Monday, 11 May 2009

Politik dan Perempuan Indonesia

Politik adalah media untuk mendapatkan kekuasaan. Kalimat ini jika dihubungkan dengan orientasi perempuan Indonesia adalah problem, sebab sepanjang sejarah di Nusantara ini kaum perempuan selalau dalam posisi yang lemah bahkan termarginalkan sekalipun sejarah mengabarkan kepada kita beberapa tokoh besar dari kaum perempuan telah berhasil menempatkan dirinya sebagai ikon perubahan sejarah besar bangsa ini. Lihatlah misalnya Ratu Nilakendra Pajajaran, Kita mengenal para ratu dalam kerajaan Aceh juga panglima Cut Nyak Dien, dan juga pejuang Christina Martha Tiahahu, merupakan pemimpin-pemimpin perjuangan pada zaman itu. Dan pada zaman kebangkitan, kita juga mengenal tokoh-tokoh seperti Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika, dan juga Hj. Rangkayo Rasuna Said, dan sebagainya.
Akan tetapi tetap saja mereka tidak dianggap merefresentasikan kaum perempuan. Mereka muncul sebagai tokoh  karena keadaan yang luar biasa. 

Anggapan itu "okelah" kita anggap benar akan tetapi realita budaya kita, realita sistem sosial kita sesungguhnya ambivalen bahwa disatu pihak sistem sosial budaya kita memandang perempuan dengan sebelah mata, perempuan tidak mendapat hak untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat politik, akan tetapi disatu pihak sistem sosial budaya kita membolehkannya.

Statemen yang ingin saya publish adalah bahwa kaum perempuan indonesia sebenarnya diijinkan untuk  berprestasi sampai level tertinggi oleh sistem sosial budaya kita. Hanya saja dalam implementasinya kaum pria terlalu takut memberikan hak berprestasi yang terlalu tinggi sehingga dibangunlah citra bahwa budaya dan agama tidak mengijinkan perempuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh kaum laki-laki, apalagi di dunia politik. Lagi pula kaum laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, kaum laki-laki adalah pemimpin keluarga, kaum laki-laki bertugas mencari uang sedangkan perempuan bertugas mengurus rumah tangga. dan sebagainya.

Sayangnya pembangunan citra itu berhasil dilakukan oleh kaum laki-laki yang pada akhirnya menumbuhkan disorientasi cita-cita kaum perempuan. Dalam bidang politik, hal ini sangat terasa. Betapa susahnya mencari kaum perempuan yang berpikir kekuasaan. Baginya kekuasaan alias politik itu dunianya kaum laki-laki dan sama sekali bukan dunianya kaum perempuan. Karena itu upaya pencapaian kuota perempuan 30% yang diwajibkan Undang-undang sulit dipenuhi oleh Parpol, akibatnya Parpol sering melakukan langkah-langkah kuantitatif yang bersifat formalistis. Maka kita melihat banyak Caleg perempuan menjadi bahan ejekan masyarakat.  

Inilah problem.


 

No comments: