Sunday 12 June 2016

Legenda Tinju Dunia Muhammad Ali Meninggal Dunia

Ketika bertanding melawan Leon Spinks di tahun 1978,  saya bersama teman-teman SMA membolos untuk  mendengarkan/menyaksikan kehebatan Muhammad Ali dari Radio - waktu itu belum ada televisi.

Berikut kutipan berita seputar kematiannya.

Legenda tinju dunia Muhammad Ali meninggal dalam usia 74 tahun, seperti disampaikan oleh juru bicara keluarga. Ali dilaporkan meninggal dunia setelah mendapatkan perawatan selama dua hari di Rumah Sakit Phoenix, Arizona, Amerika Serikat (AS), akibat diserang penyakit gangguan pernapasan. Kabar duka ini langsung menjadi buah bibir di jejaring sosial media. Berita menyedihkan itu datang pada Jumat 3 Juni 2016 lalu waktu Amerika Serikat.  


Ali menderita gangguan pernapasan, sebuah kondisi komplikasi yang disebabkan oleh penyakit Parkinson yang dideritanya. Dalam pernyataan yang disampaikan keluarga, pemakaman akan dilakukan di kampung halaman Ali di Louisville, Kentucky.

D
ia tak hanya dikenal sebagai petinju tetapi juga juru kampanye hak-hak sipil.

Berbagai tokoh dan brand dunia menyampaikan rasa dukanya terhadap kabar tersebut dengan caranya masing-masing.

Apple, misalnya, memajang foto beserta kutipan ucapan terkenal dari Ali di situs resminya. Foto tersebut dibuat dalam tema hitam-putih, menandakan Apple yang berduka atas meninggalnya salah satu petinju terhebat di dunia itu.

"Muhammad Ali. 1942 - 2016. The man who has no imagination has no wings," tulis Apple, mengutip Ali, dalam situs resminya tersebut. Dalam bahasa Indonesia, tulisan itu dapat diartikan, "Pria yang tidak memiliki imajinasi tidak memiliki sayap."

Nama Ali sendiri sebenarnya tidaklah asing bagi Apple. Dia pernah dijadikan ikon bintang iklan Apple pada 1997 silam.

Ali adalah seorang tentara semesta untuk berbagi rasa kemanusiaan, ujar Bill Clinton, dalam pidato sambutannya pada acara pemakaman Muhammad Ali, seperti dilansir The Guardians, Sabtu, 11 Juni 2016. Menurut Clinton, Ali adalah sosok yang telah memberikan banyak hadiah kepada dunia, sehingga setiap perbuatannya pantas untuk diingat dan dibanggakan.

“Muhammad Ali adalah seorang Amerika yang pemberani, pelopor, dan penggembira,” ujar Valerie membacakan tulisan Obama. Tak hanya itu, Obama juga memandang Ali sebagai sosok yang peduli akan kebebasan beragama, berpendapat, dan berkeyakinan.

Perjalanan Muhammad Ali

Muhammad Ali (nama lahir Cassius Marcellus Clay, Jr.; 17 Januari 1942 – 3 Juni 2016) adalah mantan petinju professional asal Amerika Serikat yang dikenal secara luas sebagai salah satu tokoh olahraga yang paling signifikan dan terkenal dari abad ke-20. Dari awal kariernya, Ali dikenal sebagai sosok inspiratif, kontroversial dan berpengaruh baik di dalam maupun di luar ring.

Clay lahir di Louisville, Kentucky, Amerika Serikat dan mulai berlatih tinju pada usia 12 tahun. Di usia 22, ia telah meraih juara padaHeavyweight World Championship dari Sonny Liston dalam pertarungan di tahun 1964. Tidak lama setelah itu, Clay memeluk agama Islam dan mengubah nama "budak"nya menjadi Muhammad Ali dan memberikan pesan kebanggaan ras untuk Afrika Amerika serta perlawanan terhadap dominasi putih selama Gerakan Hak-Hak Sipil Afrika-Amerika tahun 1960-an.
Pada tahun 1966, dua tahun setelah memenangkan gelar kelas berat, Ali menolak ikut wajib militer untuk Pasukan Militer Amerika Serikat, serta menentang keterlibatan Amerika dalam Perang Vietnam. Ali kemudian diskors, dan gelar juaranya di cabut oleh Komisi Tinju. Ia berhasil mengajukan banding di Mahkamah Agung Amerika Serikat, yang membalikkan hukumannya pada tahun 1971. Pada saat itu, ia tidak bisa bertarung sama sekali selama hampir empat tahun dan kehilangan kinerja puncaknya sebagai atlet tinju. Tindakan Ali sebagai penentang perang membuatnya menjadi ikon besar untuk Generasi Tandingan.
Ali tetap satu-satunya juara dunia kelas berat sebanyak tiga kali; ia memenangkan gelar tersebut pada tahun 1964, 1974 dan 1978. Di antara tanggal 25 Februari hingga 19 September 1964, Ali dinobatkan sebagai Juara Dunia Tinju Kelas Berat. Ia dijuluki sebagai "The Greatest". Pada tahun 1999, Ali dianugerahi "Sportsman of the Century" oleh Sports Illustrated.

Kilas Balik

  • 17 Januari 1942: Lahir dengan nama Cassius Marcellus Clay GEPEN-K BANE, Jr. dari ayah Cassius Marcellus Clay, Sr., seorang pelukis billboard (papan iklan) dan rambu lalu lintas dan ibu Odessa Grady Clay, seorang pencuci pakaian.
  • Pada usia 12 tahun, Clay, jr. melapor kepada polisi bernama Joe Martin, bahwa sepeda BMX barunya dicuri orang. Joe Martin, yang juga seorang pelatih tinju di Louisville, mengajari Clay kecil cara bertinju agar dapat menghajar si pencuri sepeda. Clay kecil sangat antusias berlatih tinju di bawah bimbingan Martin.
  • 1960: Meraih medali emas kelas berat ringan Olimpiade 1960 di Roma, Italia.
  • 29 Oktober 1960: Debut pertama di ring profesional. Menang angka 6 ronde atas Tunney Hunsaker.
  • 25 Februari 1964: Merebut gelar juara dunia kelas berat dengan menang TKO ronde 7 dari 15 ronde yang direncanakan atasSonny Liston di Florida, Amerika Serikat. Liston mengalami cedera pada leher yang membuatnya mengundurkan diri dari pertandingan.
  • Segera setelah menang atas Liston, Clay memproklamirkan agama dan nama barunya, Muhammad Ali, serta masuknya ia dalam kelompook Nation of Islam yang kontroversial. (Pada buku biografi Ali yang diluncurkan pada tahun 2004, Ali mengaku sudah tidak bergabung dengan NOI, tapi bergabung dengan jamaah Islam Sunni pada tahun 1975.
  • 25 Mei 1965: tanding ulang antara Ali melawan Liston yang penuh kontroversi. Pukulan Ali yang begitu cepat menimbulkan spekulasi di kalangan tinju yang menyebut pukulan Ali sebagai 'phantom punch'. Pukulan itu begitu cepat, sehingga tidak tampak mengenai Liston yang roboh. Banyak isu yang berkembang, termasuk suap dan ancaman orang-orang NOI terhadap Liston dan keluarganya, tapi Liston membantah semua itu dengan menyatakan pukulan Ali menghantamnya dengan keras.
1967 - 1970 Ali diskors oleh Komisi Tinju karena menolak program wajib militer pemerintah Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Ungkapannya yang terkenal dalam menolak wamil ini, "Saya tidak ada masalah dengan orang-orang Vietcong, dan tidak ada satupun orang Vietcong yang memanggilku dengan sebutan Nigger!"
  • 8 Maret 1971, Ali kalah angka dari Joe Frazier di New York, dan harus menyerahkan gelarnya.
  • 30 Oktober 1974: Rumble in the Jungle. Ali merebut kembali gelar juara kelas berat WBC dan WBA setelah menumbangkan George Foreman di Kinsasha, Zaire pada ronde ke 8.
  • 1 Oktober 1975: Thrilla in Manila. Presiden Ferdinand Marcos memboyong pertandingan Ali vs Fraizer III ke kota Manila, Filipina. Ali menang TKO ronde 14 dalam pertandingan yang sangat seru dan menegangkan, bahkan disebut sebagai salah satu "pertandingan tinju terbaik abad ini". Frazier yang kelelahan akhirnya menyerah dan tidak mau melanjutkan pertandingan pada istirahat menjelang ronde ke-15. Setelah itu, saat akan wawanc
    ara dengan televisi, Ali terjatuh karena kehabisan tenaga; setelah istirahat beberapa menit, wawancara bisa dilakukan, tapi Ali harus duduk di bangku karena sudah kehabisan tenaga.

Suasana shalat jenazah
15 September 1978: Ali mengalahkan Leon Spinks dengan angka 15 ronde di New Orleans. Ali mengukuhkan diri sebagai petinju pertama yang merebut gelar juara kelas berat sebanyak 3 kali.
  • 6 September 1979: Ali menyatakan mengundurkan diri dari tinju, dan gelar dinyatakan kosong.
  • 2 Oktober 1980: Ali kembali ke ring tinju, melawan bekas kawan latih tandingnya, Larry Holmes, yang telah menjadi juara dunia kelas berat dalam pertandingan yang diberi judul "The Last Hurrah". Dalam pertandingan yang berat sebelah, Ali tidak mampu berkutik, sedang Holmes tampak tidak tega 'menghabisi' Ali yang tak berdaya. Ali menyerah dan mengundurkan diri pada ronde 11, Holmes dinyatakan menang TKO.
  • Disebutkan, dalam laporan medis yang dilakukan di Mayo Clinic, Ali dinyatakan menderita gejala sindrom Parkinson seperti tangan yang gemetar, bicara yang mulai lamban, serta ada indikasi bahwa ada kerusakan pada selaput (membran) di otak Ali. Namun Don King merahasiakan hasil medis ini, dan pertandingan Ali vs Holmes tetap berlangsung.
  • Sebelum pertandingan melawan Larry Holmes ini, Dr. Ferdie Pacheco, dokter pribadi yang telah mendampingi Ali selama puluhan tahun, dengan terpaksa mengundurkan diri karena Ali tidak mau mendengarkan nasehatnya untuk menolak pertandingan melawan Holmes, dan lebih memilih bertanding melawan Holmes. Dalam salah satu buku biografi Ali, Pacheco mengemukakan bahwa selama latihan Ali sempat kencing darah akibat kerusakan ginjal terkena pukulan, ia juga mengemukakan bahwa Ali sudah memiliki gejala sindrom Parkinson sejak sebelum pertandingan ini.
  • Setelah pertandingan tersebut, dilakukan cek medis ulang, dan hasilnya menguatkan hasil sebelumnya.
  • Dua legenda tinju kelas berat, Mike Tyson dan Lennox Lewis,
    jadi pengusung peti jenazah Ali menuju tempat peristirahatan terakhirnya
  • 11Desember 1981, sekali lagi Ali yang sudah uzur, mencoba kembali ke dunia tinju melawan Trevor Berbick di Bahama dalam pertandingan yang diberi tajuk "Drama in Bahama". Dalam kondisi renta, Ali mampu tampil lebih bagus daripada saat melawan Holmes, walaupun akhirnya kalah angka 10 ronde. Setelah pertandingan ini, Ali benar-benar pensiun dari dunia tinju



Muhammad Ali ke Indonesia
Ali pertama kali menginjakkan kaki di bumi Indonesia pada tahun 1973. Pada 20 Oktober 1973, Ali 'menyiksa' lawannya, Rudie Lubbers, selama 12 ronde dalam pertandingan kelas berat tanpa gelar di Istora Senayan, Jakarta. Oleh publik dan pers Indonesia, pertandingan Ali vs Lubbers disebutkan sebagai pertandingan eksibisi, namun nyatanya ini adalah pertandingan resmi, walau tidak memperebutkan gelar.
Kesan pertama berkunjung ke negara ini pada tahun 1973 adalah "Sebuah negara yang unik, di mana penduduknya sangat bersahabat, dan selalu tersenyum kepada siapapun."

Setelah beberapa kali kunjungan ke negara ini, Ali yang sudah pensiun dari dunia tinju terakhir menginjakkan kaki di bumi Indonesia pada 23 Oktober 1996, dan sempat bertemu pejabat tinggi negeri ini.

Keluarga
  • Istri pertama: Sonji Roi (menikah tanggal 14 Agustus 1964, namun cerai pada 10 januari 1966 karena Ali menganggap Roi tidak berpakaian Islami).
  • Istri kedua: Belinda Boyd (menjadi Khalilah Ali setelah menikah), menikah pada 17 August 1967. Mereka memiliki 3 anak, Jamilah dan Rasheda (putri kembar) dan Muhammad Ali, Jr. Ali dan Belinda akhirnya bercerai karena Belinda mendapati Ali berselingkuh dengan Veronica Porche Anderson. Dalam film dokumenter Ali ("When We Were Kings") ditunjukkan Belinda 'melabrak' Ali di arena, menjelang pertandingan Ali vs Foreman di Zaire,1975. Pada tahun 1977, Ali dan Belinda resmi bercerai.
Isteri-isteri dan anak Muhammad Ali

  • Pada tahun 1977 pula, Ali menikah dengan Veronica Porche Anderson (lebih dikenal sebagai Veronica Ali), dan memiliki dua putri Hanna dan Laila Ali. Laila Ali sendiri kelak memutuskan jadi petinju wanita, dan kelak menjadi juara dunia tinju wanita. Ali dan Veronica tetap menjadi pasutri sampai sekarang.
  • Masalah kesehatan dan kematian
  • Pada 20 Desember 2014, Ali dirawat di rumah sakit karena terkena pneumonia ringan. Ali kembali dirawat di rumah sakit pada 15 Januari 2015 karena mengalami infeksi saluran kemih, namun keesokan harinya Ali sudah keluar dari rumah sakit.
  • Pada 2 Juni 2016, Ali kembali dirawat di rumah sakit karena masalah pernapasan. Saat itu kondisi kesehatannya masih stabil. Hari berikutnya, kondisi Ali memburuk.Kondisinya tidak kunjung membaik, dan pada 3 Juni 2016 Ali meninggal dunia di usia 74 tahun.

Dari berbagai sumber

Frazier dan Kisah Kebencian Tragis pada Muhammad Ali

Vetriciawizach Simbolon, CNN Indonesia 
"Duduklah, nak, ini semua sudah berakhir," ujar Eddie Futch kepada petinju  didikannya, Joe Frazier. "Tak akan ada yang melupakan yang engkau lakukan hari ini."
Ilustrasi Joe Frazier, sang petinju yang membuat
Muhammad Ali menatap maut. (CNN Indonesia/Fajrian)
Kala itu menjelang ronde ke-15, Frazier berusaha untuk bangkit dan meneruskan pertarungannya dengan Muhammad Ali. Mata kirinya tak bisa lagi melihat, sementara mata kanannya lebam dan bengkak terkena pukulan "Sang Terhebat."

Sudah tak terhitung berapa kali kepalan tangan Ali mendarat di tubuh Frazier dalam pertarungan paling brutal sepanjang massa yang berlangsung di Manila tersebut. Ketika Futch menghentikan laga itu seusai ronde ke-14, keduanya harus dibawa ke rumah sakit dan Frazier tak boleh lagi bertinju selama 10 bulan selanjutnya.


"Hentikan saja ini semua," ujar Ali kepada pelatihnya sendiri dengan pandangan nanar, hanya beberapa saat
Ali vs Fraizer Jilid III, Manila 1975 "Thrilla in Manila"
sebelum Futch memotong tali sarung tinju Frazier dan menghentikan penderitaan keduanya. Nanti, di kemudian hari, Ali mengaku bahwa saat-saat itulah kala ia pertama kalinya merasa demikian dekat dengan maut.

Tapi ancaman kematian tak bisa menghentikan langkah Frazier. Dengan tubuh yang remuk redam dan mata yang nyaris tak bisa melihat, ia malah meronta dan meminta pada Futch agar ia diizinkan untuk terus menghadapi Ali.

"Eddie, tolong, biarkan saya melanjutkan ini. Jangan hentikan pertarungan ini."
Hanya kata-kata Futch yang mampu menghentikan keinginan kuat Frazier untuk menantang Ali hingga ke batas maksimum. 

"Duduklah, nak, ini semua sudah berakhir. Tak akan ada yang melupakan yang engkau lakukan hari ini."

Ali Bukanlah Ali

Sepanjang kariernya, Frazier memang tak kenal rasa takut terhadap pukulan lawan. Berbeda dari Ali, ia bukan petinju yang lincah dan atletis. Semenjak usia muda, ia pun hanya mengandalkan satu mata, setelah mata kirinya terkena pecahan besi ketika berlatih tinju.

Mau tak mau Frazier harus mengorbankan tubuhnya demi menyarangkan kepalan tangan di rahang lawan. Menerima pukulan adalah satu kewajiban yang harus dipikul sebelum ia bisa menyarangkan pukulan. Dan gaya bertinju seperti itulah yang membawa Frazier mampu keluar dari kemiskinan di Carolina Selatan dengan hanya bertinju dari ring ke ring.

Namun apa yang dipunyai Frazier justru tak dimiliki Ali dalam masa awal-awal kariernya.
Ali, yang selincah kupu-kupu itu, justru dikritik karena terlalu takut untuk dipukul lawan. Dengan langkah-langkah kecil kakinya, Ali pandai mengelak dan merunduk. Wajah cantiknya --sebagaimana ia biasa merujuk pada ketampanan parasnya-- jarang ia biarkan terluka karena pukulan lawan.

Ali tampaknya menyimpan keberanian total untuk saat-saat penting, ketika berbicara dalam panggung politik untuk membela kepercayaannya dan membela kaum kulit hitam.
Di luar ring, Ali memang tak mengenal perhitungan. Tanpa ragu ia menanggalkan gelar dan kejayaannya demi menolak perang Vietnam, satu tahun sebelum Martin Luther King mengumumkan kepada publik bahwa dirinya menentang perang.
Tapi, di atas ring, dalam trilogi pertarungan dengan Frazier lah Ali belajar untuk tanpa rasa takut menerima pukulan lawan.

Pertarungannya dengan Sony Liston memang melambungkan nama Ali di dalam dunia tinju. Tapi pertarungan dengan Liston bukanlah pertarungan legendaris. Liston yang dikalahkan Ali adalah Liston yang tua yang fisiknya sedikit kedodoran.

Sementara itu, pertarungan Ali dengan George Foreman di Zaire tak memiliki narasi sehebat pertarungannya dengan Frazier yang diwarnai kebencian lima tahun dan cemoohan-cemoohan yang menimbulkan luka emosional pada diri Frazier.

Mengutip salah seorang jurnalis olahraga David Halberstam, tanpa tiga pertarungannya dengan Joe Frazier, seorang Muhammad Ali bukanlah Ali. Karena bisa mengalahkan lawan seperti Frazier lah, Ali dikenal sebagai yang terkuat dan terhebat.

Bukan Paman Tom

Tak sulit untuk menerka apa yang menjadi alasan Frazier hingga ia demikian ingin mengandaskan Ali di atas kanvas ring tinju. Cemoohan dan ejekan yang dikeluarkan Ali bukan hanya mengandaskan harga dirinya namun juga membuat Frazier secara tragis ditolak kaumnya sendiri.

Ali mengejek Frazier sebagai orang yang buruk rupa, berhidung pesek, dan menyamakan cara Frazier berbicara dengan seekor gorilla.

"Joe Frazier terlalu buruk rupa untuk menjadi seorang juara. Ia tak bisa bicara. Ia tak bisa berdansa. Ia tak bergerak lincah, dan ia tak menulis puisi," kata Ali.
Ali juga menyebut Frazier sebagai paman Tom dan mengatakan bahwa sang musuh bebuyutan adalah petinjunya kaum kulit putih yang memiliki kedekatan dengan politikus yang menindas kaum kulit hitam.
"Ia bekerja untuk musuh," kata Ali.
Padahal sebenarnya Frazier bukanlah paman Tom, atau memiliki afiliasi politik tertentu. Ketika Ali dilarang untuk bertinju, adalah Frazier yang mendatangi presiden Nixon untuk meminta agar Ali diizinkan bertinju kembali.

Frazier adalah anak dari seorang buruh perkebunan di Carolina selatan. Ia memiliki akar yang lebih dekat dengan perbudakan ketimbang Ali, dan dalam setiap langkah hidupnya menanggung lebih banyak kesukaran hanya karena ia berkulit hitam.

"Saya tahu takdir saya karena saya dilahirkan ke dalam kebencian dan bigotry. Saya datang dari Carolina selatan, dan kehidupan di sana lebih keras ketimbang Georgia, Alabama dan Mississipi," kata Frazier.
Yang dimiliki oleh petinju yang dijuluki Smokin' Joe ini hanyalah keinginan kuat dan keberanian untuk membayar tiket keluar dari kemiskinan dengan tubuh dan kepalan tinjunya.

Tak seperti Ali dan Foreman yang pandai berbicara dan memasarkan diri mereka sebagai petinju, Frazier tak diberkahi kemampuan sama. Ia memang tak pandai berpuisi atau membuat lelucon di depan kamera.
Maka, satu-satunya cara untuk membalas seluruh ejekan Ali adalah dengan kepalan tangannya. Hanya dalam keberanian menerima pukulanlah ia bisa setara dengan Ali dan bertarung dalam permainan yang sama.
Bukan di depan televisi atau dihadapan pengeras suara

Dibawa Hingga Mati

Namun, pada akhirnya kata-kata Ali tak pernah hilang dari ingatan Frazier. Hingga masa tuanya, ia selalu menyombongkan kemampuannya untuk membuat Ali menggeratakan gigi sebagai suatu simbol kehormatan.
"Saya ingin bertarung dengan si pecundang itu lagi, memukuli dia, dan mengirimkan ia kembali kepada Tuhan," tulis Frazier dalam buku otobiografinya. Ketika Ali terpilih menjadi pembawa obor Olimpiade, Frazier pun berkata bahwa Ali seharusnya didorong ke dalam api itu sendiri.

Salah satu gambaran paling tragis atas kebencian yang dibawa oleh Frazier mungkin tergambar dalam film dokumenter bertajuk Facing Ali.
Dalam film itu, salah seorang saudara Frazier dengan sengaja menghubungi telepon genggamnya untuk memperdengarkan rekaman suara Frazier yang berpuisi bagi orang yang menelepon.

"My name is smokin Joe Frazier
Sharp as a razor,
Yeah, floats like a butterfly,
Stings like a bee,
I'm the man who done the job
He knows, look, and see."

Satu bentuk gubahan dari puisi paling terkenal milik Muhammad Ali.

Ya, luka emosional yang diberikan Ali tampaknya tak bisa membuat Frazier mengerti, bahwa, meminjam kata-kata David Halberstam, dalam kekalahan pun orang-orang tetap memberikannya penghormatan setinggi Ali.

Bahwa hanya petinju terbaiklah yang mampu memaksa Ali mengeluarkan permainan terbaiknya.
Di Manila, Eddie Futch mungkin menghentikan Frazier mengantarkan nyawanya kepada Ali, namun Frazier tak pernah benar-benar mendengar ucapannya.

"Duduklah, nak, ini semua sudah berakhir. Tak akan ada yang melupakan yang engkau lakukan hari ini."(vws)


Senin, 12/01/2015 21:54 WIB
http://www.cnnindonesia.com/olahraga/20150112210414-178-24133/frazier-dan-kisah-kebencian-tragis-pada-muhammad-ali/