Thursday 12 May 2016

Kapan Umat Islam Muak Berperang?

(Berkaca pada Perang Unta dan Perang Siffin)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Red: Maman Sudiaman
Jika kita mau bersikap jujur terhadap Islam sebagai agama langit yang terakhir yang ingin menebarkan salam (kesegaran, perdamaian, keamanan, kesehatan) dan rahma (rahmat, belas asih, keharuan, simpati, kebaikan), maka apa yang berlaku di bagian-bagian bumi Muslim dari dulu sampai sekarang adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur itu semua. Pertumpahan darah antara sesama Muslim justru terjadi di era awal, saat tanah makam nabi mungkin belum berubah warna. Khalifah Utsman bin Affan dibunuh pada 17 Juni 656 M setelah komplotan Muslim dari Kufah dan Mesir memulai perlawanan.

Tragedi ini seluruhnya bertalian dengan masalah kekuasaan dan harta rampasan perang, sedangkan khalifah sendiri tidak suka pertumpahan darah itu tetapi tidak berdaya. Utsman yang dituduh nepotis terbunuh tanpa pertahanan, setelah rumahnya dikepung selama 40 hari, kata satu sumber. Bukan karena tidak ada pihak yang siap membela, tetapi karena khalifah pribadi yang tidak mau dibantu demi menghindari pertumpahan darah sesama Muslim.

Pembunuhan Utsman kemudian telah memicu eskalasi politik yang tak terkendali. Berbagai pihak terlibat di dalamnya dengan motif yang beragam, tetapi tidak dapat dipisahkan dari masalah kepentingan kekuasaan. “Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat dalam urutan al-Khulafa al-Rasyidun: Abu Bakr (632-634), Umar bin al-Khaththab (634-644), Utsman bin Affan (644-656), Ali bin Abi Thalib (656-661). Tahun-tahun pascakenabian, wilayah kekuasaan Muslim Arab memang menjadi semakin luas melalui ekspansi politik dan militer, tetapi konflik internal sesama Muslim tidak lagi bisa dibendung, khususnya di akhir masa Utsman dan di awal pemerintahan Ali. Seluruh perbelahan ini sebenarnya bersifat Muslim Arab, tetapi mengapa harus meluas ke seluruh dunia Muslim pada abad-abad yang panjang berikutnya? Apakah seluruh perilaku elite Muslim Arab itu patut dan baik ditiru? Pada Sabtu, 18 Juni 656, Ali dibai'at di Masjid Kufah (Irak) menjadi khalifah, sehari setelah kematian Utsman. Di awal pemerintahan Ali ini berkecamuk dua perang saudara yang sangat buruk dan mengguncangkan. Pertama, Perang Unta (8 Desember 656) dekat Kota Basrah, selatan Irak, di sekitar unta Aisyah.

 Hanya berjarak tujuh bulan, meledak pula Perang Siffin (26-29 Juli 657) yang lebih dahsyat di selatan Sungai Furat (Irak). Dua pertempuran sesama Muslim nyaris melumatkan fabrik sosial umat Islam yang masih sangat muda saat itu. Perang unta melibatkan janda Nabi dan para sahabatnya yang terdekat: Aisyah dan pendukungnya dan Ali bersama pendukungnya. Ini adalah sebuah perang saudara pertama sepeninggal Nabi di kalangan komunitas Muslim Arab. Sulit kita bayangkan mengapa drama semacam ini harus berlaku yang melibatkan para elite Quraisy Muslim yang tentunya paham Alquran karena langsung diajar Nabi. Tetapi, ternyata semuanya tidak cukup untuk mengekang ambisi mereka dan absennya kesediaan berdamai antara pihak-pihak yang berseteru.

Alangkah sukarnya umat Islam mengalahkan ego dan nafsunya yang tidak jarang dibungkus dengan teks-teks suci dan dalil-dalil agama. Tentu kita, khususnya saya, tidak bisa menilai siapa dari mereka yang terlibat sengketa itu yang berada di pihak yang benar atau di pihak salah. Kelompok Syiah tentu menilai Aisyah dan pendukungnya sebagai pihak yang salah dan 'Ali sebagai pihak yang benar. Apalagi, janda Nabi ini kalah dalam pertempuran unta itu. Dalam Perang Unta yang hanya berlangsung selama empat jam itu, sekitar 6.000 Muslim telah terbunuh, termasuk di dalamnya Ṭalḥah bin ‘Abdullâh dan al-Zubayr bin al-‘Awwâm (keduanya pendukung ‘Âisyah), dua kandidat potensial sebagai pengganti ‘Ustmân, selain ‘Alî. Tuan dan puan dapat membayangkan betapa sengit dan brutalnya perang singkat itu dan betapa kacaunya Kota Makkah dan Madinah saat mendengar tragedi itu. Perang ini sepenuhnya dimenangkan pihak ‘Alî. ‘Âisyah sendiri selamat, kemudian diantarkan kembali ke Madinah. Sekiranya ‘Âisyah terbunuh pula dalam perang saudara ini, tentu akibat eskalatifnya akan lebih buruk dan runyam.

Memang dari sumber-sumber sejarah Arab, hubungan ‘Âisyah dengan ‘Alî tidak pernah mulus, bahkan di saat nabi masih hidup. Sekalipun keduanya dicintai dan disayangi nabi, mereka adalah manusia biasa yang prilakunya tidak langsung dibimbing wahyu. Profesor Mahmoud M Ayoub memberikan komentar penting tentang Perang Unta ini: “Pertempuran ini meragakan kemerosotan yang tajam dalam konsepsi moral dan agama kekhilafahan, dan menandai berawalnya kemenangan real politik atas nilai-nilai yang di atasnya Nabi Muḥammad telah membangun Persemakmuran Islam di Madinah.” (Lih. Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History (Religion and Politics in Early Islam. Oxford, England: Oneword Publications, 2009, hlm. 48). Artinya, dengan meledaknya pertempuran ini, nilai-nilai kesucian agama telah diterjang dan diketepikan sampai batas-batas yang jauh, demi real politik. Jika semuanya harus menyerah kepada real politik, lalu wahyu dibuang ke mana? Saya semakin tidak faham mengapa komunitas Muslim ini dari dulu sampai hari ini tidak mau menjadikan Alquran sebagai hakim tertinggi bilamana berlaku perselisihan antara mereka.

Mengapa egoisme dan kepentingan golongan mengalahkan Kitab Suci ini? Tujuh bulan pascaperang Unta pecah pula perang yang lebih dahsyat, Perang Ṣiffîn: Khalifah ‘Alî dari Bani Hasyim berhadapan dengan gubernur Suria, Mu’âwiyah bin Abî Sufyân dari Bani Umayyah, dua bani seketrunan yang berebut kuasa. Ironisnya, dampak sengketa antar sesama elite Arab masa silam itu dirasakan sampai hari ini di seluruh dunia Islam. Seolah-olah orang Arab lebih faham Alquran dibandingkan umat Islam lain yang non-Arab. Perebutan hegemoni antara Saudi Arabia dan Iran sekarang ini, akarnya bisa dicari akibat Perang Ṣiffîn yang membuahkan munculnya: golongan sunni, syi’ah, dan khawarij. Begitu juga perang berdarah di Yaman sekarang, akar penyebabnya tidak berbeda. Sudah ratusan yang tewas, demi real politik. Tentara Saudi Arabia bersama beberapa pasukan negara-negara Arab lain tega hati membunuh saudara-saudaranya di Yaman, sebuah negara miskin.

Mengapa selama berabad-abad umat Islam tetap saja berbangga dengan memasukkan dirinya ke dalam sekte-sekte yang muncul pasca kenabian itu? Belumkah datang masanya agar kita bersedia keluar dari kotak-kotak sejarah yang mengkhianati ajaran al-Qur’an tentang persaudaraan umat yang wajib dikuatkan dan larangan keras untuk berpecah? Dunia Arab modern semakin tidak dapat diteladani. Iran pun selama masih bersikukuh dengan syi’ahnya mustahil akan dipercaya memimpin dunia Islam. Nasionalisme Iran lebih menonjol dibandingkan keislamannya, seperti halnya juga Saudi Arabia.

Perang Ṣiffîn adalah perang saudara kedua yang terjadi pada masa kepemimpinan ‘Alî. Lawan ‘Alî adalah Mu’âwiyah bin Abî Sufyân, sebagaimana telah disinggung di muka, satu marga dengan ‘Ustmân. Mu’âwiyah menuduh ‘Alî sebagai arsitek pembunuhan ‘Ustmân, suatu helah yang dicari-cari. Dalam perspektif duniawi, Mu’âwiyah adalah seorang politikus ulung, tangguh, sigap, dan kata banyak sumber juga licik. Pengalamannya sebagai gubernur telah mengukuhkan posisinya di kalangan rakyat Suria, sekalipun dia tidak populer di Mekkah dan Madinah. Perang ini berlangsung sekitar tiga bulan, pihak ‘Ali nyaris merebut kemenangan, tetapi berkat politik tipu musihat dari ‘Amr bin al-‘Ash, pengikut ‘Ali berhasil dipecah belah yang sangat menguntungkan pihak Mu’âwiyah yang kemudian minta berunding dengan mengangkat Alquran agar perang berhenti. ‘Alî sendiri faham betul kelicikan ini, tetapi dia gagal mempersatukan pendukungnya yang sebagian pro perdamaian, sebagian yang lain ingin melanjutkan perang.

Tentu ‘Âlî sebagai manusia biasa menjadi sangat frustrasi oleh suasana yang serba mencekam ini. Dari sisi moral, Mu’âwiyah memang tidak bisa disandingkan dengan ‘Alî. 

http://m.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/05/05/nnuz5x-kapan-umat-islam-muak-berperang

No comments: