Monday 30 May 2016

Pokok-Pokok Pikiran Tentang Perlu Tidaknya Menghidupkan GBHN

oleh: Arya Sosman 
Wacana untuk menghidupkan kembali GBHN belakangan ini semakin santer dibicarakan di kalangan intelektual. Pro dan kontrapun bermunculan. Yang pro berargumentasi bahwa pembangunan di Indonesia dari periode ke periode tidak berkesinambungan, masing-masing Presiden akan mengawali dengan program baru sehingga tidak ada kejelasan kearah mana tujuan bangsa ini dibawa. Sementara yang tidak setuju berargumentasi bahwa GBHN sebenarnya telah ada sejak zaman rezim Soekarno, dengan nama “Pembangunan Semesta Berencana”, di zaman rezim Soeharto dinamakan GBHN, sedangkan di era reformasi namanya Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang kesemuanya hampir sama tujuannya untuk kemajuan bangsa serta kesejahteraan yang berkeadilan bagi rakyat.  bedanya hanya  bentuk, nama dan pelakunya.
Pertanyaannya adalah :
Apakah dengan dihidupkannya GBHN akan menjamin negara semakin maju, rakyat semakin makmur, sentausa dan sejahtera?



1. Konsep Pembangunan Era 1945 - 1965


Pembangunan adalah sebuah proses yang tiada henti merubah keadaan yang tidak baik ke arah yang lebih baik, dari yang tidak sejahtera menjadi sejahtera, dari yang tidak bahagia menjadi bahagia dan seterusnya. Negara Indonesia telah memulai proses pembangunannya sejak tahun 1945 (pasca kemerdekaan) namun waktu itu belum ada (belum sempat) membuat konsep pembangunan yang sistematis dan terrencana dikarenakan situasi politik dan keamanan yang belum stabil. Baru kemudian pada tahun 1959, pasca dekrit Presiden 59, perencanaan pembangunan secara menyeluruh dan sistematis dimunculkan. Adalah Presiden Soekarno dalam Pidato tahunannya tahun 1959 menggagas “Pembangunan Nasional Semesta Berencana” yang kemudian ditetapkan dengan TAP MPRS Nomor II/MPRS/ 1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 1961-1969.
Namun konsep pembangunan ini tidak sempat dilaksanakan karena situasi politik yang tidak kondusif, seperti munculnya peristiwa Trikora, kemudian Dwikora, dan akhirnya pemberontakan G30S/PKI dan disusul kemudian dengan kejatuhan Presiden Soekarno pada tahun 1967, kemudian digantikan dengan Presiden Soeharto yang berkuasa hingga tahun 1998.

Salah satu ciri atau roh dari system ekonomi PNSB ini adalah sifat “Terpimpin”nya, yang dalam Pemerintahan Soekarno terkenal dengan Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin sebagai antitesa dari ekonomi liberal saat itu. Karena itu boleh dibilang paradigmanya adalah top down bukan bottom up, kemudian dikendalikan secara otoriter dan sebagainya. Konon PDI-P sedang melakukan pengkajian yang serius untuk menghidupkan kembali konsep PNSB ini.

2. Konsep Pembangunan Era Orde Baru (1967-1998)

Di era pemerintahan Orde Baru, Soeharto ternyata mengadopsi pola PNSB, namun dengan melakukan banyak modifikasi, misalnya tidak ada lagi istilah “terpimpin” kemudian namanya menjadi garis – garis besar haluan negara, yang lebih dikenal dengan nama GBHN. GBHN merencanakan pembangunan Nasional secara bertahap, perlima tahunan hingga 25 tahun kedepan, sehingga dulu muncul istilah Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (25 tahun I) PJPT I dan Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (25 tahun II) PJPT II. Untuk PJPT II belum dapat dilaksanakan sepenuhnya akibat pergantian rezim di tahun 1998. Walau demikian tetap saja dalam pengelolaannya menggunakan cara-cara terpimpin - otoriter dengan segala konsekwensinya.

Mekanisme untuk pembuatan konsep GBHN adalah : Konsepnya dibuat oleh Lemhannas dengan melibatkan para pakar, kemudian diserahkan ke MPR untuk dibahas dan ditetapkan dalam TAP MPR dan selanjutnya diserahkan ke Presiden untuk dijabarkan ke dalam REPELITA.

Dalam prakteknya pembahasan di MPR bersifat formalistis dan untuk kepentingan legitimasi. GBHN disusun secara metode top down sehingga saat itu banyak rakyat merasa berbeda apa yang diterima dengan apa yang diharapkan.


Sisi Negatif Pelaksanaan Konsep GBHN
Beberapa kelemahan GBHN adalah :
  • Secara moral Presiden tidak memiliki kaitan batin dan intelektual yang kuat dengan GBHN karena tidak ikut merumuskannya. Presiden hanya diperintah oleh MPR untuk melaksanakan GBHN yang belum tentu dia pahami sepenuhnya bahkan bisa jadi berbeda dari cita cita besar Presiden.
  • GBHN dibuat secara top down sehingga rakyat hanya berposisi sebagai “obyek” pembangunan karena tidak dilibatkan sebagai subyek maka konsekwensinya adalah rakyat tidak memiliki tanggungjawab moral terhadap program pembangunan, walaupun pembangunan itu untuk kepentingan mereka. Misalanya rendahnya tanggung jawab rakyat terhadap sarana publik. 
  • Dari sisi implementasi, pengalaman 32 tahun diterapkan, walaupun pembangunan berjalan lancar (karena faktor otoriterisme) namun yang dialami oleh rakyat adalah ketidakadilan, akibat pembangunan yang tidak merata. misalnya di era Soeharto Pembangunan hanya tumbuh di perkotaan, terutama Jakarta sedangkan di daerah-daerah seperti NTB, NTT hingga Papua sama sekali tidak mengalami nasib yang sama dengan saudara saudara mereka yang ada di Jakarta dan beberapa tempat di Jawa – Sumatera dan Bali. Keadilan itupun juga berlaku di bidang lainnya, seperti hukum, politik, dan lain-lain termasuk perilaku korup para birokrat yang merajalela di zaman Soeharto jarang terpublikasikan sehingga masyarakat jarang mengetahui adanya pejabat yang korupsi. Ketidakadilan inilah yang kemudian menjadi alasan utama reformasi di tahun 1998.

Sisi Positif GBHN

Pelaksanaannya walaupun ada unsur otoriternya namun semua program pembangunan dapat berjalan lancar, karena rakyat tidak mungkin mengkritisi pemerintah di depan publik – tidak sebagaimana sekarang. Namun para penyelenggara negara baik di tingkat Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dan seterusnya, akan merasa nyaman dan tenang dalam menjalankan program pembangunan karena dijamin oleh stabilitas politik, sosial dan keamanan. GBHN juga disosialisasikan secara masiv oleh pemerintah sehingga rata-rata rakyat memiliki pengetahuan tentang konsep GBHN saat itu, apalagi materi GBHN juga masuk dalam Penataran P4.

Perlu diingat bahwa GBHN berjalan lancar selama 32 tahun karena dijalankan oleh Presiden yang sama, yakni Presiden Suharto, sangat berbeda dengan sekarang sejak reformasi 1998 Bangsa ini telah mengalami pergantian Presiden sebanyak 5 kali (BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarno Putri, Susilo Bambang Yudoyono dan Joko Widodo)

3. Konsep Pembangunan Era Reformasi

Era reformasi merupakan antitesa dari Orde Baru, sama juga halnya dengan Orde Baru merupakan antitesa dari Orde Lama. Mungkin kelak akan muncul antitesa reformasi. Namun kita tidak berharap demikian, yang kita harapkan adalah munculnya synthesa tiga zaman itu, yang berusaha mengambil yang baik dan membuang yang buruk dari ketiganya. Bahkan sebenarnya kalau mau dibuat “era reformasi” merupakan synthesa dari Orde Lama dan Orde Baru, sehingga tidak perlu ada dikotomi diantara ketiganya.

Konsep “pembangunan yang berlanjut” sebenarnya dipertahankan di era reformasi namun dengan nama dan bentuk yang berbeda. Jika di era Orde Lama namnya PNSB yang kemudian ditetapkan oleh MPRS, sedangkan di era Orde Baru namanya GBHN yang juga berikan stampel Ketetapan MPR, sedangkan di Era Reformasi kewenangan MPR dicabut kemudian digantikan oleh kewenangan Presiden bersama-sama dengan DPR menyusun konsep Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang kemudian diwadahi dengan Undang-undang, dalam hal ini UU No 25 /2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Di dalam UU ini juga memuat konsep pembangunan Jangka Pendek menengah dan Panjang (RPJM - RPJP).


Sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 UU 25/2004, disebutkan bahwa:
  • RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan Nasional.
  • RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan Nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.Kosep RPJM/RPJP dilaksanakan dalam suasana demokratis. Ini yang membedakannya dengan GBHN maupun dg PNSB. Selain itu program kerja pembangunan dilaksanakan dengan pendekatan bottom up berbeda dengan pendekatan GBHN maupun PNSB yang top down.

Sisi Negatif Pelaksanaan RPJP


  1. Kurang sosialisasi sehingga rakyat tidak terlalu mengetahui program utama pemerintah
  2. Rawan terjadinya program titipan dari tim sukses atau kelompok2 pendukung
  3. Banyak program yang terhambat/terlambat direalisasikan. Akibat terlalu bebasnya partisipasi politik dalam pembangunan[1] realisasi juga dapat terhambat karena ada perasaan ragu dan bahkan takut melanggar hukum yang berujung ke penjara. 
  4. Titik tekan program pembangunan per-lima tahunan dapat berbeda-beda setiap pergantian kepemimpinan (Prersiden, Gubernur dst), berbeda dengan GBHN[2] sehingga muncul kesan terjadi diskontinyuitas pembangunan atau bahkan tuduhan bahwa ganti presiden ganti program baru.
4. Dampak menghidupkan kembali GBHN
  • Adanya ide untuk menghidupkan kembali GBHN akan memerlukan situasi dan kondisi yang cukup kondusif secara politik, dalam arti seluruh tokoh-tokoh bangsa lintas partai, lintas agama dst. harus duduk bersama-sama membuat kesepakatan dan kesepahaman terhadap perubahan pasal 3 UUD 1945, karena konsekwensinya adalah wajib melakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945 yang menyangkut pasal kewenangan MPR. 
  • Oleh karena yang membuat GBHN adalah MPR sedangkan Presiden sebagai pelaksananya (Presiden selaku mandataris MPR) maka secara teoritis Presiden mempertanggungjawabkan pelaksanaan GBHN 5 tahun sekali kepada MPR juga. Ini berarti mengembalikan system semi (quasi) parlementer, artinya harus dilakukan penambahan pasal dalam UUD 1945 tentang pertangungjawaban Presiden. Ini akan menjadi janggal jika Presiden bertanggungjawab kepada MPR untuk pembangunannya sedangkan secara politik bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya. Lalu problemnya bagaiman menyinkronkan system pemerintahan yang presidensial disatu sisi dan parlementer di sisi lain.
  • Orang dapat berasumsi bahwa dengan menghidukan kembali GBHN dianggap atau dicurigai sebagai pintu masuk untuk memberlakukan kembali UUD 1945 versi Orde Baru.
  • Dengan ketiga problem tersebut di atas akan menyebabkan pikiran serta energi bangsa ini akan terkuras lagi untuk jangka waktu yang relatif panjang dan akhirnya kita mengulang ulang kembali berjalan dari awal (start) dan tidak pernah sampai di akhir (finish) perjalanan.

5. Kesimpulan

  • Untuk menghidupkan kembali GBHN bukanlah pekerjaan yang ringan tetapi kita masih memerlukan pemikiran yang mendalam.
  • Ide perlu tidak diberlakukannya GBHN kembali menurut penulis tidak terlalu urgen, sebab tidak ada jaminan dengan GBHN rakyar mengalami kesejahteraan yang merata atau juga tidak ada jaminan negara ini akan mengalami lompatan atau akselerasi kemajuan di segala bidang.
  • Yang panting bagi penulis adalah para penyelenggara negara di seluruh tingkatan dan seluruh sector harus memiliki kesadaran kolektif dan komitmen kolektif (bukan individual) untuk sama-sama membangun bangsa dan negara ini, sehingga perilaku menyimpang para pelaku pembangunan akan dapat diminimalisir.

No comments: