Saturday, 19 September 2009

Makna Idul Fitri

MAKA hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.(QS Al-Rum [30]: 30)
Hari raya Idul Fitri sebagai puncak pelaksanaan ibadah puasa memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa itu sendiri. Idul Fitri secara etimologi (kebahasaan) berarti hari raya Kesucian atau juga hari raya Kemenangan yakni kemenangan mendapatkan kembali, mencapai kesucian, fitri.
Adapun kata 'id dalam bahasa Arab diambil dari akar kata `ain-wa-da, yang memiliki banyak arti, di antaranya: sesuatu yang terjadi berulang-ulang. Kata `id juga berarti kebiasaan dari kata `adah. Dan kata ‘id juga memiliki arti kembali, kembali ke asal dari kata `audah semua itu dapat dipelajari dalam ilmu sharf, yang antara lain membahas perubahan-perubahan kata dalam bahasa Arab.
Dari pengertian yang terakhir, Idul Fitri atau kembali ke asal adalah pengertian yang sangat relevan dengan makna yang akan dicapai dalam pelaksanaan ibadah puasa. Ibadah puasa merupakan sarana penyucian diri, tentu saja apabila dijalankan dengan penuh kesungguhan dan ketulusan serta disadarinya tujuan puasa itu sendiri sense of objective.
Hal ini sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. berkaitan dengan asal kejadian manusia. Dikatakan dalam hadis Rasulullah Saw. bahwa setiap anak yang lahir adalah suci, "Setiap anak yang lahir adalah dalam kesucian ...." Penegasan yang berkenaan dengan kesucian bayi yang baru lahir juga dinyatakan dalam sebuah hadis lain yang mengatakan bahwa seorang bayi apabila meninggal, maka is dijamin akan masuk surga.
Manusia dengan kesucian asalnya, primordial, terkadang mudah terjerumus dan tergelincir ke dalam dosa sehingga menjadikan dirinya tidak kecil lagi. Meminjam istilah sastrawan terkenal Dante, kesucian itu diistilahkan dengan surga atau paradiso, suasana jiwa tanpa penderitaan. Sedangkan dosa, sebagai kondisi jiwa yang tidak membahagiakan diistilahkan dengan inferno atau neraka. Dan bulan Ramadlan yang berarti penyucian diistilahkan dengan purgatorio atau penyucian jiwa. Orang yang menjalankan ibadah puasa sesuai dengan tuntunan, dengan sendirinya akan dapat mengembalikan jiwanya ke keadaan kesucian atau paradiso, yakni kebahagiaan karena tanpa dosa.
Setelah berhasil menjalani ibadah ptiasa dengan baik, orang beriman kemudian oleh Al-Quran dianjurkan untuk bertakbir atau mengagungkan asma Allah Swt. sebagaimana disebutkan,'... Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukar an bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk¬nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur (QS Al-Baqarah [2] : 185).
Dengan anjuran takbiran tersebut, sepertinya seorang Muslim yang telah menjalankan ibadah puasa diasumsikan berada dalam kemenangan atau kesucian sehingga yang ada hanya Tuhan dan yang lain dianggap tidak berarti apa-apa. Allah-u Akbar, Allah Mahabesar.
Adapun hal unik yang berkaitan dengan takbir adalah susunan lafaz takbir. Takbir yang biasanya dalam shalat dibaca sesudah tahmid '(menyucikan nama Allah Swt.), dibalik susunannya pada saat takbir hari raya—tahmid dibaca sesudah takbir.
Asumsi atau anggapan yang muncul adalah karena dengan menjalankan puasa yang baik, sesuai dengan tuntunan dan telah berhasil melewati tingkatan-tingkatan dari lahiriah, nafsiah, hingga ruhaniah atau spiritual, maka seseorang dinyatakan telah mencapai kesucian. Segala sesuatunya dianggap sudah beres, artinya manusia telah kembali kepada asalnya, yakni kesucian atau fitri. Itulah sebabnya, yang diperlukan kemudian hanyalah mengagungkan nama dan kebesaran Allah Swt.
Sesuai hukum fiqih formal, anjuran bertakbir dimulai pada hari tenggelamnya matahari pada akhir Ramadlan sebagaimana tertulis dalam Al-Quran, Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah ... (QS Al-Baqarah [2]: 185).
Dan perlu disinggung di sini berkenaan dengan yang terjadi di masyarakat kita pada malam hari raya tiba. Sudah membudaya takbir keliling yang sesungguhnya merupakan manifestasi atau ungkapan kebahagiaan setelah berhasil memenangkan ibadah puasa. Dan takbir yang juga merupakan sarana meluapkan kebahagiaan setelah berpuasa itu juga identik dengan semangat zakat fitrah, yang intinya adalah memberikan kebahagiaan kepada orang yang tidak berpuasa, tu`mat-an li’l-masakin. Dalam ungkapan lain, lewat gerakan zakat fitrah, pada hari raya Idul Fitri jangan sampai ada orang yang bersedih dan jangan sampai ada orang yang meminta-minta. Ini hari kebahagiaan.
Itulah sebabnya, mengeluarkan zakat fitrah sebagai zakat pribadi juga ditegaskan olch hadis rasulullah Saw., harus dilaksanakan sebelum lid Fitri.
Dengan memahami hakikat ibadah puasa sebagai proses penyucian diri serta diiringi melaksanakan kewajiban zakat fitrah—yang tentunya juga dianjurkan untuk diikuti dengan zakat-zakat dan amal-amal sosial yang lain—maka makna sesungguhnya Idul Fitri adalah kembali kepada kesucian. Dan inilah hakikat kebahagiaan yang sejati: kembali kepada kesucian, fitri tanpa dosa—yang menjadi sumber segala penderitaan setiap anak manusia

Sumber: 30 Sajian Ruhani, Renungan di Bulan Ramadlan, Nurchalish Madjid

No comments: