Sunday 12 June 2016

Frazier dan Kisah Kebencian Tragis pada Muhammad Ali

Vetriciawizach Simbolon, CNN Indonesia 
"Duduklah, nak, ini semua sudah berakhir," ujar Eddie Futch kepada petinju  didikannya, Joe Frazier. "Tak akan ada yang melupakan yang engkau lakukan hari ini."
Ilustrasi Joe Frazier, sang petinju yang membuat
Muhammad Ali menatap maut. (CNN Indonesia/Fajrian)
Kala itu menjelang ronde ke-15, Frazier berusaha untuk bangkit dan meneruskan pertarungannya dengan Muhammad Ali. Mata kirinya tak bisa lagi melihat, sementara mata kanannya lebam dan bengkak terkena pukulan "Sang Terhebat."

Sudah tak terhitung berapa kali kepalan tangan Ali mendarat di tubuh Frazier dalam pertarungan paling brutal sepanjang massa yang berlangsung di Manila tersebut. Ketika Futch menghentikan laga itu seusai ronde ke-14, keduanya harus dibawa ke rumah sakit dan Frazier tak boleh lagi bertinju selama 10 bulan selanjutnya.


"Hentikan saja ini semua," ujar Ali kepada pelatihnya sendiri dengan pandangan nanar, hanya beberapa saat
Ali vs Fraizer Jilid III, Manila 1975 "Thrilla in Manila"
sebelum Futch memotong tali sarung tinju Frazier dan menghentikan penderitaan keduanya. Nanti, di kemudian hari, Ali mengaku bahwa saat-saat itulah kala ia pertama kalinya merasa demikian dekat dengan maut.

Tapi ancaman kematian tak bisa menghentikan langkah Frazier. Dengan tubuh yang remuk redam dan mata yang nyaris tak bisa melihat, ia malah meronta dan meminta pada Futch agar ia diizinkan untuk terus menghadapi Ali.

"Eddie, tolong, biarkan saya melanjutkan ini. Jangan hentikan pertarungan ini."
Hanya kata-kata Futch yang mampu menghentikan keinginan kuat Frazier untuk menantang Ali hingga ke batas maksimum. 

"Duduklah, nak, ini semua sudah berakhir. Tak akan ada yang melupakan yang engkau lakukan hari ini."

Ali Bukanlah Ali

Sepanjang kariernya, Frazier memang tak kenal rasa takut terhadap pukulan lawan. Berbeda dari Ali, ia bukan petinju yang lincah dan atletis. Semenjak usia muda, ia pun hanya mengandalkan satu mata, setelah mata kirinya terkena pecahan besi ketika berlatih tinju.

Mau tak mau Frazier harus mengorbankan tubuhnya demi menyarangkan kepalan tangan di rahang lawan. Menerima pukulan adalah satu kewajiban yang harus dipikul sebelum ia bisa menyarangkan pukulan. Dan gaya bertinju seperti itulah yang membawa Frazier mampu keluar dari kemiskinan di Carolina Selatan dengan hanya bertinju dari ring ke ring.

Namun apa yang dipunyai Frazier justru tak dimiliki Ali dalam masa awal-awal kariernya.
Ali, yang selincah kupu-kupu itu, justru dikritik karena terlalu takut untuk dipukul lawan. Dengan langkah-langkah kecil kakinya, Ali pandai mengelak dan merunduk. Wajah cantiknya --sebagaimana ia biasa merujuk pada ketampanan parasnya-- jarang ia biarkan terluka karena pukulan lawan.

Ali tampaknya menyimpan keberanian total untuk saat-saat penting, ketika berbicara dalam panggung politik untuk membela kepercayaannya dan membela kaum kulit hitam.
Di luar ring, Ali memang tak mengenal perhitungan. Tanpa ragu ia menanggalkan gelar dan kejayaannya demi menolak perang Vietnam, satu tahun sebelum Martin Luther King mengumumkan kepada publik bahwa dirinya menentang perang.
Tapi, di atas ring, dalam trilogi pertarungan dengan Frazier lah Ali belajar untuk tanpa rasa takut menerima pukulan lawan.

Pertarungannya dengan Sony Liston memang melambungkan nama Ali di dalam dunia tinju. Tapi pertarungan dengan Liston bukanlah pertarungan legendaris. Liston yang dikalahkan Ali adalah Liston yang tua yang fisiknya sedikit kedodoran.

Sementara itu, pertarungan Ali dengan George Foreman di Zaire tak memiliki narasi sehebat pertarungannya dengan Frazier yang diwarnai kebencian lima tahun dan cemoohan-cemoohan yang menimbulkan luka emosional pada diri Frazier.

Mengutip salah seorang jurnalis olahraga David Halberstam, tanpa tiga pertarungannya dengan Joe Frazier, seorang Muhammad Ali bukanlah Ali. Karena bisa mengalahkan lawan seperti Frazier lah, Ali dikenal sebagai yang terkuat dan terhebat.

Bukan Paman Tom

Tak sulit untuk menerka apa yang menjadi alasan Frazier hingga ia demikian ingin mengandaskan Ali di atas kanvas ring tinju. Cemoohan dan ejekan yang dikeluarkan Ali bukan hanya mengandaskan harga dirinya namun juga membuat Frazier secara tragis ditolak kaumnya sendiri.

Ali mengejek Frazier sebagai orang yang buruk rupa, berhidung pesek, dan menyamakan cara Frazier berbicara dengan seekor gorilla.

"Joe Frazier terlalu buruk rupa untuk menjadi seorang juara. Ia tak bisa bicara. Ia tak bisa berdansa. Ia tak bergerak lincah, dan ia tak menulis puisi," kata Ali.
Ali juga menyebut Frazier sebagai paman Tom dan mengatakan bahwa sang musuh bebuyutan adalah petinjunya kaum kulit putih yang memiliki kedekatan dengan politikus yang menindas kaum kulit hitam.
"Ia bekerja untuk musuh," kata Ali.
Padahal sebenarnya Frazier bukanlah paman Tom, atau memiliki afiliasi politik tertentu. Ketika Ali dilarang untuk bertinju, adalah Frazier yang mendatangi presiden Nixon untuk meminta agar Ali diizinkan bertinju kembali.

Frazier adalah anak dari seorang buruh perkebunan di Carolina selatan. Ia memiliki akar yang lebih dekat dengan perbudakan ketimbang Ali, dan dalam setiap langkah hidupnya menanggung lebih banyak kesukaran hanya karena ia berkulit hitam.

"Saya tahu takdir saya karena saya dilahirkan ke dalam kebencian dan bigotry. Saya datang dari Carolina selatan, dan kehidupan di sana lebih keras ketimbang Georgia, Alabama dan Mississipi," kata Frazier.
Yang dimiliki oleh petinju yang dijuluki Smokin' Joe ini hanyalah keinginan kuat dan keberanian untuk membayar tiket keluar dari kemiskinan dengan tubuh dan kepalan tinjunya.

Tak seperti Ali dan Foreman yang pandai berbicara dan memasarkan diri mereka sebagai petinju, Frazier tak diberkahi kemampuan sama. Ia memang tak pandai berpuisi atau membuat lelucon di depan kamera.
Maka, satu-satunya cara untuk membalas seluruh ejekan Ali adalah dengan kepalan tangannya. Hanya dalam keberanian menerima pukulanlah ia bisa setara dengan Ali dan bertarung dalam permainan yang sama.
Bukan di depan televisi atau dihadapan pengeras suara

Dibawa Hingga Mati

Namun, pada akhirnya kata-kata Ali tak pernah hilang dari ingatan Frazier. Hingga masa tuanya, ia selalu menyombongkan kemampuannya untuk membuat Ali menggeratakan gigi sebagai suatu simbol kehormatan.
"Saya ingin bertarung dengan si pecundang itu lagi, memukuli dia, dan mengirimkan ia kembali kepada Tuhan," tulis Frazier dalam buku otobiografinya. Ketika Ali terpilih menjadi pembawa obor Olimpiade, Frazier pun berkata bahwa Ali seharusnya didorong ke dalam api itu sendiri.

Salah satu gambaran paling tragis atas kebencian yang dibawa oleh Frazier mungkin tergambar dalam film dokumenter bertajuk Facing Ali.
Dalam film itu, salah seorang saudara Frazier dengan sengaja menghubungi telepon genggamnya untuk memperdengarkan rekaman suara Frazier yang berpuisi bagi orang yang menelepon.

"My name is smokin Joe Frazier
Sharp as a razor,
Yeah, floats like a butterfly,
Stings like a bee,
I'm the man who done the job
He knows, look, and see."

Satu bentuk gubahan dari puisi paling terkenal milik Muhammad Ali.

Ya, luka emosional yang diberikan Ali tampaknya tak bisa membuat Frazier mengerti, bahwa, meminjam kata-kata David Halberstam, dalam kekalahan pun orang-orang tetap memberikannya penghormatan setinggi Ali.

Bahwa hanya petinju terbaiklah yang mampu memaksa Ali mengeluarkan permainan terbaiknya.
Di Manila, Eddie Futch mungkin menghentikan Frazier mengantarkan nyawanya kepada Ali, namun Frazier tak pernah benar-benar mendengar ucapannya.

"Duduklah, nak, ini semua sudah berakhir. Tak akan ada yang melupakan yang engkau lakukan hari ini."(vws)


Senin, 12/01/2015 21:54 WIB
http://www.cnnindonesia.com/olahraga/20150112210414-178-24133/frazier-dan-kisah-kebencian-tragis-pada-muhammad-ali/