Sunday 12 July 2009

Kemenangan SBY Karena Faktor “Cinta”


Oleh : Arya Sosman

Soesilo Bambang Yudoyono, atau lebih dikenal dengan nama SBY, sosok manusia Indonesia yang sangat fenomenal. Awalnya kemenangan yang diraih pada Pilpres 2004, dengan mengalahkan Amien Rais, Megawati, Wiranto dan Hamzah Haz, dicurigai sebagai akibat dirinya “dizalimi” oleh Presiden RI saat itu, Megawati Soekarno Putri. Penzaliman itu mengakibatkan tumbuhnya rasa simpati pada SBY.

Betul rasa simpati itu benar-benar mengalir dari rakyat saat itu – tapi pertanyaannya mengapa perasaan simpati itu begitu kuat bagi seorang SBY? – bukankah saat itu ia belum dipandang sebagai tokoh yang dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh besar Indonesia lainnya, seperti Amien Rais, Gus Dur, Nurchalis Majid, Habibie, Sri Sultan, Megawati dan Wiranto, melainkan ia hanya dikenal sebagai Menteri dan atau prajurit yang pintar dan baik. SBY juga tidak memiliki modal sosial politik karena tidak punya massa, tidak punya media masa, tidak punya partai, tidak memimpin organisasi besar yang kesemuanya dapat dijadikan sebagai alat untuk pencitraan. SBY juga bukan keturunan bangsawan, bukan dari anak Raja zaman dahulu, bukan hartawan, bukan pengusaha – dia dari orang-orang kebanyakan.

Bagi saya rasa simpati itu hanya sekedar penunjang dari berbagai faktor kemenangan SBY:
1. SBY adalah tokoh yang dianggap merefresentasikan antara “tentara – intelektual dan sedikit symbol Orde Baru ”. Saat itu di kalangan rakyat masih kuat keinginan untuk kembali ke Orde Baru akibat reformasi yang dianggap kebablasan (jawa=kelewatan), tetapi karena mengembalikan Orde Baru merupakan sesuatu yang mustahil maka SBY dipandang sebagai jalan tengahnya.
2. Sebagai tentara, dia pandang mampu mengatasi keamanan. (bagi rakyat kecil keamanan lebih diartikan sebagai bebasnya negara ini atas demonstrasi-demonstrasi, sedangkan keamanan yang dimaksud bagi kaum elit adalah ancaman disintegrasi bangsa (Aceh, Papua, Maluku saat itu meradang ingin merdeka) – Rakyat percaya urusan keamanan hanya militer ahlinya.
3. Sebagai intelektual, SBY bukan sekedar prajurit yang hanya mampu berperang namun ia adalah seorang pemikir yang memiliki gagasan-gagasan cemerlang untuk kemajuan bangsa dan Negara. Gagasan itu telah ditunjukkan dalam kecemerlangannya membuat konsep reformasi ABRI. Bahkan ditengah kesibukannya ia berhasil mendapatkan gelar Doktor di IPB, sebuah gelar tertinggi bagi orang-orang berilmu.
Waktu itu ada perasaan jenuh dipimpin oleh tentara tetapi persoalannya para tokoh sipil dianggap gagal menjadikan Negara ini aman (liat saja sejak Habibi, Gus Dur dan Mega, tiada hari tanpa demonstrasi). Disatu pihak dibutukan figure intelektual. Figur ini di kalangan tentara dianggap langka.
Bagi rakyat SBY adalah perpaduan dari semuanya.

Sekarang, pada Pilpres 2009, dia berhasil mengalahkan pesaingnya secara telak. Dia berhasil menjadi yang terkuat, walaupun para pesaingnya telah menggunakan berbagai cara melumpuhkan pengaruhnya. Upaya pelumpuhan ini secara nyata dilakukan oleh Megawati melalui serangan BLT, misalnya, baik sejak sebelum masa pendaftaran Pilpres sampai dengan saat-saat terakhir kampanye. Tetapi seluruh upaya itu nampak sia-sia, justeru Mega dituduh manusia pendendam, tidak cerdas. SBY tetap yang terkuat.
Para pengamat dan lawan politiknya berusaha mencari-cari alasan kemenangan SBY, namun bagi saya, alasan-alasan itu saya anggap lebih bersifat apologis bahkan memaksakan gambaran yang tidak sesungguhnya. Diantara alasan-alasan itu bahkan banyak yang bersifat “tuduhan”, misalnya adanya tuduhan SBY melakukan Penggiringan opini melalui survey, adanya operasi gelap (silent operation), kecurangan Daftar Pemilih Tetap (DPT), dana kampanye yang sangat besar, SBY Boediono didukung oleh Barat untuk mengamankan konsep neoliberalisme dan sebagainya.

Apakah seluruh tuduhan itu ada yang terbukti? – jawabannya TIDAK!

Saya berpendapat bahwa kemenangan SBY disebabkan oleh “kekuatan personalnya”, dia adalah tokoh yang dicintai rakyat. Sebagai tokoh yang dicintai maka akan menimbulkan efek terbalik bagi para pengeritiknya – terutama yang tidak konstruktif. Semakin dikritik ia semakin mendapatkan pembelaan, semakin dituding ia semakin dicintai, semakin dijatuhkan ia semakin dihormati, semakin dicemooh simpati rakyat semakin mengalir. Itulah fakta SBY, si manusia pilihan.

No comments: