Tuesday, 23 June 2009

Neoliberalisme Vs Ekonom Kerakyatan


Dari Diskusi Freedom Institute

Mendengar Istilah "Ekonomi Neoliberalisme" ingat Prof. Boediono, sedangkan mendengar istilah "Ekonomi Kerakyatan" ingat Prof.Emil Salim dan Prof.Mubiarto.
Sementara itu bagi orang awam istilah-istilah itu membingungkan mereka jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah. Benarkah Neoliberalisme sungguh-sungguh bagaikan monster yang siap menerkam rakyat kecil? atau jangan-jangan istilah itu hanyalah merupakan imajinasi semata? atau sebagai bentuk baru dari sebuah perlawanan orang-orang sosialis yang telah frustasi menghadapi serangan ekonomi liberal?, Betulkah faham ini yang menjadi biang kerok kehancuran ekonomi Indonesia - yang kemudian dijadikan isu politik oleh lawan politik SBY? Relevankah membedakan neoliberalisme dengan ekonomi keakyatan jika dilihat dari kebijakan-kebijakan negara-negara liberal pada masa ini?

Penunjukkan Boediono sebagai cawapres Susilo Bambang Yudhoyono telah memantik polemik hangat tentang arah pembangunan ekonomi Indonesia. Para pendukung pasangan capres-cawapres Mega-Pro dan JK-Wiranto menyerang ekonomi yang diusung SBY-Boediono sebagai pengusung agenda “neoliberal,” sambil mengklaim pendekatan ekonomi mereka sendiri sebagai “ekonomi kerakyatan.”

Untuk memahami apa yang dimaksud ekonomi kerakyatan dan neoliberal, Freedom Institute, Liberal Society, Café Salemba, dan Friedrich Naumann Stiftung, menggelar diskusi tentang isu ini bersama M. Ikhsan Modjo (INDEF) dan Arinto A. Patunru (LPEM UI), pada Selasa, 26 Mei 2009, di Kantor Freedom Institute, Jalan Irian No 8. Menteng, Jakarta.
Diskusi dipandu Luthfi Assyakaunie. Berikut jalan diskusi itu.
Untuk pertama kalinya, isu ekonomi menjadi isu penting dalam pemilihan presiden kali ini. Ini berbeda dengan pemilu presiden sebelumnya. Saat itu isu yang berkembang adalah isu Islam dan nasionalisme.

Neoliberalisme sendiri merupakan nomenklatur yang diciptakan dari luar. Istilah umum yang dikenal adalah liberalisme. Ia berangkat dari filsafat pada masa pencerahan Eropa berupa kebebasan individu dan pasar yang otonom.
Istilah neoliberal muncul pertama kali tahun 1960-an, bersamaan dengan gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin. Istilah neoliberal datang dari mereka yang tidak menyukai istilah liberalisme.

Sementara, istilah ekonomi kerakyatan sudah dikenal sejak sebelum kemerdekaan. Adalah Muhammad Hatta yang pertama kali memperkenalkan. Pada tahun 1930-an, Hatta menyebutnya dengan istilah “ekonomi rakyat.” Apa yang disebut ekonomi rakyat adalah ekonomi pribumi. Tujuan Hatta adalah membela kepentingan ekonomi pribumi.
Tak cuma Hatta yang menulis soal ekonomi kerakyatan. HOS Tjokroaminoto juga menulis soal ini. Dalam perspektif Tjokroaminoto dia membedakan dua jenis kapitalisme. Yakni kapitalisme yang baik dan kapitalisme yang jahat. Kapitalisme yang baik adalah ekonomi pribumi sementara kapitalime yang jahat adalah kekuatan ekonomi penjajah.

Dengan demikian, ekonomi kerakyatan pada masa sebelum kemerdekaan adalah ekonomi pribumi melawan ekonomi penjajahan. Sedang pada masa awal kemerdekaan, ekonomi kerakyatan berubah tafsir menjadi ekonomi rakyat miskin melawan ekonomi pengusaha besar.

Pada tahun 1960-an, juga ada program demokrasi ekonomi. Program ini berusaha melibatkan rakyat dalam ekonomi. Dengan demokrasi ekonomi, modal diharapkan dikuasai oleh masyarakat dan digunakan sepenuh-penuhnya untuk kepentingan rakyat.

Pada tahun 1980-an, ekonomi kerakyatan berubah istilah menjadi ekonomi Pancasila. Namun semangatnya masih sama seperti ekonomi kerakyatan pada masa pra kemerdekaan.
Perdebatan neoliberal dan ekonomi kerakyatan pada saat pemilihan presiden menunjukkan semakin matangnya kehidupan berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia. Berpolitik tidak lagi identik dengan pelemparan isu-isu sempit yang bersifat ideologis dan sektarian, tetapi lebih kepada isu-isu pragmatis dan ekonomi. Ini merupakan pertanda sehat walau tidak sempurna

Sementara, kemunculan neoliberal pada tahun 1960-an dilatarbelakangi oleh beragam kegagalan kebijakan ekonomi teknokratis dan intervensionis. Neoliberal mensyaratkan dua hal. Pertama, meminimalisir intervensi negara. Dan kedua, mengakui kebebasan individu.
Neoliberal adalah sebuah istilah yang digunakan dari berbagai teori kontemporer anti intervensi yang dikembangkan pada konteks historis, politik dan institusi tertentu. Ia juga merupakan perkawinan aliran ekonomi neoklasik yang menganut paham kebebasan pasar di satu sisi, dengan mazhab politik Libertarian-Austria yang mengusung kebebasan dan kemerdekaan individu di sisi lain.

Setidaknya ada beberapa model yang dikenal dalam kelompok neoliberal. Model-model itu adalah model monetaris, penolakan terhadap perencanaan terpusat, kekakuan lembaga,principal agent model of bureaucracy, perburuan rente serta penolakan terhadap perusahaan publik dan privatisasi.

Untuk model terakhir, kaum neoliberal berpendapat bahwa perusahaan publik merupakan salah satu sumber utama dari inefisiensi ekonomi dan stagnasi yang dialami negara berkembang. Untuk konteks negara berkembang seperti Indonesia, di mana inefisiensi perusahaan publik sering terjadi, kebijakan privatisasi banyak mendapat dukungan.
Lalu, dengan berbekal kesuksesan aplikasi kebijakan di negara maju, World Bank, IMF dan Departemen Keuangan Amerika Serikat sepakat untuk mengeneralisasi teori itu dengan apa yang sekarang dikenal sebagai Washington Consensus. Setidaknya ada 10 kebijakan inti dari Washington Consensus itu.

Sepuluh kebijakan itu adalah: displin kebijakan fiskal; pengalihan belanja subsidi, kecuali subsidi langsung pada belanja pendidikan, kesehatan dan infrastruktur; reformasi pajak –memperluas basis pajak dan penurunan tingkat pajak; suku bunga yang ditentukan pasar dan positif secara riil; nilai tukar kompetitif; liberalisasi perdagangan, terutama penghapusan lisensi dan penerapan tarif tunggal; liberalisasi investasi langsung asing; privatisasi BUMN; deregulasi; dan perlindungan hak milik.

Namun Washington Consensus juga memicu kritik. Kelompok sayap kiri menuduh penghapusan subsidi bertujuan untuk mempercepat pembayaran utang ke negara maju.

George Stiglitz sendiri juga mengritik liberalisasi tanpa penahapan dan persiapan yang cukup. Kegagalan Washington Consensus dinilai Stigltitz dibuktikan oleh fakta bahwa perekonomian negara-negara yang menerapkan bukan saja tidak membaik, melainkan malah memburuk, seperti kasus Argentina dan Indonesia. Stigltitz menyarankan liberalisasi seharusnya dimulai dari sektor riil, perdagangan lalu keuangan. Sementara di Indonesia posisinya malah terbalik. Sektor keuangan terlebih dahulu diliberalisasi melalui Pakto 88, baru sektor perdagangan dan sektor riil.

Kelemahan pemikiran neoliberal juga muncul sebagai akibat kelahiran “kawin kepentingan” antara aliran neoklasik yang memberikan legitimasi akademis-intelektual, dan tradisi Libertarian-Austria sebagai sumber retorik politik.

Dari paparan ini, dapat dikatakan bahwa apa yang dinamakan neoliberal tidak lebih dari kumpulan pemikiran anti intervensi pemerintah dalam perekonomian yang sangat beragam dan bisa saja bertentangan dengan akar pemikiran neoklasik. Akan tetapi terlepas dari kekurangan dan bias inteletual, ia juga menunjukkan kepada kita berbagai kelemahan fundamental dari visi teknokratik dalam suatu perekonomian.

Ekonomi kerakyatan sendiri merupakan kumpulan pemikiran tentang sebuah orientasi kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat jelata, baik di sisi komsumsi dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar dan pokok, maupun di sisi produksi dengan berpihak pada usaha kecil menengah.

Penemu istilah ekonomi kerakyatan pertama kali adalah Emil Salim. Ia menulis istilah itu dalam sebuah artikel koran pada tanggal 30 Juni 1966. Sementara yang mempopulerkan adalah Mubyarto dengan istilah ekonomi Pancasila pada tahun 1980-an.
Namun, apa yang dinamakan ekonomi kerakyatan baru sebatas semantik, karena belum serius menjawab peran negara, pasar dan individu seperti teori-teori ekonomi pada umumnya.
Perbedaan tajam yang membedakan ekonomi kerakyatan dan neoliberal adalah peran pemerintah. Pada ekonomi kerakyatan pemerintah diharap melakukan intervensi dan berpihak pada rakyat banyak, sementara ekonomi liberal mengandaikan pemerintah netral dan tidak campur tangan.

Lantas bagaimana wajah pemerintah SBY sekarang? Boleh dibilang pemerintahan SBY sekarang adalah pemerintah dengan corak ekonomi neoliberal kerakyatan. Disebut kerakyatan, karena pemerintah juga melakukan intervensi. Salah satunya dengan program pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Pemerintah juga menggulirkan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM). Tapi dikatakan neoliberal karena di sisi lain, pemerintah juga meliberalkan investasi asing.

Di luar isu liberalisasi modal asing dan privatisasi, agenda ekonomi rakyat tidak banyak bertentangan langsung dengan pemikiran neoliberal. Bahkan, pemerintah saat ini bisa menggabungkan keduanya. Jargon ekonomi rakyat memang lebih terkesan pada pemrioritasan sektor pertanian dan UMKM. Karenanya, ekonomi rakyat kurang tepat untuk menjadi jargon melawan liberalisasi dan privatisasi.

Sumber: www.vivanews.com

No comments: