Prof. Widjajono Partowidagdo, Ph.D |
VIVAnews - Saya terkesan
dengan logika berpikir Prof. Widjajono Partowidagdo, Wakil Menteri ESDM yang
baru saja meninggal dunia di pendakiannya ke Gunung Tambora Nusa Tenggara
Barat, Sabtu lalu: kurangi pemakaian bahan bakar minyak (BBM).
Kalau sudah tahu bahwa produksi
minyak kita terus menurun, kemampuan kita membangun kilang juga terbatas, dan
pertambahan kendaraan tidak bisa dicegah, mengapa kita terus mempertahankan
pemakaian BBM?
Almarhum sering sekali mengajak saya
berbicara soal itu. Almarhum merasa perdebatan soal BBM yang riuh-rendah selama
ini sangat tidak mendasar. Tidak menyelesaikan akar persoalan. Hanya
menimbulkan huru-hara politik. Saya sangat setuju dengan konsep almarhum untuk
semakin beralih ke gas. Hanya saja memang diperlukan upaya yang ekstra keras
untuk mengalihkan kebiasaan menggunakan BBM ke bahan bakar gas (BBG).
Almarhum juga sangat setuju mobil
listrik nasional diperjuangkan. Bahkan almarhum mengatakan BBM harus dikeroyok
ramai-ramai dari segala jurusan. Terutama dari jurusan gas dan dari jurusan
listrik. Tanpa usaha yang keras dari dua jurusan itu akan terus timbul kesan di
masyarakat bahwa pemerintah, khususnya Pertamina, sengaja lebih menyukai impor
BBM.
Pertamina dikesankan lebih senang
impor BBM karena bisa menjadi objek korupsi dan kolusi. Istilah mafia impor BBM
begitu gencarnya ditudingkan–entah seperti apa wujud mafia itu.
Seserius-seriusnya Pertamina
berupaya memberantas korupsi, tuduhan itu akan terus berlangsung. Apalagi,
kenyataannya, impor BBM-nya memang terus meningkat.
Tidak mungkinkah kita berhenti impor
BBM? Tentu saja bisa. Tapi syaratnya berat sekali: kita harus memiliki kilang
yang cukup. Minyak mentah itu baru bisa jadi BBM kalau sudah diolah di kilang.
Kebutuhan BBM kita sekarang ini sekitar 50 juta kiloliter/tahun. Sedang kilang
kita sendiri hanya bisa memproduksi BBM kurang dari separonya.
Kalau kita menghendaki tidak mau
impor BBM lagi, kita harus membangun kilang baru sebanyak dan sebesar yang
telah ada sekarang. Saat ini kita punya tujuh kilang minyak: Pangkalan Brandan,
Dumai, Musi, Cilacap, Balikpapan, Kasim, dan Balongan. Total kapasitas produksi
BBM-nya kurang dari 25 juta kiloliter/tahun.
Di sinilah pokok persoalannya.
Mampukah kita membangun sekaligus kilang-kilang baru sebanyak kekurangannya
itu?
Sejak 15 tahun lalu, kita memang
tidak pernah punya kemampuan membangun kilang baru. Kilang terbaru kita umurnya
sudah 18 tahun. Yakni kilang Balongan, Jabar, yang dibangun oleh Presiden
Soeharto di tahun 1994. Presiden-presiden berikutnya tidak sempat memikirkan
pembangunan kilang baru. Padahal jumlah kendaraan terus bertambah. Akibatnya
impor BBM tidak bisa dihindarkan. Bahkan terus meningkat.
Baru tahun lalu Presiden SBY
memutuskan membangun kilang tambahan di Cilacap. Tahun ini Presiden SBY juga
sudah memutuskan membangun dua kilang lagi. Tapi Pertamina tidak mungkin membiayai
pembangunan kilang-kilang itu sendirian. Sebuah kilang dengan kapasitas 300
ribu barel, memerlukan biaya investasi sampai Rp70 triliun. Bayangkan kalau
harus membangun tiga kilang sekaligus.
Pertamina harus menggandeng
investor. Mencari investor pun tidak mudah. Di samping biayanya sangat besar,
masih ada kesulitan lain: sebuah kilang, baru bisa dibangun manakala sudah
diketahui jenis minyak mentah seperti apa yang akan diproses di situ. Beda
jenis minyak mentahnya, beda pula desain teknologinya.
Para pemilik minyak mentah tahu
posisi strategisnya itu. Mereka bisa mendikte banyak hal: mendikte harga dan
mendikte pasokan. Investor kilang yang ingin masuk ke Indonesia, misalnya,
meminta berbagai syarat yang luar biasa beratnya: tanahnya seluas 600 ha harus
gratis, pemerintah harus menjamin macam-macam, dan pajaknya minta dibebaskan
dalam masa yang sangat panjang.
Kalau dalam masa pemerintahan
Presiden SBY ini berhasil membangun tiga proyek kilang sekaligus, tentu
ini sebuah warisan yang sangat berharga. Saya sebut warisan karena bukan
Presiden SBY yang akan menikmati hasilnya, tapi pemerintahan-pemerintahan
berikutnya.
Dari gambaran itu, jelaslah bahwa
sampai lima tahun ke depan impor BBM kita masih akan terus meningkat. Kecuali
ide almarhum soal konversi ke gas itu berhasil dilakukan dan mobil listrik
nasional berhasil dimassalkan. Kilang-kilang baru itu, seandainya pun berhasil
dibangun, baru akan menghasilkan BBM di tahun 2018.
Kita tahu persis apa yang terjadi
dalam lima tahun ke depan. Saat kilang-kilang itu nanti mulai berproduksi
kebutuhan BBM sudah naik lagi entah berapa puluh juta kiloliter lagi. Berarti,
impor lagi. Impor lagi.
Di sinilah Prof. Widjajono geram.
Kenaikan harga BBM, menurut Beliau, seharusnya juga dilihat dari aspek
pengendalian impor ini. Yang tidak menyetujui kenaikan harga BBM, menurut
Beliau, pada dasarnya sama saja dengan menganjurkan impor BBM
sebanyak-banyaknya!
Kalau Prof. Widjajono sering
mengajak saya bicara soal konversi gas, saya sering mengajak bicara Beliau soal
mobil listrik nasional. Termasuk perkembangan terakhirnya. Saya tahu konversi
gas memang bisa dilakukan lebih cepat dari mobil listrik nasional. Namun kami
sepakat dua-duanya harus dijalankan. Kami juga sepakat bahwa upaya ini tidak
mudah, tapi pasti berhasil kalau dilakukan dengan semangat Angkatan 45.
Saya bersyukur sempat
menginformasikan perkembangan terakhir mobil listrik nasional. Ribuan email dan
SMS mendukung dengan gegap-gempita kehadiran mobil listrik nasional itu. Dan
yang secara serius mengajukan konsep, desain, dan siap memproduksinya ada empat
orang.
Saya sudah melakukan kontak intensif
dengan empat orang tersebut. Saya juga sudah membuat grup email bersama di
antara empat orang tersebut. Kami bisa melakukan rapat jarak-jauh membicarakan
program-program ke depan. Tanggal 21 April kemarin, kami menyelenggarakan rapat
sesuai dengan program semula, meskipun rapat itu berlangsung di dunia maya.
Empat orang tersebut adalah
orang-orang muda yang luar biasa.
Ada nama Mario Rivaldi. Dia
kelahiran Bandung, pernah kuliah di ITB, kemudian mendapat bea siswa kuliah di
Jerman. Mario bahkan sudah melahirkan prototype sepeda motor listrik dan mobil
listrik. Saya sudah pernah mencobanya di Cimahi. Mario sangat siap memproduksi
mobil listrik nasional. Selama ujicoba itu tiga tahun terakhir, Mario
bekerjasama dengan LIPI dan ITB.
Ada nama Dasep Ahmadi yang juga
kelahiran Tanah Sunda. Dasep lulusan ITB (Teknik Mesin), yang kemudian sekolah
di Jepang. Dasep pernah bekerja lama di industri mobil sehingga tahu persis
soal permobilan. Kini Dasep mengembangkan industri mesin presisi dan memasok
mesin-mesin untuk industri mobil. Dasep sangat siap melahirkan prototype mobil
listrik nasional dalam dua bulan ke depan. Saat ini Dasep sedang mengerjakan
mobil-mobil itu.
Ada nama Ravi Desai. Anak muda ini
lahir di Gujarat, tapi sudah lama menjadi warga negara Indonesia. Dia lulusan
universitas di India dan kini menekuni banyak bidang inovasi. Dia mendirikan D
Innovation Center dengan fokus ke energi. Ravi juga menekuni DC dan AC drive
dan sudah memasarkannya sampai ke luar negeri. Saat ini Ravi sedang mengerjakan
dua contoh mobil listrik nasional dan sudah akan selesai dalam dua bulan
mendatang.
Ada pula nama Danet Suryatama. Anak
Pacitan ini setelah lulus ITS melanjutkan kuliah di Michigan, AS. Danet
kemudian bekerja di bagian teknik pabrik mobil besar di Amerika Setikat,
Chrysler, selama 10 tahun. Danet sangat siap memproduksi mobil listrik
nasional. Saat ini, sambil mondar-mandir Amerika-Indonesia, Danet sedang
menyelesaikan contoh mobil listrik nasional yang juga siap dikendarai dalam dua
bulan ke depan.
Tentu saya bisa salah. Lantaran
email yang masuk jumlahnya ribuan, mungkin saja ada nama-nama lain yang tidak
kalah hebat dan siapnya namun terlewat dari mata saya. Untuk itu saya siap
menerima koreksi dan nama susulan.
Kepada keempat orang itu saya juga
sudah informasikan betapa besar perhatian Presiden SBY pada perencanaan mobil
listrik nasional ini. Saya juga kemukakan suasana pertemuan antara Presiden SBY
dan empat rektor perguruan tinggi terkemuka (ITB, UGM, UI, dan ITS) yang penuh
dengan semangat.
Waktu itu para rektor menyatakan
sangat mendukung kelahiran mobil listrik nasional ini dan memang sudah waktunya
dilahirkan. Para rektor juga mengemukakan masing-masing perguruan tinggi mereka
siap memberikan dukungan apa saja.
Sebenarnya saya ingin menghadirkan
Prof. Widjajono dalam pertemuan dengan empat putra petir itu dalam waktu dekat.
Tapi Prof. Widjajono lebih dulu meninggalkan kita. Meski begitu Prof., saya
berjanji kepada Profesor akan tetap meng-emailkan hasil pertemuan dengan empat
putra petir itu ke alamat email Anda yang pernah Anda berikan kepada saya. Saya
juga berjanji akan mengirimkan foto-foto mobil listrik nasional itu nanti ke
alamat email Anda.
*Dahlan Iskan, Menteri Negara
BUMN
2 comments:
Hey I know this is off topic but I was wondering if
you knew of any widgets I could add to my blog that automatically tweet my newest
twitter updates. I've been looking for a plug-in like this for quite some time and was hoping maybe you would have some experience with something like this. Please let me know if you run into anything. I truly enjoy reading your blog and I look forward to your new updates.
Also visit my web blog; Symptoms Of Methadone Withdrawal
Hello I am so excited I found your site, I really found you by mistake,
while I was researching on Yahoo for something else, Anyhow I
am here now and would just like to say cheers for a marvelous post and a all round
entertaining blog (I also love the theme/design), I don’t
have time to read it all at the minute but I have book-marked it and also included
your RSS feeds, so when I have time I will be back to read much more,
Please do keep up the fantastic b.
Feel free to surf to my webpage; Opioid Addiction Treatment
Post a Comment