Oleh: Burhanuddin
Dalam studi tentang teks, kita mengenal tiga teori besar: dunia penulis (the world of the author), dunia pembaca (the world of the reader) dan dunia teks sendiri (the world of the text). Ketika teks “dibakukan,” dalam bentuk buku misalnya, ia akan melepaskan diri dari “jeratan” penulisnya. Ia akan bebas melanglangbuana sesuai dengan kehendaknya sendiri.
Alquran adalah sebuah teks yang kaya akan simbol dan metafor, dan karenanya menjadi multiinterpretasi. Di sinilah peran Alquran sebagai raison d’etre revolusi pemikiran dalam masyarakat Muslim. Bagaimana tidak, teks Alquran yang sama, berjumlah 6660 ayat dan 144 surat, ditafsirkan menjadi beribu-ribu kitab tafsir. Tak terhitung pula jumlah para mufassirnya yang bergelut pada metode dan hasil penafsiran yang berbeda-beda.
Seperti diuraikan banyak ahli tafsir, ideologi dan kecenderungan penafsir serta metode tafsir sangat menentukan keluarnya produk tafsir yang inklusif atau sebaliknya. Atau dalam kata-kata Piscatori, bahan baku Alquran sangat multi-interpretatif. Artinya, Alquran seperti jamuan prasmanan dari Tuhan yang menyediakan “lauk pauk,” “nasi” dan “minuman” yang beraneka ragam. Dari dulu, Alquran selalu dimanfaatkan untuk melegitimasi kediktatoran dan demokrasi, monarki dan republik, ekslusifisme dan inklusivisme, penindasan dan emansipasi, dan lain-lain.
Tugas kita adalah bagaimana menghadirkan Alquran yang inklusif dan menghargai pluralisme dan demokrasi. Caranya adalah dengan mengangkat ayat-ayat yang diabaikan atau disembunyikan oleh para penguasa atas dukungan para ulama-kolaborator.
Metode tafsir juga harus diperbaharui dengan senantiasa melihat konteks yang dihadapi umat Islam sekarang ini. Pluralitas adalah realitas ilahiyyah di mana Tuhan sengaja menciptakan ummat, suku dan bangsa yang berbeda-beda, baik bahasa maupun warna kulit (Q.S Hud: 118-119, Q.S Ruum: 22, Q.S al-Hujurat: 13, Q.S Maidah 46-48). Tuhan juga tidak pernah mempertentangkan asal-usul primordial manusia.
No comments:
Post a Comment