Korupsi adalah suatu perbuatan yang sudah lama dikenal di dunia dan di Indonesia. Syed H. Alatas yang pernah meneliti korupsi sejak Perang Dunia Kedua menyebutkan, esensi korupsi adalah melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan.
Alatas membagi korupsi ke dalam tujuh macam, yaitu korupsi transaksi, memeras, investif, perkerabatan, defensif, otogenik dan dukungan.
Indonesia berusaha untuk memberantas korupsi sejak 1950-an dengan mendirikan berbagai lembaga pemberantas korupsi, terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) suatu “superbody” dengan kewenangan istimewa. Berbagai macam undang-undang anti korupsi juga sudah dibuat, bahkan disertai dengan hukuman maksimal, yaitu hukuman mati. Walaupun demikian, kondisi korupsi di Indonesia masih tetap parah.
Menurut Transparansi Internasional, pada akhir tahun 2005, indeks persepsi korupsi di Indonesia naik dari 2,0 menjadi 2,2 (indeks persepsi dari 1 sampai 10). Angka ini menunjukkan yang terendah di Asia Tenggara, dan berarti Indonesia adalah negara terkorup dibanding Filipina , Thailand , Malaysia , Singapura , Brunei dll.
Menurut World Bank, volume kegiatan ekonomi dunia pada tahun 2005 sebesar USD33 triliun, dan USD 1 triliun di antaranya dipergunakan untuk menyuap.
Mengapa korupsi di Indonesia masih sangat tinggi? Apakah peran yang dapat dilakukan masyarakat agar korupsi di Indonesia berkurang?
Jenis Korupsi
Ketua KPK membedakan korupsi atas dua jenis, korupsi karena kebutuhan (need corruption) dan korupsi karena kerakusan (greedy corruption). Korupsi yang pertama terjadi terutama karena sistem yang kurang baik, misalnya, sistem pegawai negeri sipil (PNS), terutama sistem penggajian pegawai negeri sipil yang sangat rendah.
Korupsi ini diberantas dengan tindakan perbaikan sistem PNS itu sendiri. Ini termasuk upaya pencegahan korupsi yang merupakan tugas KPK. Sementara, korupsi golongan kedua lebih banyak disebabkan karena ketamakan dan mental yang rusak. Ini harus diperbaiki dengan upaya penindakan, yaitu penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Di Indonesia banyak korupsi yang “terpaksa” dilakukan karena kebutuhan hidup sehari-hari, walaupun korupsi karena ketamakan cukup banyak juga. Biasanya korupsi jenis pertama ini jumlahnya tidak besar dibandingkan korupsi jenis kedua.
Sikap Mental dan Budaya
Pada umumnya, tindak pidana korupsi terjadi karena dua hal. Yaitu karena adanya kesempatan dan adanya niat untuk melakukan tindak pidana itu. Kesempatan untuk korupsi perlu dipersempit dengan memperbaiki sistem. Sementara niat untuk melakukan korupsi lebih banyak dipengaruhi oleh sikap mental atau moral dari para pejabat atau pegawai.
Banyak, di antara pejabat atau pegawai, mempunyai sikap yang keliru tetang sah tidak suatu penghasilan atau halal haramnya suatu sumber pendapatan. Mereka sering berpendapat, bahwa yang tidak sah atau haram hanyalah meliputi makanan dan minuman yang diharamkana agama. Sementara perbuatan lain yang merugikan orang lain ataua merugikan keuangan negara, dianggap tidak haram atau sah-sah saja.
Seharusnya perbuatan yang merugikan orang lain ataua merugikan keuangan negara adalah juga perbuatan yang tidak sah atau haram, Karena sikap keliru inilah, banayak orang merasa tenang atau tidak merasa berdosa ketika melakukan korupsi. Banyak orang yang memiliki “kesalehan pribadi” tetapi kesalahan ini tidak tercermin dalam perilaku sosialnya.
Sudah tentu, sikap ini sangat membahayakan dan dapat menyuburkan korupsi. Untuk itu diperlukan pelurusan definisi “sah dan tidak sah” atau “halal dan haram” di dalam kehidupan sehari-hari. Perlu diingatkan, bahwa semua tindakan yang merugikan orang lain dan keuangan negara adalah perbuatan tidak sah atau haram.
Di lain pihak, bagi anggota masyarakat, ada semacam nilai bahwa memberikan sesuatu kepada pejabat bukanlah perbuatan yang dilarang, baik pemberian itu diberikan sebelum atau sesudah urusannya dengan pejabat itu selesai. Sikap mental ini harus diubah. Perlu diingatkan, bahwa baik menurut hukum agama atau hukum nasional, orang yang menyuap atau disuap kedua-duanya juga salah.
Urusan Pribadi-Dinas Tercampur
Salah satu kelemahan oranag Indonesia, terutama pejabatnya, adalah kurang bisa membedakan urusan pribadi dan dinas. Antara keduanya sering tercampur, tidak ada batas yang jelas.
Sering, urusan pribadi dengan bangga diselesaikan dengan fasilitas dinas atau negara, tetapi agak jarang urusan dinas diselesaikan dengan biaya pribadi. Di berbagai daerah di seluruh Indonesia, banyak ditemukan rekening-rekening pribadi untuk menampung dana yang berasal anggaran kanator.
Contoh lain, pejabat sering menyelenggarakan pesta perkawinan yang merupakan urusan pribadi dengan menggunakan fasilitas dinas atau negara dan panitianya orang-orang yang menjadi bawahan di kantor. Bahkan undangan yang disebarkan pun sering berlebihan jumlahnya, sehingga timbul dugaan apakah ia benar-benar ikhlas mengundang atau juga ingin mencari keuntungan atau gengsi. Keadaan ini meluas, baik di bidang legislatif, yudikatif dan eksekutif. Dengan tercampurnya dua urusan ini, kerugian negara secara otomatis dan sistematis pasti selalu terjadi.
Sapu yang Kurang Bersih
Untuk melakukan pemberantasan korupsi, sudah tentu diperlukan aparatur pemerintahan, terutama penegak hukum, yang bersih. Menurut penilaian Transparansi Internasional, korupsi di Indonesia banyak terjadi di kalangan partai politik dan parlemen, dan di sektor penegakan hukum, baik kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
Sudah tentu, agak sulit memberantas korupsi dengan menggunakan sapu yang kurang bersih. Oleh karena aitu, pembersihan di sektor penegakan hukum haruslah menjadi prioritas utama. Di sini, harapan masyarakat banyak diberikan kepada KPK yang dianggap lebih memiliki integritas dibandingkan dengan penegak hukum lainnya.
Untuk itu, KPK harus didukung sepenuhnya dan diberi kewenangan yanag lebih baik lagi, sehingga dapat melaksanakan tugasnya secara optimal. Misalnya, KPK yang selama ini tidak berwenang menyidik kasus tindak pidana pencucian uang, diberikan kewenangan untuk menyidik. Karena sebagian besar uang atau harta hasil korupsi hampir selalu di- laundering dengan cara menyembunyikan atau mengaburkan asal usulnya.
Peranan Masyarakat
Keberhasilan pemberantasan korupsi banyak tergantung pada partisipasi masyarakat. Kalau masyarakat sudah mengubah budayanya dan bersikap “antikorupsi” maka situasi ini sudah cukup kondusif untuk memberantas korupsi. Dengan sikap demikian, diharapkan, masyarakat mau mencegah dan melaporkan korupsi yang terjadi. Untuk itu, mutlak diperlukan segera undang-undang perlindungan saksi dan pelapor untuk dapat membongkar kasus korupsi. Sayang sekali, perlindungan bagi “pelapor” ini belum termasuk ke dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat.
Partisipasi masyarakat juga dapat diberikan dalam bentuk “memboikot” setiap acara atau undangan dari pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi. Inilah hukuman masyarakat yang benar-benar efektif dan dirasakan para pelaku korupsi. Diharapkan juga, masyarakat dapat mengontrol pelaksanaan pemberantasan korupsi. Dalam hal ini, ide KPK untuk membentuk clearinghouse pemberantasan korupsi yang berfungsi sebagai pusat pengetahuan akan sangat baik. Dengan clearinghouse ini, masyarakat dapat mengakses berbagai informasi tentang pemberantasan korupsi termasuk kasus-kasus yang sedang ditangani oleh para penegak hukum. Untuk mengurangi angka korupsi, di samping upaya pencegahan dan pemberantasan, juga diperlukan perubahan budaya dan dukungan masyarakat luas
Sumber : http://yunushusein.files.wordpress.com
No comments:
Post a Comment