan” ini biasa disebut sebagai “seismic gap” salah satu pertanda wilayah yang berpotensi gempa.

Apakah hasil riset sudah berhasil melakukan modeling untuk menduga gempa di daerah lain?
Kami sudah memulai penelitian gempabumi untuk wilayah lainnya, khususnya Jawa-Bali-NTT dalam beberapa tahun terakhir tapi se-intensif seperti yang dlakukan di Sumatra.

Setelah Padang, apakah Anda sudah memiliki data daerah lain yang sudah mengkhawatirkan?
Ya, banyak sekali wilayah di Indonesia yang rawan gempa dan tsunami. Indonesia Timur (Irian dan Maluku) itu potensi bahaya gempa dan tsunaminya dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan Sumatra, hanya memang populasi dan infrastruktur di sana masih rendah sehingga tingkat risiko bencana-nya jadi lebih rendah.

Sumber: http://sorot.vivanews.com/news/read/94099-wawancara_ahli_gempa

No comments: