Oleh: Muhammad Zulifan
(Peneliti, Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam-UI)
Tipologi Bentuk Pemerintahan
Islam
Setidaknya ada tiga tipologi pemikiran dalam melihat relasi Islam dan
bentuk pemerintahan, yakni bentuk pemerintahan Teo-Demokrasi, sekuler dan
moderat (Kamil, 2013:21).
1. Teo-Demokrasi
Abu al-A’la al-Maududi |
Tipologi Teo-Demokrasi melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus
negara (din wa daulah). Pandangan ini menyatakan bahwa Islam adalah
agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang
menyatu.
Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara berdasarkan
syariah Islam dan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif bahkan sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama yang sempurna, Islam tidak hanya
sebagai agama seperti pengertian Barat yang sekuler, tetapi suatu pola hidup
yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan tak terkecuali
masalah politik. Adapun tokoh yang termasuk dalam tipologi ini adalah Rasyid
Ridha (1865-1935), Sayyid Qutb (1906-1966, Abu al-A’la al-Maududi (1903-1979),
dan di Indonesia Muhammad Natsir.
Sayyid Qutb, dalam penjara |
husus Indonesia, Muhammad Natsir menyatakan bahwa Islam lebih dari
sekedar sistem agama, tetapi suatu kebudayaan yang lengkap. Negara adalah dua
entitas relegio-politik yang menyatu. Konstruk negara yang dicita-citakan Islam
adalah negara yang berfungsi menjadi alat Islam yang secara formal mendasarkan
Islam sebagai ideologinya. Ia berfungsi mengawasi berlakunya nilai-nilai Islam
dan menjunjung tinggi supremasi hukum Islam (Effendi, 1998: 78)
2. Tipologi Sekuler
Ali Abd al-Raziq |
Menurut tipologi ini, Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan
agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara peraturan tentang kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Karena itu persoalan negara adalah persoalan
sekuler (duniawi) yang pertimbangannya adalah akal dan moralitas (kemaslahatan)
kemanusiaan yang bersifat duniawi semata. Negara tidak harus diatur agama,
demikian juga negara tidak boleh intervensi masalah agama karena agama dalam
persoalan pribadi dan keluarga. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali
Abd al-Raziq (1888-1966), A. Luthfi Sayyid (1872-1963), dan di Indonesia Soekarno
(1901-1970).
Sukarno |
A Luthfi Sayyid berpendapat hal yang sama. Menurutnya, agama dan negara
adalah hal yang berbeda. Dalam membangun negara, kamu muslimin tidak harus
mengikatkan diri pada Islam dan pan –Islamisme karena tidak lagi relevan.
Sikap
seperti ini juga diyakini Soekarno di Indonesia. Baginya, agama dan negara
harus dipisah agar keduanya berjalan sendiri-sendiri. Negara harus dilepas
ikatannya dari negara dan demikian sebaliknya.
Argumen yang dikemukakan Soekarno adalah, jika agama diperkenankan
hadir dalam wilayah publik, ia akan menjadi alat politik belaka bagi yang
berkepentingan dan juga akan melahirkan rasa terdiskriminasi bagi pemeluk
selain agama publik tersebut. Menurut Soekarno, yang mesti diambil dari agama
(semisal Islam) adalah api atau semangatnya saja, dan karakter agama juga harus
rasional, kultural, dan progresif (Effendi, 1998: 78)
Di
Turki, pemikir yang berpandangan sama dengan pemikir di atas adalah Zia Gokalp
(1875-1924). Ia menganjurkan pemisahan masalah dinayet (keyakinan dan ibadah)
dan muamalah (sosial), termasuk di dalamnya soal politik. Bagi Gokalp,
persoalan agama adalah urusan ulama, sementara persoalan sosial politik adalah
urusan sultan atau negara. Hal ini karena persoalamn muamalah sangat dinamis
dan berubah-ubah, sementara agama cenderung tidak demikian (Nasution, 2003:168)
3. Tipologi Moderat
Haikal |
Tipologi ketiga adalah tipologi moderat. Tipologi ini menolak pendapat
bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk
politik. Tetapi menolak juga pendapat kedua bahwa Islam tidak ada kaitannya
dengan politik (Kamil, 2013: 31).
Kendati Islam tidak menunjukkan preferensi pada sistem politik
tertentu, namun dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral dan etika bagi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara dimana umat Islam bebas memilih sistem
mana yang terbaik. Tokoh yang termasuk dalam tipologi ini adalah Muhamamd
Hussein Haikal (lahir 1888, penyusun buku Sejarah Hidup Nabi Muhammad, sos) Muhamamd Abduh (1862-1905), Fazlurrahman, Muhamed
Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid.
Abduh |
Haikal (1993:126) berpendapat bahwa di dalam al-Quran dan sunnah tidak
terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan
ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya tidak diturunkan dalam kaitan
sistem pemerintahan. Oleh karenanya empat khalifah periode awal (khulafaur
rasyidin) memang dibaiat masyarakat di masjid, tetapi mereka diangkat tidak
selalu melalui pemilihan. Nabi sendiri membiarkan sistem pemerintahan Arab
asalkan menerima baik agama yang dibawanya.
Menurut Haikal, ada tiga prinsip dasar peradaban manusia menurut sumber
Islam yakni prinsip monoteisme murni, kedua, prinsip sunatullah (hukum
alam/logika kausalitas) yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar
sesama manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua.
Sejalan dengan Haikal, Muhammad Abduh termasuk pemikir tipologi ketiga.
Menurutnya, Islam bukanlah agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum
yang mengatur hubungan antar sesama muslim dan sesama manusia lainnya yang
untuk menjaminnya diperlukan penguasa atau Negara
Bagi Abduh, negara kaitannya dengan agama adalah subsider saja dan
pendapatnya juga bahwa tidak ada orang atau lembaga yang memegang kekuasaan
keagamaan dengan mempunyai kewenangan wakil tuhan dimuka bumi. Kepala negara
adalah seorang sipil yang diangkat dan dapat diberhentikan rakyat, dan kepada
mereka ia bertanggungjawab.di Mesir, Partai Nasional Mesir yang dirumuskannya
membuka anggota dari seluruh rakyat Mesir, baik yang beragama Islam, Yahudi,
Kristen maupun yang lainnya.
Fazlurrahman |
Bila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik
tertentu, maka pemikit Islam setelahnya yakni Fazlurrahman dan Mohamed Arkoun
menyebut bahwa dari prinsip disebut al-Quran dan Hadits, preferensi Islam
adalah sistem politik demokratis (Azhar, 1996: 150). Fazlur Rahman berpendapat
bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada
ekstremitas serta ulil amri (penguasa) tidak menerima konsep elitisme ekstrim.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang inklusif, saling berbuat baik
dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.
Bagi Fazlur Rahman, syuro tidak berati bahwa satu pihak meminta nasehat pada
pihak lain sebagaimana dahulu terjadi antara khalifah dan ahlu halli wa
al-‘aqdi, melainkan nasihat timbal balik melalui diskusi bersama. Namun
demokrasi yang dimaksud Fazlur Rahman adalah yang berorientasi pada etika dan
nilai Islam, tidak bersifat material layaknya demokrasi di Barat
Arkoun |
Senada dengan Haikal, Arkoun menerima penyataan Ibnu Khaldun bahwa
sistem kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif dan
hegemonik, seperti yang terlihat pada termonologi bai’ah dan wakil Allah di
muka bumi. Dari sini Arkoen menyetujui negara demokratis dan mengkritik para
ulama yang telah ikut melestarikan status quo kekuasaan dinasti yang jauh dari
moral Islam
Nurcholish Madjid |
Meski demikian, Arkoun juga mengkritik habis sekularisasi gaya Ataturk
di Turki yang bagi Arkoun merupakan bentuk kesadaran naif yang didasari oleh
kekagetan budaya. Ia juga menolak pembentukan negara Islam ala Khomeini karena
telah melakukan sakralisasi terhadap sesuatu yang sebenarnya duniawi. Prinsip
kenegaraan Islam menurut Arkoun adalah syura (musyawarah), ijtihad, dan
penerapan syariat Islam yang tujuannya untuk mewujudkan masyarakat yang
bermoral, bertanggung jawab dan bermartabat (ibid.:157).
Wacana Islam dan Demokrasi
Terdapat perbedaan di kalangan cendekiawan muslim menyikapi konsep
Demokrasi dalam wacana partai politik dan negara Islam. Kalangan yang menerima
demokrasi berpandangan bahwa hal itu bukan sebagai problem yang harus
dipermasalahkan. Dr. Yusuf Qaradhawi (1997:191) berpendapat bahwa substansi
demokrasi sejalan dengan Islam karena Islam dan demokrasi sama-sama menolak
diktatorisme. Huwaidi (1996:195) menyatakan, dalam Islam terdapat konsep
penyelenggaraan kekuasaan dengan prinsip amanah, musawah, ‘adalah,
syuro, ijma’, dan baiat. Prinsip demokrasi dalam al-Quran begitu
kuat. Yang diperlukan adalah reformulasi dan reinterpretasi.
Persoalan mendasar dalam melihat hubungan ketiganya adalah keyakinan
bahwa tuhanlah yang berkuasa mutlak (QS. Ali Imran:26), meski menurut John L.
Esposito penolakan pada demokrasi tersebut lebih karena faktor Barat colonial
yang sekuler, bukan penolakan pada demokrasi secara keseluruhan. Meski
sebenarnya dalam diri manusia terdapat kekuasaan temporal dari Tuhan seperti
ayat teantang manusia sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah:30) dan
ayat-ayat free will (al-Kahfi:29 dan ar-Ra’d:11).
1. Sikap Kelompok Pertama
Benar bahwa al-Quran memuat segala hal, namun hal itu hanya aspek etik
saja, mengingat al-Quran dalam aspek-aspek social hanya membicarakan
prinsip-prinsipnya, yakni ‘adl (keadilan), syura (musyawarah), musawah
(persamaan). Bahkan untuk keadilan, Ibn Taimiyah berkata:” Allah mendukung
kekuasaan yang adil meskipun kafir, dan tidak mendukung kekuasaan yang dzalim
meskipun Islam.”
Kebebasan mengkritik juga dijamin dalam Islam misalnya prinsip amar
ma’ruf nahyi munkar (QS. Ali Imran:104). Dalam hadits riwayat Ibnu Majah
dikatakan bahwa jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran pada
penguasa yang dzalim. Disamping itu terdapat jaminan kebebasan berpendapat (
QS. As-Syura:38, Annisa:59 dan 83; kebebasan berserikat dalam al-Maidah: 2, al-Mujadilah:
22 dan kebebasan beragama dalam QS. al-Baqarah ayat 256 dan Yunus ayat 99.
Argumen yang menunjukkan kesesuaian Islam dan demokrasi adalah
penolakan Islam terhadap kediktatoran Namrudz dan Firaun (QS.al-Baqarah:258 dan
ad-Dukhan:31); pemilu sebagai kesaksian rakyat (al-Baqarah 282-283), pengecaman
terhadap rakyat yang hanya membebek saja ( QS. Al-Qashash:8, 24), negara Islam
menjunjung tinggi toleransi dan pluralitas sebagai sunnatullah (Qs. Al-Baqarah
256, Huud:118 Yunus: 99).
Argumen lain adalah bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam
adalah bahwa legislasi tidak berarti penentangan terhadap hukum Tuhan karena
legislasi di parlemen dalam persoalan yang belum jelas aturannya dalam syariah;
multi partai dalam sistem demokrasi merupakan kelembagaan yang akan menghindari
kedzaliman, dan yang dimaksud kemultian dalam hal ini adalah dalamarti jenis
dan spesifikasi, bukan perselisihan.
Larangan meminta kekuasaan seperti disebut dalam hadits adalah dalam
konteks ambisius dan rakus. Pencalonan sebagai bagian dari system demokrasi
dibolehkan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Yusuf dan Sulaiman.
Islam mengenal system penerimaan rakyat yang disebut baiat. Kata Nabi,
“ada tiga orang yang shalatnya tidak terangakat sejengkalpun di atas kepalanya….pertama,
orang yang mengimami shalat suatu kaum, sedang mereka membencinya” (HR. Ibnu
Majah). Berdasar hadits ini, salah satu ukuran demokrasi adalah pada tingkat
aspiratifnya. Suatu Negara dikatakan demokrasi sejauh ia mencerminkan aspirasi
rakyatnya, termasuk di dalamnya tidak bertentangan dengan sistem kepercayaan
(agama) yang dianutnya sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat dengan
konsep WASP (White, Anglo Saxon, and Protestan).
2. Sikap Kelompok Kedua
Demokrasi ditolak oleh elit di negara muslim karena efektivitas
demokrasi terhadap keutuhan bangsa. Demokrasi dianggap melahirkan kekacauan
sosial, clean governance yang tidak kunjung tiba sebab maraknya praktik
politik uang dan koronisme akibat balas budi terhadap mereka yang berjasa dalam
pemilihan presiden atau pilkada langsung. Hal utama penolakan tersebut
disebabkan karena demokrasi tidak membawa pada peningkatan kesejahteraan
ekonomi (Kamil, 2013: 95).
Alasan kedua penolakan elit muslim terhadap demokrasi adalah karena
persoalan teologis. Kelompok ini memandang bahwa demokrasi sebagai sesatu yang
haram dalam Islam dan patut diwaspadai. Mereka diantaranya adalah Sayyid Qutb
dari Mesir, Thabathabai dari Iran, Ali Benhadj dari Al-Jazair dan Abdul Qadim
Zallum, pendiri Hizbut Tahrir.
Sayyid Qutb, seorang ideolog Ikhwanul Muslimin yang dieksekusi rezim Gamal
Abdun Nasr pada tahun 1966, sangat keras menentang setiap gagasan kedaulatan
rakyat. Bagi Sayyid Qutb, demokrasi merupakan pelanggaran bagi kekuasaan Tuhan.
Sedang seseorang yang mengakui kekuasaan Tuhan berarti melakukan penentangan
secara menyeluruh terhadap kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian, bentuk,
sistem, dan kondisi. Sayyid Qutb menekankan bahwa syariat sebagai sistem hukum
sudah sangat lengkap, sehingga tidak ada legislasi lain yang mengatasinya.
Thabathabai, seorang mufasir dan filsuf Iran terkemuka berpendapat
bahwa Islam dan demokrasi tidak bisa disatukan karena prinsip mayoritasnya.
Menurutnya, setiap agama besar dalam kelahirannya senantiasa bertentangan
dengan pendapat mayoritas. Sedang manusia sering tidak menyukai apa yang tidak
adil dan benar. Dengan mengutip al-Quran surat al-Mu’minin ayat 70-71, ia
berkesimpulan bahwa salahlah mereka yang menganggap tuntutan mayoritas selalu
adil dan mengikat.
Senada dengan Thabathabai, Abdul Qadir Zallum berpendapat bahwa
demokrasi adalah sistem kufur non Islam (ad-dimuqratiyah nizham kufr)
yang bertentangan dengan Islam. Ia berargumen bahwa demokrasi adalah produk
akal manusia, bukan Tuhan, bagian dari akidah sekularisme. Dalam Islam
kedaulatan ada di tangan syariat, tidak di tangan rakyat. Dalam Islam, prinsip
mayoritas tidak memiliki signifikansi karena yang signifikan adalah teks-teks
syariat dan kebebasan seperti kebebasan beragama dalam Islam tidak ada.
3. Sikap Kelompok Ketiga
Kelompok ketiga berusaha menyatukan pendapat dua kubu di atas. Kelompok
ini dipelopori oleh Abul ‘Ala al-Maududi. Doktrin kedaulatan Tuhan dalam bentuk
syariat (hukum Tuhan) yang membatasi kedaulatan rakyat. Bagi Al-Maududi
(1990:160), ada kemiripan antara demokrasi dan Islam. Bedanya, dalam sistem
politik di Barat, suatu negara demokratis menikmati kedaulatan mutlak, maka
dalam demokrasi Islam, kekhilafahan ditetapkan untuk dibatasi oleh batas-batas
yang telah digariskan oleh hukum ilahi.
Suatu negara yang didirikan atas dasar kedaulatan de jure Tuhan
tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengannnya (Al-Quran dan
hadits) sekalipun rakyat menuntutnya. Misalnya kasus UU yang membolehkan
minuman keras di negara sekuler, tidak akan terjadi dalam sistem pemerintahan
Islam. Namun, tidak berati sistem Pemerintahan Islam mengebiri potensi rasional
manusia untuk masalah administrasi dan persoalan yang tidak dijelaskan secara
gamblang dalam syariat.
Hal semacan itu dapat ditetapkan berdasar konsensus di antara kaum
Muslimin yang memiliki kualifikasi. Sistem Islam usulan al-Maududi ini
mengambil jalan moderat. Ia menyebut sistem ini dengan istilah “Teo-Demokrasi”
yakni sistem pemerintahan demokrasi ilahi, suatu sistem kedaulatan rakyat yang
dibatasi kedaulatan Tuhan lewat syariat-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,
Abd al-Athi Muhammad. al-Fikr al-Siyasi Li al-imam Muhamamd Abduh.
Mesir: al-Maiat al Misriyyat al –Ammat li al-Kitab, 1978.
al-Attas,
Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekulerisme. Bandung: Pustaka, 1981.
al-Faruqi,
Ismail Raji. Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Pustaka, 1984.
Al-Ghazali.
Al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Kairo: t.p. 1320 H.
Al-Maududi,
Abul ‘ala. Hukum dan Konstitusi Sistem Poltik Islam, Terjemahan The Islamic Law
and Constitution. Bandung: Mizan, 1990.
al-Maududi,
Abul ‘Ala. Khilafah dan Kerajaan, terjemah oleh Muhammad al-Baqir dari al-Khilafah
wa al-Mulk. Bandung: Mizan, 1996.
Al-Mawardi.
al-Ahkam al-Sulthaniyah. Beirut: Dar al-Fikr, Tth.
Ash-Shiddieqy,
Hasbi. Asas-asas Hukum Tata Negara Menurut Syariat Islam. Yogyakarta:
Matahari Masa, 1969.
Arkoun,
Mohamed. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru.
Jakarta: INIS, 1994.
Azhar,
Muhammad. Filsafat Politik, Perbandiangan Islam dan Barat. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997.
Effendi,
Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Haikal,
Muhammad Hussein. Pemerintahan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Huwaidi,
Fahmi. Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat, terjemahan dari al-Islam wa
al-Dimuqratiyah. Bandung: Mizan, 1996.
Kamali,
Muhammad Hasyim. Kebebasan Berpendapat dalam Islam. Bandung: Mizan,
1996.
Kamil,
Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik, Agama dan Negara. Jakarta:
Kencana Predana Media Group, 2013.
Khan,
Qamarudin. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah. Bandung: Pustaka, 1983.
Nasution,
Harun, dkk. Eksiklopedi Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houve, 2003.
Qaradhawi,
Yusuf. Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah. Jakarta,
Pustaka Al-Kautsar, 1997.
Pulungan,
J. Suyuthi. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994.
Ridha,
Rasyid. al-Khilafah au al-Imamah al-udzma. Kairo: al-Manar, 1341 H.
Rahman,
Fazlur. Islam dan Modernitas, tentang Transformasi Intelektual (terj.).
Bandung: Pustaka, 1982.
Rais,
Amien. Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan, 1987.
Syadzali,
Munawir. Islam dan Tatanegara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta:
UI-Press, 1993.
Taimiyah,
Ibnu. Al-Siyasah al-Syariah. Kairo: Dar al-Kutub al-Arabi, tt.
Zainuddin,
A. Rahman. Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Ibnu Khaldun. Jakarta:
Gramedia, 1992.