Akan tetapi tetap saja mereka tidak dianggap merefresentasikan kaum perempuan. Mereka muncul sebagai tokoh karena keadaan yang luar biasa.
Anggapan itu "okelah" kita anggap benar akan tetapi realita budaya kita, realita sistem sosial kita sesungguhnya ambivalen bahwa disatu pihak sistem sosial budaya kita memandang perempuan dengan sebelah mata, perempuan tidak mendapat hak untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat politik, akan tetapi disatu pihak sistem sosial budaya kita membolehkannya.
Statemen yang ingin saya publish adalah bahwa kaum perempuan indonesia sebenarnya diijinkan untuk berprestasi sampai level tertinggi oleh sistem sosial budaya kita. Hanya saja dalam implementasinya kaum pria terlalu takut memberikan hak berprestasi yang terlalu tinggi sehingga dibangunlah citra bahwa budaya dan agama tidak mengijinkan perempuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh kaum laki-laki, apalagi di dunia politik. Lagi pula kaum laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, kaum laki-laki adalah pemimpin keluarga, kaum laki-laki bertugas mencari uang sedangkan perempuan bertugas mengurus rumah tangga. dan sebagainya.
Sayangnya pembangunan citra itu berhasil dilakukan oleh kaum laki-laki yang pada akhirnya menumbuhkan disorientasi cita-cita kaum perempuan. Dalam bidang politik, hal ini sangat terasa. Betapa susahnya mencari kaum perempuan yang berpikir kekuasaan. Baginya kekuasaan alias politik itu dunianya kaum laki-laki dan sama sekali bukan dunianya kaum perempuan. Karena itu upaya pencapaian kuota perempuan 30% yang diwajibkan Undang-undang sulit dipenuhi oleh Parpol, akibatnya Parpol sering melakukan langkah-langkah kuantitatif yang bersifat formalistis. Maka kita melihat banyak Caleg perempuan menjadi bahan ejekan masyarakat.
Inilah problem.
No comments:
Post a Comment