"Duduklah, nak, ini semua sudah berakhir," ujar Eddie Futch kepada petinju didikannya, Joe Frazier. "Tak akan ada yang melupakan yang engkau lakukan hari ini."
![]() |
Ilustrasi Joe Frazier, sang petinju yang membuat
Muhammad Ali menatap maut. (CNN Indonesia/Fajrian) |
Kala itu
menjelang ronde ke-15, Frazier berusaha untuk bangkit dan meneruskan
pertarungannya dengan Muhammad Ali. Mata kirinya tak bisa lagi melihat,
sementara mata kanannya lebam dan bengkak terkena pukulan "Sang Terhebat."
Sudah tak
terhitung berapa kali kepalan tangan Ali mendarat di tubuh Frazier dalam
pertarungan paling brutal sepanjang massa yang berlangsung di Manila tersebut.
Ketika Futch menghentikan laga itu seusai ronde ke-14, keduanya harus dibawa ke
rumah sakit dan Frazier tak boleh lagi bertinju selama 10 bulan selanjutnya.
"Hentikan
saja ini semua," ujar Ali kepada pelatihnya sendiri dengan pandangan
nanar, hanya beberapa saat
sebelum Futch memotong tali sarung tinju Frazier dan
menghentikan penderitaan keduanya. Nanti, di kemudian hari, Ali mengaku bahwa
saat-saat itulah kala ia pertama kalinya merasa demikian dekat dengan maut.
![]() |
Ali vs Fraizer Jilid III, Manila 1975 "Thrilla in Manila" |
Tapi ancaman
kematian tak bisa menghentikan langkah Frazier. Dengan tubuh yang remuk redam
dan mata yang nyaris tak bisa melihat, ia malah meronta dan meminta pada Futch
agar ia diizinkan untuk terus menghadapi Ali.
"Eddie,
tolong, biarkan saya melanjutkan ini. Jangan hentikan pertarungan ini."
Hanya
kata-kata Futch yang mampu menghentikan keinginan kuat Frazier untuk menantang
Ali hingga ke batas maksimum.
"Duduklah,
nak, ini semua sudah berakhir. Tak akan ada yang melupakan yang engkau lakukan
hari ini."
Ali Bukanlah Ali
Sepanjang
kariernya, Frazier memang tak kenal rasa takut terhadap pukulan lawan. Berbeda
dari Ali, ia bukan petinju yang lincah dan atletis. Semenjak usia muda, ia pun
hanya mengandalkan satu mata, setelah mata kirinya terkena pecahan besi ketika
berlatih tinju.
Mau tak mau
Frazier harus mengorbankan tubuhnya demi menyarangkan kepalan tangan di rahang
lawan. Menerima pukulan adalah satu kewajiban yang harus dipikul sebelum ia
bisa menyarangkan pukulan. Dan gaya bertinju seperti itulah yang membawa
Frazier mampu keluar dari kemiskinan di Carolina Selatan dengan hanya bertinju
dari ring ke ring.
Namun apa
yang dipunyai Frazier justru tak dimiliki Ali dalam masa awal-awal kariernya.
Ali, yang
selincah kupu-kupu itu, justru dikritik karena terlalu takut untuk dipukul
lawan. Dengan langkah-langkah kecil kakinya, Ali pandai mengelak dan merunduk.
Wajah cantiknya --sebagaimana ia biasa merujuk pada ketampanan parasnya--
jarang ia biarkan terluka karena pukulan lawan.
Ali
tampaknya menyimpan keberanian total untuk saat-saat penting, ketika berbicara
dalam panggung politik untuk membela kepercayaannya dan membela kaum kulit
hitam.
Di luar
ring, Ali memang tak mengenal perhitungan. Tanpa ragu ia menanggalkan gelar dan
kejayaannya demi menolak perang Vietnam, satu tahun sebelum Martin Luther King
mengumumkan kepada publik bahwa dirinya menentang perang.
Tapi, di
atas ring, dalam trilogi pertarungan dengan Frazier lah Ali belajar untuk tanpa
rasa takut menerima pukulan lawan.
Pertarungannya
dengan Sony Liston memang melambungkan nama Ali di dalam dunia tinju. Tapi
pertarungan dengan Liston bukanlah pertarungan legendaris. Liston yang
dikalahkan Ali adalah Liston yang tua yang fisiknya sedikit kedodoran.
Sementara
itu, pertarungan Ali dengan George Foreman di Zaire tak memiliki narasi sehebat
pertarungannya dengan Frazier yang diwarnai kebencian lima tahun dan
cemoohan-cemoohan yang menimbulkan luka emosional pada diri Frazier.
Mengutip
salah seorang jurnalis olahraga David Halberstam, tanpa tiga pertarungannya
dengan Joe Frazier, seorang Muhammad Ali bukanlah Ali. Karena bisa mengalahkan
lawan seperti Frazier lah, Ali dikenal sebagai yang terkuat dan terhebat.
Bukan Paman Tom
Tak sulit
untuk menerka apa yang menjadi alasan Frazier hingga ia demikian ingin mengandaskan
Ali di atas kanvas ring tinju. Cemoohan dan ejekan yang dikeluarkan Ali bukan
hanya mengandaskan harga dirinya namun juga membuat Frazier secara tragis
ditolak kaumnya sendiri.
Ali mengejek
Frazier sebagai orang yang buruk rupa, berhidung pesek, dan menyamakan cara
Frazier berbicara dengan seekor gorilla.
"Joe
Frazier terlalu buruk rupa untuk menjadi seorang juara. Ia tak bisa bicara. Ia
tak bisa berdansa. Ia tak bergerak lincah, dan ia tak menulis puisi," kata
Ali.
Ali juga
menyebut Frazier sebagai paman Tom dan mengatakan bahwa sang musuh bebuyutan
adalah petinjunya kaum kulit putih yang memiliki kedekatan dengan politikus
yang menindas kaum kulit hitam.
"Ia
bekerja untuk musuh," kata Ali.
Padahal sebenarnya Frazier bukanlah paman Tom, atau
memiliki afiliasi politik tertentu. Ketika Ali dilarang untuk bertinju, adalah
Frazier yang mendatangi presiden Nixon untuk meminta agar Ali diizinkan
bertinju kembali.
Frazier
adalah anak dari seorang buruh perkebunan di Carolina selatan. Ia memiliki akar
yang lebih dekat dengan perbudakan ketimbang Ali, dan dalam setiap langkah
hidupnya menanggung lebih banyak kesukaran hanya karena ia berkulit hitam.
"Saya
tahu takdir saya karena saya dilahirkan ke dalam kebencian dan bigotry. Saya datang dari
Carolina selatan, dan kehidupan di sana lebih keras ketimbang Georgia, Alabama
dan Mississipi," kata Frazier.
Yang
dimiliki oleh petinju yang dijuluki Smokin' Joe ini hanyalah keinginan kuat dan
keberanian untuk membayar tiket keluar dari kemiskinan dengan tubuh dan kepalan
tinjunya.
Tak seperti
Ali dan Foreman yang pandai berbicara dan memasarkan diri mereka sebagai
petinju, Frazier tak diberkahi kemampuan sama. Ia memang tak pandai berpuisi
atau membuat lelucon di depan kamera.
Maka,
satu-satunya cara untuk membalas seluruh ejekan Ali adalah dengan kepalan
tangannya. Hanya dalam keberanian menerima pukulanlah ia bisa setara dengan Ali
dan bertarung dalam permainan yang sama.
Bukan di
depan televisi atau dihadapan pengeras suara
Dibawa
Hingga Mati
Namun, pada
akhirnya kata-kata Ali tak pernah hilang dari ingatan Frazier. Hingga masa
tuanya, ia selalu menyombongkan kemampuannya untuk membuat Ali menggeratakan
gigi sebagai suatu simbol kehormatan.
"Saya
ingin bertarung dengan si pecundang itu lagi, memukuli dia, dan mengirimkan ia
kembali kepada Tuhan," tulis Frazier dalam buku otobiografinya. Ketika Ali
terpilih menjadi pembawa obor Olimpiade, Frazier pun berkata bahwa Ali
seharusnya didorong ke dalam api itu sendiri.
Salah satu
gambaran paling tragis atas kebencian yang dibawa oleh Frazier mungkin
tergambar dalam film dokumenter bertajuk Facing Ali.
Dalam film
itu, salah seorang saudara Frazier dengan sengaja menghubungi telepon
genggamnya untuk memperdengarkan rekaman suara Frazier yang berpuisi bagi orang
yang menelepon.
"My name is smokin Joe Frazier
Sharp as a razor,
Yeah, floats like a butterfly,
Stings like a bee,
I'm the man who done the job
He knows, look, and see."
Satu bentuk
gubahan dari puisi paling terkenal milik Muhammad Ali.
Ya, luka
emosional yang diberikan Ali tampaknya tak bisa membuat Frazier mengerti,
bahwa, meminjam kata-kata David Halberstam, dalam kekalahan pun orang-orang
tetap memberikannya penghormatan setinggi Ali.
Bahwa hanya
petinju terbaiklah yang mampu memaksa Ali mengeluarkan permainan terbaiknya.
Di Manila,
Eddie Futch mungkin menghentikan Frazier mengantarkan nyawanya kepada Ali,
namun Frazier tak pernah benar-benar mendengar ucapannya.
"Duduklah, nak, ini semua sudah berakhir. Tak akan ada yang melupakan yang engkau lakukan hari ini."(vws)
Senin, 12/01/2015 21:54 WIB
http://www.cnnindonesia.com/olahraga/20150112210414-178-24133/frazier-dan-kisah-kebencian-tragis-pada-muhammad-ali/
1 comment:
Mantap abis.
digital
Post a Comment