Monday 27 January 2014

Jennie S. Bev: Tantangan Demokrasi: Mengelola Krisis Kepercayaan

Para “wakil rakyat” yang dipilih oleh rakyat sering kali mendesain kebijakan yang menguntungkan mereka, keluarga mereka, dan mereka yang mempunyai kepentingan yang sama dengan mereka.
 
CALIFORNIA, Jaringnews.com - Tahun 2014 Indonesia “merayakan” pesta demokrasi lagi. Era Reformasi diharapkan membawa bangsa dan negara Indonesia ke arah yang lebih baik, dimana kemakmuran dan kemaslahatan rakyat bisa dirasakan dengan lebih merata. Sayangnya, ini sering kali hanya menjadi platform partai-partai yang bergulat dalam memenangkan suara.

Rakyat sendiri terbagi atas mereka yang sadar akan pentingnya memberikan suara dan mereka yang hanya menerima uang sekadarnya untuk suara mereka. Yang termasuk ke dalam golongan pertama terbagi lagi atas mereka yang aktif secara politis, mereka yang tidak begitu aktif secara politis namun memberikan suara secara legal dan ofisial, dan mereka yang apatis. Ketiganya mempunyai keterbatasan yang nyata, yaitu hanya mampu memberikan suara alias “memilih” dari yang disodorkan.

Rakyat mempunyai keterbatasan dalam menentukan arah demokrasi. Mereka hanya bisa menyatakan ketidaksukaan akan suatu rezim, namun mereka tidak bisa mempengaruhi kebijakan secara langsung, mengingat mereka sangat dibatasi. Para “wakil rakyat” yang dipilih oleh rakyat dari suatu daftar panjang sering kali mendesain kebijakan yang menguntungkan mereka, keluarga mereka, dan mereka yang mempunyai kepentingan yang sama dengan mereka.

Kecenderungan ini bisa diamati baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Dunia sedang mengalami krisis demokrasi. Pergantian rezim baik secara “demokratis” maupun “tidak demokratis,” tidak selalu membawa perubahan berarti yang diharapkan oleh rakyat. Ini adalah fakta dalam demokrasi sebagai pengalaman kolektif.

Dalam Counter Democracy, Pierre Rosanvallon menyatakan bahwa publik kurang menyadari miskonsepsi tentang menurunnya kepercayaan terhadap demokrasi. Elemen yang perlu diamati dengan kritis adalah demokrasi sebagai pengelolaan ketidakpercayaan, bukan tentang kepercayaan yang diberikan oleh publik.

Era teknologi sekarang memungkinkan pengawasan terhadap demokrasi dilakukan dengan sekejap saja. Kombinasi antara fitur Internet dengan smartphone serta berbagai gadget memungkinkan setiap warga negara untuk melakukan monitoring, sehingga kekuasaan sesungguhnya terbagi dengan manis antara rakyat dengan para “penguasa” alias “wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat.”

Pertukaran posisi dari “rakyat yang tidak berdaya” ke “rakyat dengan kekuasaan mengawasi” memungkinkan untuk menggulingkan pemerintahan dengan dalih “liberalisasi” sebagaimana terjadi di berbagai negara. Namun sering kali harapan ini tidak terpenuhi. Termasuk di Era Reformasi atau Pasca-Reformasi.

Perhatikan berbagai rezim di Indonesia yang bertindak sebagaimana “kemauan pasar,” yang menyembunyikan nosi tirani mayoritas. Berbagai kebijakan didasari oleh “kemauan pasar” yang tidak begitu jelas efeknya terhadap kepentingan rakyat  mayoritas. Di sini terjadi ketimpangan antara harapan rakyat akan representasi yang mengutamakan kepentingan rakyat dengan fakta bahwa pesta demokrasi hanyalah suatu instrumen bagi segelintir orang untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan yang mengatasnamakan orang banyak.

Berbagai retorika dan statistik ekonomi menjadi indikasi bahwa segelintir “representatif” rakyat sudah bekerja dengan sebaik-baiknya. Namun berbagai indikator menunjukkan bahwa kesejahteraan umum masih merupakan perjalanan panjang yang mungkin semakin sulit di capai.

Di Amerika Serikat yang sudah dianggap sebagai Bapak Ideologi Demokrasi mengalami kesulitan dalam menjalankan demokrasi sebagai ideologi yang memberikan kesejahteraan merata, karena ternyata yang menjadi motor adalah sisi kapitalismenya. Dalam kapitalisme, pemilik kapital mempunyai bargaining position yang tinggi dan demokrasi memberikan “pasar” bagi mereka.

Di Indonesia, ternyata juga serupa. Ekonom Harvard Dani Rodrik dalam The Globalization Paradox menulis bahwa dunia tidak bisa menjalankan secara stimultan globalisasi hiper, demokrasi dan determinasi diri. Menurut Rodrik, rakyat berhak memilih namun hak mereka tidak datang dengan serta merta untuk memilih kebijakan yang mengutamakan kepentingan mereka.

Di Indonesia, kita bisa perhatikan berbagai kebijakan pemerintah yang menimpakan kewajiban kepada segelintir kelompok sedangkan pemerintah sendiri dibebaskan dari kewajiban tersebut. Ini bisa kita lihat daritidak adanya sistem yang memberikan bantuan kepada mereka yang gagal mendapatkan pekerjaan dalam jangka waktu tertentu, sedangkan para pemilik usaha yang mempekerjakan pegawai diharuskan untuk memberikan pesangon yang sangat tinggi jumlah ketika mem-PHK-kan seseorang. Ini sebenarnya bisa dibuatkan sistem dimana pemerintah memberikan bantuan sebesar jumlah pajak yang disetor selama masa kerja bagi mereka yang sedang mencari pekerjaan berikutnya.

Juga bisa kita perhatikan berbagai kebijakan yang memberikan kesempatan bagi segelintir kelompok untuk mengambil keuntungan dari apa yang seharusnya menjadi bagian dari kepemilikan publik, misalnya liberalisasi penjualan tanah serta monopoli telekomunikasi.

Di AS, ketimpangan akses terhadap penciptaan dan penerapan kebijakan sangat menguntungkan segelintir orang yang bisa dibaca dari satu persen dari penduduknya menguasai 35.4 persen seluruh kekayaan. Bagaimana dengan di Indonesia?

Rodrik menyebut kondisi demokrasi dewasa ini sebagai democracies without choices, sovereignty without meaning, and globalization without legitimacy. Hak-hak hadir tanpa akses nyata terhadap perubahan. Tantangan agar hasil nyata dari Pemilu 2014 lebih baik. Bisakah?

* Jennie S. Bev adalah penulis dan kolumnis berprestasi yang bermukim di California. Arsip tulisannya jenniesbev.typepad.com.
(Tim / Tim)

Sumber: http://jaringnews.com/politik-peristiwa/opini/46389/jennie-s-bev-tantangan-demokrasi-mengelola-krisis-kepercayaan

No comments: