Thursday, 27 January 2011

Demokrasi atau Pemaksaan Budaya Arab


Pada abad 20, kita telah mendengar satu kata yang sering terucap dari mulut orang, baik itu dari Presiden, Pejabat negara hingga rakyat kecil. Kata tersebut mulai terucap dari berbagai wilayah mulai dari Australia, Indonesia, Ethiphia, Italia hingga Amerika. Apa kata itu? Demokrasi. Ya kita sering mendengar kata itu karena memang demokrasi merupakan produk abad 20 yang sangat populer terdengar di telinga kita.

Para sejarawan Eropa selalu mengkaitkan demokrasi dengan Revolusi Prancis abad 18 yang menggulingkan kekuasaan absolut Raja Louis. Pada abad 19, mulailah terjadi revolusi dimana-mana yang menentang sistem monarki absolut. Sedangkan istilah demokrasi semakin gencar merasuk hingga hutan-hutan tropis di Asia Tenggara pada abad 20. Dapat dikatakan pada abad 20 inilah demokrasi mulai menjalar dengan luas ke seluruh dunia, termasuk dunia Arab.

Demokrasi, menurut Oxford Dictionaries adalah a system of government by the whole population or all the eligible members of a state , typically through elected representatives . Menurut kamus tersebut demokrasi sekan-akan hanya dipandang sebagai media pengantar politik. Para politisi dan penganjur dari barat selalu mengkaitkan demokrasi dengan kebebasan Hak Asasi Manusia. Kemunculan demokrasi ini mewarnai politik dunia abad 20, mulai dari perang dunia , perang dingin hingga reformasi Indonesia 1998.

Perang Dunia telah menghadirkan bagaimana sistem kerajaan Turki Ustmani hancur lebur ditangan Mustafa Kemal yang mengadopsi pendidikan barat. Ia menganggap bahwa hukum Islam yang diterapkan oleh Ustmani tidak relevan dengan modernisasi yang diterapkan Eropa, khususnya dalam bidang sistem politik dan hukum. Sistem monarki dipandang tidak modern dan harus diganti, begitu juga dengan sistem politik dan pemerintahan yang harus dicanangkan pemahaman demokrasi. Kemal yang tentu saja memperoleh dukungan dari Inggris dan negara Eropa lainnya, terkecuali Jerman dan Austria.

Pemasukan paham modern termasuk demokrasi itu diwarnai dengan pertumpahan darah dikalangan Turki sendiri yaitu antara poros Kemal dengan poros kerajaan. Jelas demokrasi pun masuk ke wilayah Turki dengan pertumpahan darah. Mengapa terjadi pertumpahan darah? Karena disitu ada pemaksaan budaya. Seperti kita ketahui negara-negara Asia Barat telah lama menganut sistem monarki dan itu telah menjadi budaya, lihat betapa sistem monarki telah terbangun dinasti Umayyah di Damaskus, dinasti Abassiyah di Baghdad, Fatimiah di Mesir, Safavid di Persia, dan Ustmani di Turki.

Kerjaan-kerajaan tersebut memiliki waktu kekuasaan yang berbeda dan ada pula yang bersamaan. Bersamaan dengan itu masyarakat Arab telah hidup damai dan nyaman dengan sistem itu, pertumpahan darah yang terjadi disebabkan perlawanan dari musuh luar seperti bangsa Mongol yang meruntuhkan dinasti Abassiyah ataupun gabungan kerajaan Kristen yang dipimpin ratu Isabella. Kalaupun ada pengkhianatan, itu disebabkan oleh bisikan dari pihak luar kerajaan yang akan menjanjikan harta dan tahta.

Pemerintahan suatu wilayah, apakah itu demokrasi atau tidak, tidaklah terlalu masalah jika masyarakat itu memang sudah nyaman dengan suatu ideologi. Jikalau ada segelintir masyarakat yang mempermaslahkan itu maka itu hal yang wajar, namun tidak perlu mengganti idiologi tersebut dengan jalan revolusi berdarah karena demokrasi atau tidak demokrasi merupakan permasalahan budaya yang tak dapat dipaksakan.

Saudi Arabia, sudah nyaman dengan sistem monarki yang dijalankan oleh keluarga Saud, tidak perlu lagi ada revolusi karena pasti akan terjadi pertumpahan darah jika sistem yang telah lama dijalankan oleh kerajaan tiba-tiba diganti oleh sistem demokrasi. Seperti kita ketahui bahwa masyarakat Saudi ialah masyarakat gurun. Ada suku Badui yang berdiam ditengah gurun pasir yang luas. Mereka tidak mau diatur dan hidup sebagai masyarakat bebas.

Bayangkan jika budaya Badui itu diperintah oleh hukum demokrasi, tentu takkan pernah terjadi kesepahaman antara badui dan pemerintah. Masyarakat Badui memang cocok diperintah oleh sistem monarki yang memakai legalitas agama Islam yang perlu ditaati, bukan legalitas suara politik seperti di Prancis atau Amerika. Warga Amerika mungkin akan tunduk pada Presiden yang memenangi pemilu, namun tidak dengan suku Badui di Saudi. Pemaksaan itu akan berakibat pada pertumpahan darah segar seperti yang terjadi di Afganistan.

Amerika selalu ingin menjadikan negara Afganistan menjadi negara demokrasi, namun apalah gunanya demokrasi jika dalam perjalanannya menimbulkan pertumpahan darah. Apa bedanya dengan komunisme yang oleh para pemikir Barat pun selalu dikaitkan dengan pertumpahan darah. Jadi masalah demokrasi ataupun tidak itu adalah permasalahan budaya. Budaya suatu masyarakat tidak dapat dipaksakan oleh budaya Eropa. Tidak mungkin semua wilayah dimuka bumi ini menjadi Eropa atau Amerika Serikat dengan demokrasinya.

Sumber: www.kompas.com

No comments: