Oleh: Gusti Bob:
Ini adalah salah satu praktek yang menurut saya membuat Singapore makin kaya; Indonesia makin melarat. Di seri pertama ini saya akan angkat kasus praktek dagang yang dari dulu hingga sekarang masih tetap berlangsung. Sebuah praktek ekspor-impor yang membuat Indonesia selalu kalah dalam neraca dagang terhadap Singapore. Ini bukan teori konspirasi atau sejenisnya, tetapi NYATA dan memang demikianlah adanya. Saya akan coba tuliskan dengan cara sesederhana mungkin agar tidak berat untuk dibaca.
Alur transaksinya kurang lebih seperti berikut ini:
Pertama, agen dagang di Singapore mengirimkan pesanan barang [untuk merek-merek import terkenal] ke pabrik-pabrik di Indonesia, dengan kondisi: pabrik di Indonesia hanya membuat barang [mengubah bahan baku menjadi barang jadi], sedangkan bahan bakunya disediakan oleh pihak Singapore. Barang yang dipesan macam-macam, yang paling lumrah adalah pakian jadi (baju, celana, jacket, sepatu, dsb). Kontrak dagang dengan kondisi seperti ini dikenal dengan istilah “Cutting, Making and Trimming (CMT Basis)“.
Jika kesepakatan sudah terjadi, selanjutnya alur barang akan seperti bagan dibawah ini:
1. Agen dagang di Singapore mengirimkan bahan baku ke pabrik-pabrik di Indonesia yang sudah sepakat untuk mengerjakan pesanan. Ini artinya pihak Indonesia mengimpor bahan baku. Dalam contoh bahan baku saya bernilai $100,000. Sehingga pihak Indonesia melakukan Impor Barang dari Singapore senilai $100,000. Tentu saja, pabrik di Indonesia mentransfer uang ke Singapore sebesar yang sama. Jika posisi tawar pabrik di Indonesia cukup bagus, mungkin bahan baku tidak dibayar dahulu [melainkan nanti dipotong saat pembayaran].
2. Setelah barang selesai dikerjakan [potong bahan, dijahit—jika pakian jadi, di bersihkan], barang jadi TANPA LABEL dikirimkan ke pemesan. Dalam hal ini berarti pihak Indonesia mengekspor barang jadi. Dalam contoh nilai ekspor [bahan baku di impor + ongkos pengerjaan barang] adalah $140,000 untuk 10,000 pcs barang jadi tanpa label. Tentu saja pihak Indonesia akan menerima pembayaran sebesar $140,000 jika di tahap pertama bahan baku sudah dibayar, jika belum maka akan menerim pembayaran sebesar $40,000 saja.
Note: Pada titik ini, Indonesia mengalami SURPLUS DAGANG SEBESAR $40,000. Tetapi, coba ikutilah alur selanjutnya (No. 3) anda akan kaget…..
3. Setelah barang sampai di Singapore, agen dagang di Singapore tinggal MEMASANG LABEL [bisa dikerjakan sendiri atau di sub-kontrakan dengan pabrik kecil di Singapore atau di Malaysia], termasuk accessories lainnya (hang tag, price tag, badge, sticker, dsb). Setelah dipasang label dan accessories lainnya, maka barang siap jual yang TELAH DIPASANG LABEL-LABEL KENAMAAN DUNIA, dikirimkan lagi ke Indonesia (melalui distributor atau agen-agen penjualan), dengan harga berlipat ganda. Dalam contoh saya asumsikan 2x lipat saja, sehingga nilainya menjadi $280,000 untuk barang yang sama persis kecuali sudah dipasangi label. Berarti dalam hal ini, pihak Indonesia mengimpor barang jadi ditambah label merk terkenal dengan nilai $280,000 untuk barang yang sesungguhnya sama persis [14,000 pcs].
Selanjutnya, kita yang gila terhadap barang ber-merk [Armany, Cerruti, Nike, Addidas, Reebok, Puma, Fila, Guy Laroche, Guess, Levis, Crocodile, Esprit, Nautica, Banana Republic, Quick Silver, Billabong, dst], berbondong-bondong menyerbu pusat-pusat perbelanjaan untuk membeli barang import dengan harga 2 sampai tiga kali lipat, yang sesungguhnya dibuat di salah satu pabrik di Indonesia, hanya dipasang label di negeri tetangga kita.
Note: Pada titik ini, silahkan hitung sendiri apakah Indonesia dalam keadaan SURPLUS atau DEFISIT? Jelas DEFISIT!
Mengapa pihak pengusaha Indonesia mau diajak praktek dagang model aneh ini, apakah tidak merugikan?
Jelas tak ada satupun pengusaha Indonesia yang dirugikan. Pabrik di Indonesia memperoleh selisih [laba kasar sebesar $40,000], artinya tidak rugi. Bagaimana dengan agen dagang Indonesia yang mengimpor barang bermerk yang harganya berlipat-lipat ganda itu? Ya untung juga, kan barangnay dijual lagi ke kita-kita yang gila merk terkenal. He he he he. Jadi tidak ada alasan untuk menolak transaksi ini, bagi pengusaha.
Bukankah akan lebih besar untungnya jika mengambil pesanan yang semuanya dikerjakan di Indonesia [tidak usah dengan agen dagang Singapore]? Ada beberapa kemungkinan penyebab:
Karena pemegang merk-merk terkenal lebih percaya kepada agen dagang di Singapore dibandingkan dengan Indonesia. Mengapa ? Profesionalisme, promosi dan marketing.
Karena ada masa-masa pabrik mengalami masa surut-pesanan. Daripada fasilitas pabrik menganggur, daripada buruh diliburkan tanpa upah. Lebih baik ambil saja transaksi dengan CMT basis tersebut.
Karena kita sangat menyukai barang-barang bermerk—tak peduli harga mahal. Yang kita beli gengsi dan prestisenya, bukan?
Dari satu contoh parktek dagang ini saja, kita sudah bisa lihat mengapa Singapore makin kaya sedangkan Indonesia makin terpuruk. Singapore yang tidak memiliki pabrik dapat menikmati nilai tambah [value added] hasil kerja pabrik-pabrik kita di Indonesia. Kita yang punya pabrik hanya jadi buruh upahannya Singapore!
Lebih parahnya lagi, Singapore yang tidak mempunya pasar, bisa memasarkan produk-produk buatan kita sendiri di negeri kita sendiri. Kita membeli barang-barang hasil buatan kita sendiri dengan harga berlipat-lipat ganda, hanya karena bermerk terkenal dan impor, padahal kwalitasnya adalah kwalitas buatan kita sendiri juga. Mengapa demikian? Mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang [Ebiet G. Ade]
~Gusti Bob
No comments:
Post a Comment