Wednesday 26 August 2009

Perspektif Peradaban Islam Indonesia

Agama dirumuskan para cendekiawan sebagai unsur pokok dalam suatu peradaban. Agama menurut para cendekiawan merupakan faktor terpenting dalam menentukan karakteristik peradaban.
Tanda-tanda kehancuran suatu peradaban dapat dilihat sejauh mana unsur utama peradaban tersebut dapat terpelihara dengan baik. “Jika agama yang menjadi pondasi utama peradaban sudah rusak, dapat diartikan peradaban telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Mungkin juga peradaban tersebut hanya tinggal nama. Tetapi hakikatnya peradaban itu sudah rusak atau hancur,” ujar Adian Husaini, Doktor bidang peradaban Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM), Sabtu (18/4) dalam acara tasyakur dan orasi ilmiah di Aula Masjid Al Furqon. 
Menurut Adian berbagai perdebatan seputar hubungan agama dan negara di Indonesia dan diskursus tentang Islam dan sekulerisme dalam sejarah perjalanan Indonesia bisa dijadikan bahan untuk melakukan introspeksi perjalanan bangsa. Umat Islam seharusnya dapat melihat secara cermat peradaban mana akan dikaitkan, pada masa lalu atau masa mendatang. Dikaitkan dengan peradaban Islam, peradaban Jawa, atau peradaban Barat atau dengan meramu ketiga unsur nilai dasar peradaban menjadi peradaban baru. 
Sejak zaman VOC, Belanda mengakui hukum Islam di Indonesia. Kemudian pada tahun 1855, Belanda mempertegas pengakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Dalam sejarah disebutkan perjuangan Pangeran Diponegoro, untuk menegakkan Islam di Tanah Jawa. 
Para Orientalis Belanda dalam usaha meminggirkan Islam dalam sejarah nasional Indonesia menjadikan Kitab Darmagandul sebagai bahan rujukan penulisan sejarah. Bahkan seorang orientalis Belanda, GWJ Drewes menjadikan rujukan kitab itu untuk menggambarkan islam sebagai agama yang ditolak oleh orang Jawa.  
Dalam kitab itu juga digambarkan seharusnya Al Quran tidak digunakan lagi sebagai pedoman dalam kehidupan manusia karena keberadaannya meresahkan. Kasus kitab Darmogandul menunjukkan kitab ini dirancang untuk menepikan Islam dari kehidupan masyarakat. 
Adian mengungkapkan, sebagaimana yang diungkapkan M Natsir, ada tiga tantangan dakwah yang dihadapi umat Islam Indonesia, yaitu pemurtadan, gerakan sekulerisasi, dan gerakan nativisasi. Dengan demikian, umat Islam harus mencermati secara serius gerakan nativisasi yang dirancang secara terorganisir, yang biasanya melakukan koalisi dengan kelompok lain yang tidak senang pada Islam 
Dikatakan Adian, Natsir dulu pernah mengkhawatirkan sekulerisasi dan pembaharuan yang dibuka tanpa kendali. Peristiwa-peristiwa tragis dalam dunia pemikiran Islam Indonesia susul menyusul berlangsung secara liar dan tidak dapat dikendalikan.  
Saat ini di tengah-tengah era liberalisasi dalam berbagai bidang, liberalisasi pemikiran Islam juga menemukan medan yang kondusif karena didukung secara besar-besaran oleh negara-negara Barat. Sekulerisasi dan liberalisasi Islam juga dilakukan secara besar-besaran di 500 Perguruan Tinggi Islam (PTI) di Indonesia. 
Begitupula dengan Piagam Jakarta yang ditolak karena adanya unsur-unsur Islam dalam kehidupan kebangsaan Indonesia. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia muslim. Salah satu poin terpenting Pancasila “ Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” 
Adian menggarisbawahi peradaban Islam akan dapat terwujud jika umat Islam dapat membangun satu bentuk perjuangan yang cerdas dan ikhlas. Secara internal, para pejuang Islam dituntut memiliki kemampuan keilmuan yang tinggi dan hati yang ikhlas. 
Tiga tantangan yang disebutkan M Natsir, yaitu pemurtadan, sekulerisasi, dan nativisasi harus dapat direspon dengan cerdas dan bijaksana oleh umat Islam. “ Tantangan tersebut tidak boleh membuat kita loyo, tetapi kita harus bersemangat menghadapi semua tantangan tersebut,” ujarnya.  
Tantangan terberat saat ini melalui gerakan liberalisasi Islam. Gerakan ini didukung kekuatan-kekuatan global yang masih memendam sikap islamofobia, dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama, kesetaraan gender dan gerakan liberalisasi lainnya yang berusaha meruntuhkan pondasi islam, dnegan mendangkalkan akidah Islam dan merombak tatanan kelurga dan sistem sosial Islam. 
Adian mengharapkan kaum Muslim dapat menekuni berbagai bidang dengan sungguh-sungguh dan sabar agar dapat menjadi teladan masyarakat. Dia memberi contoh, dalam lapangan politik, partai-partai Islam dan para politisi Muslim harus menjadi politisi teladan, baik dalam pemikiran maupun perilaku. “Mereka harus cerdas dan zuhud,” tegasnya. 
Sedangkan dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah dan pesantren dan perguruan tinggi Islam harus diarahkan untuk menghasilkan pelajar dan sarjana yang unggul, beradab dan menjadikan Rasulullah sebagai uswah. Dalam bidang ekonomi, Adia mengharapkan lembaga-lembaga ekonomi syariah benar-benar menjadikan iman, ilmu dan ketakwaan sebagai landasan aktivitas perekonomian, dan bukan berlandaskan pada pragmatisme ekonomi.  
Begitu juga di bidang lain, seperti sosial, budaya, informasi, sains dan teknologi. Umat Islam juga dituntut bekerja keras agar dapat menunjukkan bahwa Islam sebagai rahmatan lil'alamin.

1 comment:

Anonymous said...

peradaban islam harus dibangkitkan kembali sebagaimana zaman ia pernah mendominasi, namun bukan dengan syahwat kekuasaan. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana merebut ilmu itu kembali agar bisa dimanfaatkan untuk kemasylahatan manusia dan alam semesta ini