Monday, 3 July 2017

Bentuk Pemerintahan Islam dan Wacana Demokrasi



Oleh: Muhammad Zulifan
(Peneliti, Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam-UI)

Tipologi Bentuk Pemerintahan Islam

Setidaknya ada tiga tipologi pemikiran dalam melihat relasi Islam dan bentuk pemerintahan, yakni bentuk pemerintahan Teo-Demokrasi, sekuler dan moderat (Kamil, 2013:21).

1. Teo-Demokrasi

Abu al-A’la al-Maududi
Tipologi Teo-Demokrasi melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Pandangan ini menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang menyatu.

Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara berdasarkan syariah Islam dan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif bahkan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama yang sempurna, Islam tidak hanya sebagai agama seperti pengertian Barat yang sekuler, tetapi suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan tak terkecuali masalah politik. Adapun tokoh yang termasuk dalam tipologi ini adalah Rasyid Ridha (1865-1935), Sayyid Qutb (1906-1966, Abu al-A’la al-Maududi (1903-1979), dan di Indonesia Muhammad Natsir.

Sayyid Qutb, dalam penjara
husus Indonesia, Muhammad Natsir menyatakan bahwa Islam lebih dari sekedar sistem agama, tetapi suatu kebudayaan yang lengkap. Negara adalah dua entitas relegio-politik yang menyatu. Konstruk negara yang dicita-citakan Islam adalah negara yang berfungsi menjadi alat Islam yang secara formal mendasarkan Islam sebagai ideologinya. Ia berfungsi mengawasi berlakunya nilai-nilai Islam dan menjunjung tinggi supremasi hukum Islam (Effendi, 1998: 78)

2. Tipologi Sekuler

Ali Abd al-Raziq
Menurut tipologi ini, Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara peraturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena itu persoalan negara adalah persoalan sekuler (duniawi) yang pertimbangannya adalah akal dan moralitas (kemaslahatan) kemanusiaan yang bersifat duniawi semata. Negara tidak harus diatur agama, demikian juga negara tidak boleh intervensi masalah agama karena agama dalam persoalan pribadi dan keluarga. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd al-Raziq (1888-1966), A. Luthfi Sayyid (1872-1963), dan di Indonesia Soekarno (1901-1970).

Bagi al-Raziq, misi Nabi adalah misi agama an sich yang tidak ada kaitannya dengan politik
Sukarno
keduniawian (sekuler). Nabi adalah utusan Allah yang ditugaskan untuk mendakwahkan Islam tanpa bermaksud mendirikan negara. Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul yang semata-mata mengabdi pada agama. Kekuasaan nabi adalah kekuasaan rohaniah yang berbeda dengan kekuasaan raja yang mempunyai kekuasaan fisik yang meniscayakannya ketundukan jasmaniyah. Nabi tidak mendirikan kerajaan atau negara dalam pengertian yang selama ini berlaku dalam ilmu politik. Karena itu, tidak ada seorangpun yang dapat mengganti risalahnya (Kamil, 2013: 28).

A Luthfi Sayyid berpendapat hal yang sama. Menurutnya, agama dan negara adalah hal yang berbeda. Dalam membangun negara, kamu muslimin tidak harus mengikatkan diri pada Islam dan pan –Islamisme karena tidak lagi relevan. 

Sikap seperti ini juga diyakini Soekarno di Indonesia. Baginya, agama dan negara harus dipisah agar keduanya berjalan sendiri-sendiri. Negara harus dilepas ikatannya dari negara dan demikian sebaliknya.
Argumen yang dikemukakan Soekarno adalah, jika agama diperkenankan hadir dalam wilayah publik, ia akan menjadi alat politik belaka bagi yang berkepentingan dan juga akan melahirkan rasa terdiskriminasi bagi pemeluk selain agama publik tersebut. Menurut Soekarno, yang mesti diambil dari agama (semisal Islam) adalah api atau semangatnya saja, dan karakter agama juga harus rasional, kultural, dan progresif (Effendi, 1998: 78) 


Di Turki, pemikir yang berpandangan sama dengan pemikir di atas adalah Zia Gokalp (1875-1924). Ia menganjurkan pemisahan masalah dinayet (keyakinan dan ibadah) dan muamalah (sosial), termasuk di dalamnya soal politik. Bagi Gokalp, persoalan agama adalah urusan ulama, sementara persoalan sosial politik adalah urusan sultan atau negara. Hal ini karena persoalamn muamalah sangat dinamis dan berubah-ubah, sementara agama cenderung tidak demikian (Nasution, 2003:168)


3. Tipologi Moderat

Haikal
Tipologi ketiga adalah tipologi moderat. Tipologi ini menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik. Tetapi menolak juga pendapat kedua bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik (Kamil, 2013: 31).

Kendati Islam tidak menunjukkan preferensi pada sistem politik tertentu, namun dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral dan etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara dimana umat Islam bebas memilih sistem mana yang terbaik. Tokoh yang termasuk dalam tipologi ini adalah Muhamamd Hussein Haikal (lahir 1888, penyusun buku Sejarah Hidup Nabi Muhammad, sos)  Muhamamd Abduh (1862-1905), Fazlurrahman, Muhamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid.

Abduh
Haikal (1993:126) berpendapat bahwa di dalam al-Quran dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya tidak diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Oleh karenanya empat khalifah periode awal (khulafaur rasyidin) memang dibaiat masyarakat di masjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Nabi sendiri membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya.

Menurut Haikal, ada tiga prinsip dasar peradaban manusia menurut sumber Islam yakni prinsip monoteisme murni, kedua, prinsip sunatullah (hukum alam/logika kausalitas) yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar sesama manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua.

Sejalan dengan Haikal, Muhammad Abduh termasuk pemikir tipologi ketiga. Menurutnya, Islam bukanlah agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antar sesama muslim dan sesama manusia lainnya yang untuk menjaminnya diperlukan penguasa atau Negara

Bagi Abduh, negara kaitannya dengan agama adalah subsider saja dan pendapatnya juga bahwa tidak ada orang atau lembaga yang memegang kekuasaan keagamaan dengan mempunyai kewenangan wakil tuhan dimuka bumi. Kepala negara adalah seorang sipil yang diangkat dan dapat diberhentikan rakyat, dan kepada mereka ia bertanggungjawab.di Mesir, Partai Nasional Mesir yang dirumuskannya membuka anggota dari seluruh rakyat Mesir, baik yang beragama Islam, Yahudi, Kristen maupun yang lainnya.

Fazlurrahman
Bila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikit Islam setelahnya yakni Fazlurrahman dan Mohamed Arkoun menyebut bahwa dari prinsip disebut al-Quran dan Hadits, preferensi Islam adalah sistem politik demokratis (Azhar, 1996: 150). Fazlur Rahman berpendapat bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstremitas serta ulil amri (penguasa) tidak menerima konsep elitisme ekstrim.

Masyarakat Islam adalah masyarakat yang inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit. Bagi Fazlur Rahman, syuro tidak berati bahwa satu pihak meminta nasehat pada pihak lain sebagaimana dahulu terjadi antara khalifah dan ahlu halli wa al-‘aqdi, melainkan nasihat timbal balik melalui diskusi bersama. Namun demokrasi yang dimaksud Fazlur Rahman adalah yang berorientasi pada etika dan nilai Islam, tidak bersifat material layaknya demokrasi di Barat

Arkoun
Senada dengan Haikal, Arkoun menerima penyataan Ibnu Khaldun bahwa sistem kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif dan hegemonik, seperti yang terlihat pada termonologi bai’ah dan wakil Allah di muka bumi. Dari sini Arkoen menyetujui negara demokratis dan mengkritik para ulama yang telah ikut melestarikan status quo kekuasaan dinasti yang jauh dari moral Islam 
Nurcholish Madjid
Meski demikian, Arkoun juga mengkritik habis sekularisasi gaya Ataturk di Turki yang bagi Arkoun merupakan bentuk kesadaran naif yang didasari oleh kekagetan budaya. Ia juga menolak pembentukan negara Islam ala Khomeini karena telah melakukan sakralisasi terhadap sesuatu yang sebenarnya duniawi. Prinsip kenegaraan Islam menurut Arkoun adalah syura (musyawarah), ijtihad, dan penerapan syariat Islam yang tujuannya untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral, bertanggung jawab dan bermartabat (ibid.:157).

Wacana Islam dan Demokrasi

Terdapat perbedaan di kalangan cendekiawan muslim menyikapi konsep Demokrasi dalam wacana partai politik dan negara Islam. Kalangan yang menerima demokrasi berpandangan bahwa hal itu bukan sebagai problem yang harus dipermasalahkan. Dr. Yusuf Qaradhawi (1997:191) berpendapat bahwa substansi demokrasi sejalan dengan Islam karena Islam dan demokrasi sama-sama menolak diktatorisme. Huwaidi (1996:195) menyatakan, dalam Islam terdapat konsep penyelenggaraan kekuasaan dengan prinsip amanah, musawah, ‘adalah, syuro, ijma’, dan baiat. Prinsip demokrasi dalam al-Quran begitu kuat. Yang diperlukan adalah reformulasi dan reinterpretasi.
Persoalan mendasar dalam melihat hubungan ketiganya adalah keyakinan bahwa tuhanlah yang berkuasa mutlak (QS. Ali Imran:26), meski menurut John L. Esposito penolakan pada demokrasi tersebut lebih karena faktor Barat colonial yang sekuler, bukan penolakan pada demokrasi secara keseluruhan. Meski sebenarnya dalam diri manusia terdapat kekuasaan temporal dari Tuhan seperti ayat teantang manusia sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah:30) dan ayat-ayat free will (al-Kahfi:29 dan ar-Ra’d:11).

1. Sikap Kelompok Pertama

Benar bahwa al-Quran memuat segala hal, namun hal itu hanya aspek etik saja, mengingat al-Quran dalam aspek-aspek social hanya membicarakan prinsip-prinsipnya, yakni ‘adl (keadilan), syura (musyawarah), musawah (persamaan). Bahkan untuk keadilan, Ibn Taimiyah berkata:” Allah mendukung kekuasaan yang adil meskipun kafir, dan tidak mendukung kekuasaan yang dzalim meskipun Islam.”

Kebebasan mengkritik juga dijamin dalam Islam misalnya prinsip amar ma’ruf nahyi munkar (QS. Ali Imran:104). Dalam hadits riwayat Ibnu Majah dikatakan bahwa jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran pada penguasa yang dzalim. Disamping itu terdapat jaminan kebebasan berpendapat ( QS. As-Syura:38, Annisa:59 dan 83; kebebasan berserikat dalam al-Maidah: 2, al-Mujadilah: 22 dan kebebasan beragama dalam QS. al-Baqarah ayat 256 dan Yunus ayat 99.

Argumen yang menunjukkan kesesuaian Islam dan demokrasi adalah penolakan Islam terhadap kediktatoran Namrudz dan Firaun (QS.al-Baqarah:258 dan ad-Dukhan:31); pemilu sebagai kesaksian rakyat (al-Baqarah 282-283), pengecaman terhadap rakyat yang hanya membebek saja ( QS. Al-Qashash:8, 24), negara Islam menjunjung tinggi toleransi dan pluralitas sebagai sunnatullah (Qs. Al-Baqarah 256, Huud:118 Yunus: 99).

Argumen lain adalah bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam adalah bahwa legislasi tidak berarti penentangan terhadap hukum Tuhan karena legislasi di parlemen dalam persoalan yang belum jelas aturannya dalam syariah; multi partai dalam sistem demokrasi merupakan kelembagaan yang akan menghindari kedzaliman, dan yang dimaksud kemultian dalam hal ini adalah dalamarti jenis dan spesifikasi, bukan perselisihan.
Larangan meminta kekuasaan seperti disebut dalam hadits adalah dalam konteks ambisius dan rakus. Pencalonan sebagai bagian dari system demokrasi dibolehkan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Yusuf dan Sulaiman.

Islam mengenal system penerimaan rakyat yang disebut baiat. Kata Nabi, “ada tiga orang yang shalatnya tidak terangakat sejengkalpun di atas kepalanya….pertama, orang yang mengimami shalat suatu kaum, sedang mereka membencinya” (HR. Ibnu Majah). Berdasar hadits ini, salah satu ukuran demokrasi adalah pada tingkat aspiratifnya. Suatu Negara dikatakan demokrasi sejauh ia mencerminkan aspirasi rakyatnya, termasuk di dalamnya tidak bertentangan dengan sistem kepercayaan (agama) yang dianutnya sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat dengan konsep WASP (White, Anglo Saxon, and Protestan).

2. Sikap Kelompok Kedua

Demokrasi ditolak oleh elit di negara muslim karena efektivitas demokrasi terhadap keutuhan bangsa. Demokrasi dianggap melahirkan kekacauan sosial, clean governance yang tidak kunjung tiba sebab maraknya praktik politik uang dan koronisme akibat balas budi terhadap mereka yang berjasa dalam pemilihan presiden atau pilkada langsung. Hal utama penolakan tersebut disebabkan karena demokrasi tidak membawa pada peningkatan kesejahteraan ekonomi (Kamil, 2013: 95).

Alasan kedua penolakan elit muslim terhadap demokrasi adalah karena persoalan teologis. Kelompok ini memandang bahwa demokrasi sebagai sesatu yang haram dalam Islam dan patut diwaspadai. Mereka diantaranya adalah Sayyid Qutb dari Mesir, Thabathabai dari Iran, Ali Benhadj dari Al-Jazair dan Abdul Qadim Zallum, pendiri Hizbut Tahrir.

Sayyid Qutb, seorang ideolog Ikhwanul Muslimin yang dieksekusi rezim Gamal Abdun Nasr pada tahun 1966, sangat keras menentang setiap gagasan kedaulatan rakyat. Bagi Sayyid Qutb, demokrasi merupakan pelanggaran bagi kekuasaan Tuhan. Sedang seseorang yang mengakui kekuasaan Tuhan berarti melakukan penentangan secara menyeluruh terhadap kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian, bentuk, sistem, dan kondisi. Sayyid Qutb menekankan bahwa syariat sebagai sistem hukum sudah sangat lengkap, sehingga tidak ada legislasi lain yang mengatasinya.

Thabathabai, seorang mufasir dan filsuf Iran terkemuka berpendapat bahwa Islam dan demokrasi tidak bisa disatukan karena prinsip mayoritasnya. Menurutnya, setiap agama besar dalam kelahirannya senantiasa bertentangan dengan pendapat mayoritas. Sedang manusia sering tidak menyukai apa yang tidak adil dan benar. Dengan mengutip al-Quran surat al-Mu’minin ayat 70-71, ia berkesimpulan bahwa salahlah mereka yang menganggap tuntutan mayoritas selalu adil dan mengikat.

Senada dengan Thabathabai, Abdul Qadir Zallum berpendapat bahwa demokrasi adalah sistem kufur non Islam (ad-dimuqratiyah nizham kufr) yang bertentangan dengan Islam. Ia berargumen bahwa demokrasi adalah produk akal manusia, bukan Tuhan, bagian dari akidah sekularisme. Dalam Islam kedaulatan ada di tangan syariat, tidak di tangan rakyat. Dalam Islam, prinsip mayoritas tidak memiliki signifikansi karena yang signifikan adalah teks-teks syariat dan kebebasan seperti kebebasan beragama dalam Islam tidak ada.

3. Sikap Kelompok Ketiga

Kelompok ketiga berusaha menyatukan pendapat dua kubu di atas. Kelompok ini dipelopori oleh Abul ‘Ala al-Maududi. Doktrin kedaulatan Tuhan dalam bentuk syariat (hukum Tuhan) yang membatasi kedaulatan rakyat. Bagi Al-Maududi (1990:160), ada kemiripan antara demokrasi dan Islam. Bedanya, dalam sistem politik di Barat, suatu negara demokratis menikmati kedaulatan mutlak, maka dalam demokrasi Islam, kekhilafahan ditetapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang telah digariskan oleh hukum ilahi.

Suatu negara yang didirikan atas dasar kedaulatan de jure Tuhan tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengannnya (Al-Quran dan hadits) sekalipun rakyat menuntutnya. Misalnya kasus UU yang membolehkan minuman keras di negara sekuler, tidak akan terjadi dalam sistem pemerintahan Islam. Namun, tidak berati sistem Pemerintahan Islam mengebiri potensi rasional manusia untuk masalah administrasi dan persoalan yang tidak dijelaskan secara gamblang dalam syariat.

Hal semacan itu dapat ditetapkan berdasar konsensus di antara kaum Muslimin yang memiliki kualifikasi. Sistem Islam usulan al-Maududi ini mengambil jalan moderat. Ia menyebut sistem ini dengan istilah “Teo-Demokrasi” yakni sistem pemerintahan demokrasi ilahi, suatu sistem kedaulatan rakyat yang dibatasi kedaulatan Tuhan lewat syariat-Nya.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Abd al-Athi Muhammad. al-Fikr al-Siyasi Li al-imam Muhamamd Abduh. Mesir: al-Maiat al Misriyyat al –Ammat li al-Kitab, 1978.
al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekulerisme. Bandung: Pustaka, 1981.
al-Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Pustaka, 1984.
Al-Ghazali. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Kairo: t.p. 1320 H.
Al-Maududi, Abul ‘ala. Hukum dan Konstitusi Sistem Poltik Islam, Terjemahan The Islamic Law and Constitution. Bandung: Mizan, 1990.
al-Maududi, Abul ‘Ala. Khilafah dan Kerajaan, terjemah oleh Muhammad al-Baqir dari al-Khilafah wa al-Mulk. Bandung: Mizan, 1996.
Al-Mawardi. al-Ahkam al-Sulthaniyah. Beirut: Dar al-Fikr, Tth.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Asas-asas Hukum Tata Negara Menurut Syariat Islam. Yogyakarta: Matahari Masa, 1969.
Arkoun, Mohamed. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. Jakarta: INIS, 1994.
Azhar, Muhammad. Filsafat Politik, Perbandiangan Islam dan Barat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Effendi, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Haikal, Muhammad Hussein. Pemerintahan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Huwaidi, Fahmi. Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat, terjemahan dari al-Islam wa al-Dimuqratiyah. Bandung: Mizan, 1996.
Kamali, Muhammad Hasyim. Kebebasan Berpendapat dalam Islam. Bandung: Mizan, 1996.
Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik, Agama dan Negara. Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2013.
Khan, Qamarudin. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah. Bandung: Pustaka, 1983.
Nasution, Harun, dkk. Eksiklopedi Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houve, 2003.
Qaradhawi, Yusuf. Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah. Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1997.
Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Ridha, Rasyid. al-Khilafah au al-Imamah al-udzma. Kairo: al-Manar, 1341 H.
Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas, tentang Transformasi Intelektual (terj.). Bandung: Pustaka, 1982.
Rais, Amien. Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan, 1987.
Syadzali, Munawir. Islam dan Tatanegara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI-Press, 1993.
Taimiyah, Ibnu. Al-Siyasah al-Syariah. Kairo: Dar al-Kutub al-Arabi, tt.
Zainuddin, A. Rahman. Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Ibnu Khaldun. Jakarta: Gramedia, 1992.


http://duniatimteng.com/bentuk-pemerintahan-islam-dan-wacana-demokrasi/

Sunday, 12 June 2016

Legenda Tinju Dunia Muhammad Ali Meninggal Dunia

Ketika bertanding melawan Leon Spinks di tahun 1978,  saya bersama teman-teman SMA membolos untuk  mendengarkan/menyaksikan kehebatan Muhammad Ali dari Radio - waktu itu belum ada televisi.

Berikut kutipan berita seputar kematiannya.

Legenda tinju dunia Muhammad Ali meninggal dalam usia 74 tahun, seperti disampaikan oleh juru bicara keluarga. Ali dilaporkan meninggal dunia setelah mendapatkan perawatan selama dua hari di Rumah Sakit Phoenix, Arizona, Amerika Serikat (AS), akibat diserang penyakit gangguan pernapasan. Kabar duka ini langsung menjadi buah bibir di jejaring sosial media. Berita menyedihkan itu datang pada Jumat 3 Juni 2016 lalu waktu Amerika Serikat.  


Ali menderita gangguan pernapasan, sebuah kondisi komplikasi yang disebabkan oleh penyakit Parkinson yang dideritanya. Dalam pernyataan yang disampaikan keluarga, pemakaman akan dilakukan di kampung halaman Ali di Louisville, Kentucky.

D
ia tak hanya dikenal sebagai petinju tetapi juga juru kampanye hak-hak sipil.

Berbagai tokoh dan brand dunia menyampaikan rasa dukanya terhadap kabar tersebut dengan caranya masing-masing.

Apple, misalnya, memajang foto beserta kutipan ucapan terkenal dari Ali di situs resminya. Foto tersebut dibuat dalam tema hitam-putih, menandakan Apple yang berduka atas meninggalnya salah satu petinju terhebat di dunia itu.

"Muhammad Ali. 1942 - 2016. The man who has no imagination has no wings," tulis Apple, mengutip Ali, dalam situs resminya tersebut. Dalam bahasa Indonesia, tulisan itu dapat diartikan, "Pria yang tidak memiliki imajinasi tidak memiliki sayap."

Nama Ali sendiri sebenarnya tidaklah asing bagi Apple. Dia pernah dijadikan ikon bintang iklan Apple pada 1997 silam.

Ali adalah seorang tentara semesta untuk berbagi rasa kemanusiaan, ujar Bill Clinton, dalam pidato sambutannya pada acara pemakaman Muhammad Ali, seperti dilansir The Guardians, Sabtu, 11 Juni 2016. Menurut Clinton, Ali adalah sosok yang telah memberikan banyak hadiah kepada dunia, sehingga setiap perbuatannya pantas untuk diingat dan dibanggakan.

“Muhammad Ali adalah seorang Amerika yang pemberani, pelopor, dan penggembira,” ujar Valerie membacakan tulisan Obama. Tak hanya itu, Obama juga memandang Ali sebagai sosok yang peduli akan kebebasan beragama, berpendapat, dan berkeyakinan.

Perjalanan Muhammad Ali

Muhammad Ali (nama lahir Cassius Marcellus Clay, Jr.; 17 Januari 1942 – 3 Juni 2016) adalah mantan petinju professional asal Amerika Serikat yang dikenal secara luas sebagai salah satu tokoh olahraga yang paling signifikan dan terkenal dari abad ke-20. Dari awal kariernya, Ali dikenal sebagai sosok inspiratif, kontroversial dan berpengaruh baik di dalam maupun di luar ring.

Clay lahir di Louisville, Kentucky, Amerika Serikat dan mulai berlatih tinju pada usia 12 tahun. Di usia 22, ia telah meraih juara padaHeavyweight World Championship dari Sonny Liston dalam pertarungan di tahun 1964. Tidak lama setelah itu, Clay memeluk agama Islam dan mengubah nama "budak"nya menjadi Muhammad Ali dan memberikan pesan kebanggaan ras untuk Afrika Amerika serta perlawanan terhadap dominasi putih selama Gerakan Hak-Hak Sipil Afrika-Amerika tahun 1960-an.
Pada tahun 1966, dua tahun setelah memenangkan gelar kelas berat, Ali menolak ikut wajib militer untuk Pasukan Militer Amerika Serikat, serta menentang keterlibatan Amerika dalam Perang Vietnam. Ali kemudian diskors, dan gelar juaranya di cabut oleh Komisi Tinju. Ia berhasil mengajukan banding di Mahkamah Agung Amerika Serikat, yang membalikkan hukumannya pada tahun 1971. Pada saat itu, ia tidak bisa bertarung sama sekali selama hampir empat tahun dan kehilangan kinerja puncaknya sebagai atlet tinju. Tindakan Ali sebagai penentang perang membuatnya menjadi ikon besar untuk Generasi Tandingan.
Ali tetap satu-satunya juara dunia kelas berat sebanyak tiga kali; ia memenangkan gelar tersebut pada tahun 1964, 1974 dan 1978. Di antara tanggal 25 Februari hingga 19 September 1964, Ali dinobatkan sebagai Juara Dunia Tinju Kelas Berat. Ia dijuluki sebagai "The Greatest". Pada tahun 1999, Ali dianugerahi "Sportsman of the Century" oleh Sports Illustrated.

Kilas Balik

  • 17 Januari 1942: Lahir dengan nama Cassius Marcellus Clay GEPEN-K BANE, Jr. dari ayah Cassius Marcellus Clay, Sr., seorang pelukis billboard (papan iklan) dan rambu lalu lintas dan ibu Odessa Grady Clay, seorang pencuci pakaian.
  • Pada usia 12 tahun, Clay, jr. melapor kepada polisi bernama Joe Martin, bahwa sepeda BMX barunya dicuri orang. Joe Martin, yang juga seorang pelatih tinju di Louisville, mengajari Clay kecil cara bertinju agar dapat menghajar si pencuri sepeda. Clay kecil sangat antusias berlatih tinju di bawah bimbingan Martin.
  • 1960: Meraih medali emas kelas berat ringan Olimpiade 1960 di Roma, Italia.
  • 29 Oktober 1960: Debut pertama di ring profesional. Menang angka 6 ronde atas Tunney Hunsaker.
  • 25 Februari 1964: Merebut gelar juara dunia kelas berat dengan menang TKO ronde 7 dari 15 ronde yang direncanakan atasSonny Liston di Florida, Amerika Serikat. Liston mengalami cedera pada leher yang membuatnya mengundurkan diri dari pertandingan.
  • Segera setelah menang atas Liston, Clay memproklamirkan agama dan nama barunya, Muhammad Ali, serta masuknya ia dalam kelompook Nation of Islam yang kontroversial. (Pada buku biografi Ali yang diluncurkan pada tahun 2004, Ali mengaku sudah tidak bergabung dengan NOI, tapi bergabung dengan jamaah Islam Sunni pada tahun 1975.
  • 25 Mei 1965: tanding ulang antara Ali melawan Liston yang penuh kontroversi. Pukulan Ali yang begitu cepat menimbulkan spekulasi di kalangan tinju yang menyebut pukulan Ali sebagai 'phantom punch'. Pukulan itu begitu cepat, sehingga tidak tampak mengenai Liston yang roboh. Banyak isu yang berkembang, termasuk suap dan ancaman orang-orang NOI terhadap Liston dan keluarganya, tapi Liston membantah semua itu dengan menyatakan pukulan Ali menghantamnya dengan keras.
1967 - 1970 Ali diskors oleh Komisi Tinju karena menolak program wajib militer pemerintah Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Ungkapannya yang terkenal dalam menolak wamil ini, "Saya tidak ada masalah dengan orang-orang Vietcong, dan tidak ada satupun orang Vietcong yang memanggilku dengan sebutan Nigger!"
  • 8 Maret 1971, Ali kalah angka dari Joe Frazier di New York, dan harus menyerahkan gelarnya.
  • 30 Oktober 1974: Rumble in the Jungle. Ali merebut kembali gelar juara kelas berat WBC dan WBA setelah menumbangkan George Foreman di Kinsasha, Zaire pada ronde ke 8.
  • 1 Oktober 1975: Thrilla in Manila. Presiden Ferdinand Marcos memboyong pertandingan Ali vs Fraizer III ke kota Manila, Filipina. Ali menang TKO ronde 14 dalam pertandingan yang sangat seru dan menegangkan, bahkan disebut sebagai salah satu "pertandingan tinju terbaik abad ini". Frazier yang kelelahan akhirnya menyerah dan tidak mau melanjutkan pertandingan pada istirahat menjelang ronde ke-15. Setelah itu, saat akan wawanc
    ara dengan televisi, Ali terjatuh karena kehabisan tenaga; setelah istirahat beberapa menit, wawancara bisa dilakukan, tapi Ali harus duduk di bangku karena sudah kehabisan tenaga.

Suasana shalat jenazah
15 September 1978: Ali mengalahkan Leon Spinks dengan angka 15 ronde di New Orleans. Ali mengukuhkan diri sebagai petinju pertama yang merebut gelar juara kelas berat sebanyak 3 kali.
  • 6 September 1979: Ali menyatakan mengundurkan diri dari tinju, dan gelar dinyatakan kosong.
  • 2 Oktober 1980: Ali kembali ke ring tinju, melawan bekas kawan latih tandingnya, Larry Holmes, yang telah menjadi juara dunia kelas berat dalam pertandingan yang diberi judul "The Last Hurrah". Dalam pertandingan yang berat sebelah, Ali tidak mampu berkutik, sedang Holmes tampak tidak tega 'menghabisi' Ali yang tak berdaya. Ali menyerah dan mengundurkan diri pada ronde 11, Holmes dinyatakan menang TKO.
  • Disebutkan, dalam laporan medis yang dilakukan di Mayo Clinic, Ali dinyatakan menderita gejala sindrom Parkinson seperti tangan yang gemetar, bicara yang mulai lamban, serta ada indikasi bahwa ada kerusakan pada selaput (membran) di otak Ali. Namun Don King merahasiakan hasil medis ini, dan pertandingan Ali vs Holmes tetap berlangsung.
  • Sebelum pertandingan melawan Larry Holmes ini, Dr. Ferdie Pacheco, dokter pribadi yang telah mendampingi Ali selama puluhan tahun, dengan terpaksa mengundurkan diri karena Ali tidak mau mendengarkan nasehatnya untuk menolak pertandingan melawan Holmes, dan lebih memilih bertanding melawan Holmes. Dalam salah satu buku biografi Ali, Pacheco mengemukakan bahwa selama latihan Ali sempat kencing darah akibat kerusakan ginjal terkena pukulan, ia juga mengemukakan bahwa Ali sudah memiliki gejala sindrom Parkinson sejak sebelum pertandingan ini.
  • Setelah pertandingan tersebut, dilakukan cek medis ulang, dan hasilnya menguatkan hasil sebelumnya.
  • Dua legenda tinju kelas berat, Mike Tyson dan Lennox Lewis,
    jadi pengusung peti jenazah Ali menuju tempat peristirahatan terakhirnya
  • 11Desember 1981, sekali lagi Ali yang sudah uzur, mencoba kembali ke dunia tinju melawan Trevor Berbick di Bahama dalam pertandingan yang diberi tajuk "Drama in Bahama". Dalam kondisi renta, Ali mampu tampil lebih bagus daripada saat melawan Holmes, walaupun akhirnya kalah angka 10 ronde. Setelah pertandingan ini, Ali benar-benar pensiun dari dunia tinju



Muhammad Ali ke Indonesia
Ali pertama kali menginjakkan kaki di bumi Indonesia pada tahun 1973. Pada 20 Oktober 1973, Ali 'menyiksa' lawannya, Rudie Lubbers, selama 12 ronde dalam pertandingan kelas berat tanpa gelar di Istora Senayan, Jakarta. Oleh publik dan pers Indonesia, pertandingan Ali vs Lubbers disebutkan sebagai pertandingan eksibisi, namun nyatanya ini adalah pertandingan resmi, walau tidak memperebutkan gelar.
Kesan pertama berkunjung ke negara ini pada tahun 1973 adalah "Sebuah negara yang unik, di mana penduduknya sangat bersahabat, dan selalu tersenyum kepada siapapun."

Setelah beberapa kali kunjungan ke negara ini, Ali yang sudah pensiun dari dunia tinju terakhir menginjakkan kaki di bumi Indonesia pada 23 Oktober 1996, dan sempat bertemu pejabat tinggi negeri ini.

Keluarga
  • Istri pertama: Sonji Roi (menikah tanggal 14 Agustus 1964, namun cerai pada 10 januari 1966 karena Ali menganggap Roi tidak berpakaian Islami).
  • Istri kedua: Belinda Boyd (menjadi Khalilah Ali setelah menikah), menikah pada 17 August 1967. Mereka memiliki 3 anak, Jamilah dan Rasheda (putri kembar) dan Muhammad Ali, Jr. Ali dan Belinda akhirnya bercerai karena Belinda mendapati Ali berselingkuh dengan Veronica Porche Anderson. Dalam film dokumenter Ali ("When We Were Kings") ditunjukkan Belinda 'melabrak' Ali di arena, menjelang pertandingan Ali vs Foreman di Zaire,1975. Pada tahun 1977, Ali dan Belinda resmi bercerai.
Isteri-isteri dan anak Muhammad Ali

  • Pada tahun 1977 pula, Ali menikah dengan Veronica Porche Anderson (lebih dikenal sebagai Veronica Ali), dan memiliki dua putri Hanna dan Laila Ali. Laila Ali sendiri kelak memutuskan jadi petinju wanita, dan kelak menjadi juara dunia tinju wanita. Ali dan Veronica tetap menjadi pasutri sampai sekarang.
  • Masalah kesehatan dan kematian
  • Pada 20 Desember 2014, Ali dirawat di rumah sakit karena terkena pneumonia ringan. Ali kembali dirawat di rumah sakit pada 15 Januari 2015 karena mengalami infeksi saluran kemih, namun keesokan harinya Ali sudah keluar dari rumah sakit.
  • Pada 2 Juni 2016, Ali kembali dirawat di rumah sakit karena masalah pernapasan. Saat itu kondisi kesehatannya masih stabil. Hari berikutnya, kondisi Ali memburuk.Kondisinya tidak kunjung membaik, dan pada 3 Juni 2016 Ali meninggal dunia di usia 74 tahun.

Dari berbagai sumber