Monday 11 April 2011

Surat Seorang Ibu

Assalamualaikum,...

Segala puji ibu panjatkan kehadirat Allah ta’ala yg memudahkan ibu untuk beribadah kepadaNya. Shalawat serta salam ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam,keluarga dan para sahabatnya.amiin..
Wahai anakku

Surat ini datang dari ibumu yang selalu dirundung sengsara.....
Setelah berpikir panjang ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena,sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri.
Setiap kali menulis, setiap kali itu pula gores tulisan terhalang oleh tangis, dan setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka....
Wahai anakku!

Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini ,sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati dan telah engkau robek pula perasaanku.
Wahai anakku...

25 tahun telah berlalu,dan tahun2 itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku.
Suatu ketika dokter datang menyampaikan kabar tentang Kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut.
Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi...

Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan.
Tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan.
Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama jalannya waktu.
Aku mengandungmu,wahai anakku!

Pada kondisi lemah diatas lemah, bersamaan dengan itu aku begitu gembira tatkala merasakan, melihat terjangan kakimu dan balikan badanmu di perutku.

Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku,karena semakin hari semakin bertambah berat perutku,berarti engkau sehat walafiat dalam rahimku. Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar pada malam itu yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun.

Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan. Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari dipelupuk mataku, sehingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia.

Engkaupun lahir...Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan. Dengan semua itu sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan.
Bahkan kasihku padamu semakin bertambah dengan bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkonganku.

Wahai anakku..Telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku.
Saripati hidupku kuberikan kepadamu.

Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya,agar aku melihat senyumanmu.
Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu,agar aku berbuat sesuatu untukmu...itulah kebahagiaanku.
Kemudian berlalulah waktu. Hari berganti hari,bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti, dan menjadi pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta mendo’akan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.

Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis yang telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai kekiri dan kekanan demi mencari pasangan hidupmu. Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu.

Saat itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris , air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini.
Bahagia telah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau telah mendapatkan pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku.

Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat.
Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam.

Tawamu yang selama ini aku jadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan kedalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran.
Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.

Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. Detik demi detik ku hitung demi mendengarkan suaramu.
Akan tetapi penantian kurasakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menanti kedatanganmu.

Setiap kali berderit pintu aku menyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali berdering telpon aku merasa bahwa engkaulah yang menelpon. Setiap suara kendaraan yang lewat aku merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi, semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku hancur berkeping, yang ada hanya keputusasaan.

Yang tersisa hanyalah kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan olehNya.
Anakku...ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu yang bukan-bukan. Yang ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu dirumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu. Dan ibu memohon kepadamu,

Nak! Janganlah engkau memasang jerat permusuhan denganku,
jangan engkau buang wajahmu ketika ibu hendak memandang wajahmu!!.
Yang ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah kesana sekalipun hanya satu detik.
Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.

Anakku, telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit.
Berdiri seharusnya dipapah, dudukpun sudah saharusnya dibopong, sekalipun begitu cintaku kepadamu masih seperti dulu...
Masih seperti lautan yang tidak pernah kering. Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti.

Wahai anakku,
Setiap aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku.
Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkaulah hasil dari keletihanku. Engkaulah laba dari semua usahaku!.

Sekiranya dosa apa yang telah kuperbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?!

Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu? Terus, jika demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku sebagai budak dan pembantu yang paling hina dari sekian banyak pembantu dan budakmu.

Semua mereka telah mendapatkan upahnya!? Mana upah yang layak untukku

Wahai Anakku!
Wahai anakku!!
Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.
Wahai Anakku! Hatiku teriris, air mataku mengalir sedangkan engkau sehat walafiat. Orang-orang sering mengatakan bahwa engkau seorang laki-laki supel, dermawan dan berbudi. Anakku...tidak tersentuhkah hatimu terhadap seorang wanita tua yg lemah,
Tidak terenyuhkah jiwamu melihat orang tua yang telah renta ini, ia binasa dimakan oleh rindu, berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan!?
Bukan karena apa-apa?! Akan tetapi hanya karena engkau telah berhasil mengalirkan air matanya.....

Hanya karena engkau telah membalasnya dengan luka di hatinya...
Hanya karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya...

Hanya karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim?!.
Wahai Anakku, ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan dan balas budi yang baik.

Semoga aku bertemu denganmu di sana dengan kasih sayang Allah Ta’ala, sebagaimana Dalam hadits: “Orang tua adalah pintu surga yang di tengah.Sekiranya engkau mau, maka sia-siakanlah pintu itu atau jagalah (HR Ahmad).

Anakku... Nabi yang mulia Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Dari Ibnu Mas’ud radiallahu’anhu berkata :

Aku bertanya kepada Rasulullah, “ wahai Rasulullah amal apa yang paling mulia? Beliau berkata “ Shalat pada waktunya”, aku berkata “kemudian apa ya Rasulullah?” beliau
berkata “Berbakti pada orang tua” dan aku berkata, “kemudian wahai Rasulullah? “ Beliau menjawab “ Jihad di Jalan Allah”, lalu beliau diam. Sekiranya aku bertanya lagi, niscya beliau akan menjawabnya. (muttafaqun ‘alaih).

Whai Anakku!! Ini aku, pahalamu,tanpa engkau bersusah payah untuk memerdekakan budak atau berletih dalam berinfaq. Pernahkah engkau mendengar cerita seorang ayah yang telah meninggalkan keluarga dan anak-anaknya dan berangkat jauh dari negerinya untuk mencari tambang emas? Setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yang ia bawa pulang hanya tangan hampa dan kegagalan.

Dia telah gagal dalam usahanya. Setibanya di rumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya, tetapi yang dilihatnya adalah sebuah perusahaan tambang emas yang besar. Berletih mencari emas di negeri orang kiranya, di sebelah gubuk reotnya orang mendirikan tambang emas. Begitulah perumpaanmu dengan kebaikan. Engkau berletih mencari pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa didekatmu ada pahala yang maha besar. Disampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu.

Bukankah Ridhoku adalah keridhoan Allah Ta’ala, dan murkaku adalah kemurkaanNya?
Anakku, yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa jangan-jangan engkaulah yang dimaksudkan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dalam sabdanya “merugilah seseorang,merugilah seseorang, merugilah seseorang”, dikatakan, “Siapa dia Wahai Rasulullah?”
“Orang yang mendapatkan kedua ayah ibunya ketika tua, dan tidak memasukkanya ke surga “. (HR Muslim)

Anakku...Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka ini pada Allah, karena sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib yang dapat menyembuhkannya.

Aku Tidak akan melakukannya, Nak! Bagaimana aku akan melakukannya sedang engkau adalah jantung hatiku...bagaimana ibumu ini kuat menengadahkan tangannya kelangit sedangkan engkau adalah pelipur laraku. Bagaimana ibu tega melihatmu merana terkena do’a mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku.

Bangunlah Nak! Uban sudah mulai merambat dikepalamu. Akan berlalu masa sehingga engkau akan menjadi tua pula, dan Al Jaza’min jinsil amal...”engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam...” Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mata itu pula kepadamu.

Wahai anakku, bertaqwalah kepada Allah pada ibumu,peganglah kakinya!!sesungguhnya surga di kakinya. Basulah air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk. Anakku...Setelah engkau membaca surat ini, terserah padamu! Apakah engkau sadar dan akan kembali atau engkau ingin merobeknya...

Wassalam

Ibumu

Sumber : Buku “kutitip surat ini untukmu” karya Ustadz Armen Halim Naro Lc .

4 comments:

Suparti said...

Tulisan ini sangat menyentuh, sy terpikir kelak semasa tua apakah mungkin anak laki2 sy akan melupakan saya?

Heru Prayitna said...

Pesan moral buat kita semua yang laki-laki. Semoga tidak ada di keluarga kita laki2 seperti itu.

Mamat said...

I Love You Mom, aku selalu mencintaimu

Karina Malik said...

Masih adakah malin kundang di abad digital ini?