YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Kenyataan bahwa 240 juta penduduk Indonesia atau 40-50 juta keluarga baru terlayani 10-an juta komputer memang mengindikasikan pasar komputer di negeri ini masih terbuka luas.
Namun hal tersebut perlu dilihat juga dari sisi lain, yakni banyak keluarga belum bisa mempunyai komputer dan itu perlu segera dicari solusinya. Indonesia perlu banyak komputer murah, adalah salah satu solusinya.
Dengan kondisi umur pakai komputer sekitar tujuh tahun, komputer lama akan diganti yang baru. "Artinya, penambahan jumlah komputer per tahun tidak bisa diakumulatifkan," ujar Timothy Siddik, Presiden Direktur Zyrex, perusahaan komputer lokal.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi Conectivity As A Solution for Global Competition on ICT Business, di Jogja Expo Center (JEC). Diskusi ini rangkaian acara pameran komputer Yogyakomtek di JEC, yang diadakan Sabtu (17/10) hingga Rabu (21/10).
Idealnya satu keluarga punya minimal satu komputer. Jika itu terjadi, 10 tahun lagi negara ini penduduknya melek teknologi informasi (TI). Indonesia mulai kencang dalam penetrasi komputer, namun lajunya baru empat persen per tahun, masih jauh dibandingkan negara tetangga, misalnya Vietnam yang sudah delapan persen, ujar Timothy.
Menurut dia, harus mulai dilakukan cara agar komputer semakin dekat ke masyarakat. Selain menggelar pameran, harga komputer, baik komputer meja maupun laptop, mestinya bisa murah, bahkan semakin murah sehngga terjangkau . Namun ini tentu butuh dukungan pemerintah, karena perusahaan lokal, seperti Zyrex, butuh regulasi pemerintah.
Pembicara lain dalam diskusi yakni staf ahli di Kementerian Negara Riset dan Teknologi Engkos Koswara, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Komputer Indonesia (Apkomindo) Setyo Handono , Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Diseperindagkop) DIY Astungkoro, dan Country Manager Intel Indonesia Budi Wahyu Jati.
Engkos menyebut pemerintah harus lebih banyak bergandengan tangan dengan kalangan akademisi dan pelaku bisnis komputer agar bisa menghasilkan regulasi hukum yang semakin memudahkan masyarakat membeli komputer juga mengakses internet.
Misalnya bagaimana agar impor komponen bisa lebih murah, dan komponen lokal bisa banyak dibuat. Namun kami perlu dukungan pihak lain, seperti ketersediaan dan kestabilan listrik. "Sebagai contoh, Inggris tidak pernah mengalami listrik mati, karena pembangkitnya nuklir. Nah, Indonesia kapan bisa seperti itu?" ujar Engkos.
Engkos mengatakan, jika ingin koneksi berbasis TI jalan, perlu ada semacam platform bersama. Dalam pemerintahan misalnya, hardware dan software yang dipakai antarinstansi, departemen, dan dinas, harus bisa saling menerima. Standar pemerintah dan pemerintah daerah pun berbeda. Misalnya font huruf. Yang ada di open source tidak ada di microsoft sehingga jika dibuka, hurufnya tidak terbaca. Itu salah satu contoh kecil, paparnya.
Budi mengatakan, tahun ini industri personal computer diprediksi tumbuh 19 persen. Tahun 2010, diperkirakan 36 persen. Perkembangan terpesat adalah mobile PC seperti notebook dan laptop, yang akan menggusur nyaris habis komputer meja (dekstoP). Tahun depan, untuk pasar komputer selain pameran (hanya retail), kami prediksi ada penambahan 2.500 mobile PC dan hanya 1.500 desktop, ujarnya.
Astungkoro menyatakan, pemerintah mesti banyak mengurangi impor komponen, termasuk dalam bidang ICT. Itu penting karena ICT merambah ke semua sektor dan banyak komunitas, industri, dan pemerintah juga, ujarnya.
Setyo mengutarakan, CIT akan membuat masayrakat mengejar ketertinggalan TI. Setyo juga menyebut bahwa harga komputer harus semakin murah. Sebuah komputer berharga 5-6 juta,biaya produksinya sebenarnya hanya 40 dollar AS. Artinya, banyak biaya keluar untuk bayar pengeluaran lain seperti lisensi. "Nah ini pekerjaan rumah bagi kita juga untuk mengurainya," tutur Setyo.
sumber:www.kompas.com
No comments:
Post a Comment