Friday 1 July 2011

EQ - Penyebab Kegagalan Orang Pintar dalam Hidup


oleh: Nursalam Ar
Penerjemah, penulis dan konsultan penulisan. Pernah kuliah di UI & Ma'had 'Utsman bin 'Affan. Mantan jurnalis media online. Pendiri Matoa Group dan pengasuh Komunitas Matoa (KOMA), komunitas penulisan & penerjemahan. Blog pribadi: www.nursalam.wordpress.com. Surel: salam.translator@gmail.com


Kenapa si fulan yang IQ-nya 160 kok karirnya biasa-biasa saja dibandingkan si fulanah yang IQ-nya rata-rata namun bisa bekerja di luar negeri dengan gaji sangat besar?

Kenapa si A yang lulusan universitas di luar negeri dengan predikat summa cum laude hanya jadi bawahan di sebuah perusahaan sementara si B yang tak tamat SD bisa jadi pengusaha besar?

Kenapa Joko yang dikenal anak cerdas sejak kecil selalu kawin cerai dengan istri-istrinya sementara Tono, rekan sekolahnya dulu, yang otaknya sedang-sedang saja justru kehidupan rumah tangganya lebih langgeng dan harmonis?

Demikian banyak daftar kegagalan orang pintar dalam hidup yang terasa mengherankan, semata-mata jika dipandang dari paradigma IQ (Intelligence Quotient). Anda pun bisa menambah panjang daftar tersebut dengan pengalaman orang-orang di sekitar Anda atau bahkan pengalaman pribadi Anda sendiri.

Terkait dengan hal itu, Daniel Goleman dalam buku Emotional Intelligence—yang populer karena mengenalkan konsep Emotional Quotient (EQ)—mengungkapkan bahwa manusia memiliki dua otak dalam satu tempurung kepalanya. Satu otak berpikir yang lazim dikenal sebagai otak kiri, dan yang satu otak merasa atau otak kanan. Otak kiri cenderung bersikap objektif, rasional, presisi, numerikal,analitis, linier,konvergen dan logis. Sementara otak kanan cenderung sarat hal-hal eksperimental, divergen, non-analitis, subjektif, non-verbal, intuitif, holistik dan reseptif.

Dua otak ini harus bekerja selaras. Otak kanan yang memuat emosi memberi masukan dan informasi kepada proses berpikir rasional pada otak kiri. Sementara otak kiri memperbaiki dan terkadang menyetop masukan emosi tersebut. Jika otak kanan terlalu dominan, kita akan sering bertindak gegabah dan mengambil keputusan yang sembrono. Namun jika otak kiri terlalu dominan, kita cenderung hanya jadi pengamat dan terus menganalisis alias omong doang (omdo)–atau justru bertindak atau berucap tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain.

Goleman juga mengintrodusir lima wilayah EQ atau kecerdasan emosi yakni: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Inilah modal kecakapan bisnis yang menurut Purdi Chandra—boss pendiri jaringan Primagama Group—jika kita mampu mengelolanya maka bisnis apapun akan lebih berpeluang berjalan mulus. Rasanya beralasan karena, dalam neurologi, perasaan atau emosi biasanya sangat dibutuhkan untuk keputusan rasional. Otak emosional atau otak kanan akan menunjukkan pada arah yang tepat. Maka pengelolaan emosi adalah hal vital dalam kehidupan.

Patricia Patton, seorang pakar manajemen, menyatakan bahwa untuk mengelola emosi, kita dapat melakukannya dengan cara belajar, yakni: Pertama, belajar mengidentifikasi apa yang biasanya dapat memicu emosi kita dan respons apa yang biasa kita berikan. Kedua, belajar dari kesalahan, belajar membedakan segala hal di sekitar kita yang dapat berpengaruh atau tidak berpengaruh pada diri kita. Ketiga, belajar selalu bertanggung jawab terhadap setiap tindakan kita. Keempat, belajar mencari kebenaran, belajar memanfaatkan waktu secara maksimal untuk menyelesaikan masalah. Kelima, belajar menggunakan kekuatan sekaligus kerendahan hati.

Ya, pengendalian emosi atau EQ adalah salah satu kunci jawaban kenapa banyak orang pintar atau unggul dalam IQ banyak yang gagal dalam hidup dan bisnis atau minimal tidak seberhasil rekan-rekannya yang relatif ber-IQ lebih rendah atau biasa-biasa saja. Dalam teori-teori psikologi kontemporer bahkan teori EQ terus diperkaya dengan tambahan ranah SQ (Spiritual Quotient) dll.

Jakarta, 30 Juni 2011

1 comment:

Dina said...

Pengalaman: Saya punya teman genius, terampil dan baik hati. tetapi dia punya kelemahan utama suka mencuri, suka ngutang.
Dengan modal geniusnya itu dia sangat gampang mendapatkan pekerjaan tetapi sangat gampang pula ia berhenti karena dipecat.
Apakah ini bagian dari keleahan ESC?