Tuesday 31 May 2016

Efektivitas UU No. 23 tahun 2004 Tentang Tindak Pidana KDRT di Masyarakat Lombok - NTB (pendekatan sosiologi hukum)

Oleh: Arya Sosman




Pandangan masyarakat terhadap kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga diangap sebagai urusan internal rumah tangga sehingga tidak perlu diketahui oleh umum, pandangan ini kemudian membawa implikasi pada keberlakuan hukum positif, artinya kasus-kasus kekerasan rumah tangga jarang terdengar di pengadilan. Kekerasan tersebut berupa penyiksaan baik berbentuk phisik maupun mental yang dilakukan oleh Suami terhadap isteri atau sebaliknya, kekerasan oleh Orang Tua terhadap anak di bawah umur, atau bisa juga kekerasan yang dilakukan oleh anak yang sudah dewasa terhadap orang tuanya. Akan tetapi yang paling dominan adalah kekerasan dari suami terhadap Isteri atau orang Tua terhadap anak di bawah umur sehingga Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, selanjutnya disebut UU No. 23/2004 Tentang KDRT, hanya mengatur perlindungan terhadap Isteri dan anak atau pihak lain di dalam rumah tangga.

Bagi masyarakat di Lombok, kekerasan dalam batas-batas tertentu yang terjadi dalam urusan rumah tangga terhadap kaum perempuan dapat ditoleransi. Batasan yang dimaksud adalah misalnya kekerasan psykolois akibat ditinggal pacaran, dimadu, dan lain­-lain. Demikian juga kekerasan yang bersifat fisik yang tidak meninggalkan luka parah dan bersifat insidensil dan individual. Berbeda halnya kalau kekerasan itu sampai meninggalkan luka, apalagi luka parah, biasanya masyarakat yang diwakili oleh tokoh­tokoh setempat, yang umumnya berasal dari keluarga yang dituakan, akan melakukan pendekatan-pendekatan persuasif, jika yang melakukan kekerasan itu suami yang masih berusia muda biasanya akan dinasehati atau dimarahin. Tetapi jika yang melakukan kekerasan itu suami-suami yang sudah berusia tua, yang sudah tidak memiliki orang tua, biasanya hanya mendapat nasehat dari orang terdekatnya, dan jika nasehat itu tidak di dengar akan mendapat sanksi sosial berupa celaan dan sebagainya. 


Masyarakat Lombok tidak mengenal hukum pidana adat, kalaupun ada saat ini sudah menjadi kenangan sejarah. Karena itu masyarakat Lombok sepenuhnya tunduk pada hukum yang dibuat pemerintah (hukum negara). Karena itu kasus-kasus yang mengandung unsur pidana umumnya langsung menjadi urusan pemerintah (penegak hukum). Akan tetapi dalam konteks rumah tangga di Lombok kekerasan rumah tangga belum tentu dapat dijangkau oleh hukum positif. Sebab kekerasan rumah tangga masih dianggap sebagai urusan internal keluarga, kecuali kekerasan itu menimbulkan daya penderitaan yang dahsyat.


Bagi kaum perempuan (isteri) di Lombok, terutama perempuan tradisional, umumnya hanya menerima jika diperlakukan buruk/kasar oleh suaminya. mereka sering pasrah dan menghubungkannya dengan “nasib”, sehingga biasanya muncul kata-kata sabar, namun pada umumnya seorang isteri akan meminta cerai jika sudah menganggap sikap suaminya berlebihan, sudah di batas ambang kesabaran dan ambang toleransi. hanya saja sang isteri tidak akan melakukan langkah-langkah hukum.  pada umumnya mereka hanya bisa mengadu ke keluarga, kerabat, teman dan sebagainya. Hukum bagi mereka hanyalah fatamorgana, ilusi dan elitis sehingga bagi mereka hukum itu eksklusif – tidak ingklusif. Dengan latar belakang itulah kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak pernah diadukan ke Polisi. 

Berbeda halnya dengan kekerasan rumah tangga yang terjadi di masyarakat modern atau perkotaan, masyarakatnya lebih heterogin, lebih berpendidikan dan lebih mobile (aktif) dan terbuka, dengan sendirinya berbeda cara menyikapi persoalan KDRT dibanding dengan masyarakat yang tinggal di perdesaan. Dengan tipologi yang demikian maka pemahaman serta apresiasinya terhadap hukum positif juga berbeda dengan masyarakat di perdesaan. Masyarakat kota juga mengalami akulturasi sehingga ketaatannya terhadap nilai-nilai tradisional (adat) menjadi berkurang. Itulah sebabnya kasus-kasus KDRT yang terjadi di masyarakat perkotaan lebih mudah terpublikasi secara luas sehingga lembaga pengadilan lebih mudah diingat sebagai tempat penyelesaiannya

Fenomena kekerasan rumah tangga nampaknya tidak lagi dapat dilingkari di ranah adat dan pribadi akan tetapi telah menjadi fenomena sosial secara nasional. Menurut penulis, hal ini terjadi karena: (1) jenis kekerasan rumah tangga beraneka ragam jenis dan bentuknya. (2) efek dari kemajuan teknologi informasi, (3) akibat semakin tingginya tingkat pengenalan dan pengetahuan masyarakat terhadap hukum, 4) akibat makin kuatnya perhatian dunia internasional terhadap masalah ini, dan ke (5) semakin banyaknya kaum perempuan yang terdidik yang kemudian berpengaruh terhadap kemampuannya mengekspresikan hak-hak kemanusiaannya.

Oleh karena persoalan kdrt ini telah menjadi fenomena sosial secara nasional maka pemerintah dan DPR merasa perlu membuat peraturan dalam bentuk undang-udang, dalam hal ini  Undang-undang No. 23 tahun 2004 Tentang Tindak  Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)



Efektivitas UU No. 23 tahun 2004 di Masyarakat Lombok - NTB

a. Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga 

Secara rumum pengertian kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan yang bersifat fisik maupun non fisik (verbal), pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memberikan rumusan pada pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan (istri), adalah sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga)2 

Tidak jauh dari itu Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang KDRT memberikan definisi sebagai “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” (Pasal 1 angka 1). 

Lebih jauh Undang-undang KDRT memberikan rincian pada Pasal 2, bahwa yang termasuk cakupan rumah tangga adalah, sebagai berikut: 

Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua,menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan (Ps 2 (2)). 

Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terutama digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka. Hal ini sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri di mana suami adalah pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya, dan hal ini tidak terjadi sebaliknya. 


Maggi Humm mempertajamnya dengan memberikan lima unsur akan adanya indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu: 

  1. Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau perbuatan, atau ancaman pada nyawa. 
  2. Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat pengabaian dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan 
  3. Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dan lain-lain
  4. Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan.
  5. Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga. 

Dari pengertian-pengertian tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa definisi kekerasan dalam rumah tangga ternyata sangat luas bahkan tanpa kejelasan batasan (ukuran) apakah suatu perbuatan dapat diategorikan KDRT atau bukan dan pasal ini bisa menjadi “pasal karet”, yakni pasal yang bisa ditafsirkan menurut kebutuhan dan atau kepentingan aparat penegak hukum atau siapa saja yang ada di dalamnya. Bisa jadi seorang suami akan dipenjara hanya karena menepis anaknya padahal tujuannya untuk mendidik. 


b. Penyelesaian Kasus KDRT Pada Masyarakat Lombok 

Sebagaimana disebutkan pada bab pendahuluan, bahwa KDRT yang terjadi di masyarakat Lombok lebih dianggap sebagai persoalan pribadi dan urusan internal rumah tangga sehingga masyarakat sering mengabaikannya. Peristiwa KDRT lebih dianggap sebagai persoalan aib keluarga yang tidak pantas diketahui orang lain. Oleh karena itu penyelasaiannya juga secara diam-diam melalui keluarga terdekat, atau melalui mediasi tokoh masyarakat setempat. Jika kejadiannya berulang-ulang biasanya jalan keluarnya adalah “cerai”, bisa atas permintaan si isteri atau pernyataan keputusan si suami. 

Berbeda dengan KDRT terhadap anak kandung, yang melakukan kekerasan bukan hanya pihak ayah tetapi juga pihak ibu. Biasanya KDRT dilakukan karena keadaan luar biasa, misalnya si anak terlalu bandel (nakal) sulit diatur, atau karena faktor-faktor lainnya, yang tujuan sebenrnya adalah edukatif. arat juga terjadi karena faktor karakter orang tua yang tempramental, setres karena menghadapi persoalan berat, dan sebagainya.

Perlu juga diingat bahwa pengertian kekerasan yang dimaksud di sini bukanlah kekerasan sebagaimana dimaksud oleh Undang-undang, karena kekerasan dalam batas-batas tertentu bisa ditolerir oleh-oleh masyarakat setempat, misalnya menghukum anaknya dengan mengurangi jatah makan, atau memberikan pukulan yang tidak menimbulkan luka atau cacatnya bagi si anak, memarahi dengan cara keras dan sebagainya. Kalaupun pihak isteri melakukan pengaduan ke Polisi, biasanya tidak berlanjut ke pengadilan karena dianggap persoalan internal maka pengaduannya dicabut. Oleh karena KDRT bukan delik biasa tetapi merupakan delik aduan, maka pihak kepolisian (aparat penegak hukum) tidak mempunyai alasan hukum untuk melanjutkannya ke kejaksaan atau pengadilan. Dengan sifat dan jenis delik yang demikian akan turut berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan UU No. 23/2004. 


Bagi masyarakat desa, umumnya yang tinggal di pelosok-pelosok, takut kepada aparat penegak hukum, terutama polisi. Polisi bagi mereka merupakan Institusi yang menakutkan, sedangkan pengadilan adalah arena pertarungan bagi orang-orang pinter sekaligus pertarungan uang. Karena itu pengadilan bukanlah tempat yang layak untuk menyelesaikan masalah rumah tangga. Apalagi masyarakat sesungguhnya tidak terlalu percaya dengan lembaga hukum (polisi, jaksa dan pengadilan) sebab mereka menganggap polisi, jaksa dan pengadilan bisa di beli atau bisa ditundukkan oleh pengaruh aparatur pemerintah (Bupati, Camat dan pejabat-pejabat pemerintahan lainnya)


Citra eksklusif dan citra negatif lembaga pengadilan/aparat penegak hukum inilah yang menjadikan kaum perempuan enggan melaporkan kasusnya. Bukan karena mereka tidak mengerti tentang hukum, dalam batas-batas tertentu mereka memahami bahwa penyiksaan, pemukulan yang berlebihan terhadap anak dan sebagainya merupakan pelanggaran hukum. Mereka mengetahui bahwa perbuatan itu menjadikan mereka bisa di penjara. Pengetahuan tersebut didapatkan secara turun menurun sejak jaman Belanda. Jadi jauh sebelum lahirnya UU KDRT tahun 2004 mereka memahami adanya KUHP, walaupun mereka mungkin tidak mengetahui apa itu KUHP, tetapi secara sederhana mereka mengetahui ada hukum dari negara yang melarang perampokan, pencurian, penipuan, penyiksaan, dan sebagainya. 

Jadi Kehadiran UU KDRT bagi masyarakat di Lombok sebenarnya hanya bersifat mempertegas pengetahuan mereka tentang larangan adanya penyiksaan terhadap orang lain termasuk di dalamnya terhadap Isteri dan keluarganya. 
Dengan demikian dapat dismpulkan bahwa efektivitas Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang KDRT tidak berlaku maksimal. Maksudnya kehadiran UU KDRT tidak menjadikan kekerasan dalam rumah tangga hilang atau berkurang begitu saja, atau menjadikan isteri, anak dan keluarga lainnya memiliki kesadaran untuk melakukan pelaporan kepada aparat penegak hukum. UU KDRT hanya diketahui secara terbatas di kalangan terpendidik, baik yang di desa maupun yang tinggal di kota

Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya KDRT 

Ada banyak faktor yang bisa menimbulkan mengapa seseorang melakukan kekrasan dalam rumah tangga, khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Diana Ribka di Jakarta, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai berikut:


Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri, anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruki sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang­wenang terhadap istrinya. Jika sudah demikian halnya maka ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri akan selalu menjadi akar dari perilaku keras dalam rumah tangga. 

Ketergantungan ekonomi, faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya. 

Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik, faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya. 

Persaingan, jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang. 

Frustasi, Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang (a) Belum siap kawin (b). Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga, (c) Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua. Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya. 

Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum, Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami. 

Faktor penyebab yang digambarkan di atas merupakan hasil penelitian di masyarakat perkotaan, tepatnya di kota Jakarta. Oleh karena problema yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di perkotaan jauh lebih kompleks dibanding dengan masyarakat adat yang hidupnya di desa, maka penyebab terjadinya KDRT pada masyarakat yang tinggalnya di desa juga berbeda. 

Masyarakat desa lebih tunduk kepada alam, mereka satu sama lain sangat dekat secara emosional, mereka juga sangat komunal, taat kepada agama sekaligus taat terhadap adat istiadat. Karena itulah masyarakat adat lebih merasa nyaman hidupnya jika hidupnya telah selaras dengan alam semesta telah dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya secara normal. Sehari-harinya mereka bekerja di kebun/ladang/sawah. 
Problema yang timbul di sawah juga sangat sederhana, rutin dan periodik, misalnya masalah air, hama, dan sarana alat produksi (saprodi). Berbeda halnya dengan masyarakat perkotaan, mulai dari masalah sandang, pangan, papan, gesekan dan benturan kepentingan dengan rekan sekerja, godaan hidup yang konsumtif dan sebagainya. 

Derasnya informasi politik, ekonomi, hukum dan yang lainnya menjadikan hidup dijejali dengan suasana kompetisi yang keras. Atmosfir itu sangat mempengaruhi psikologi penduduknya. Sementara di desa suasana seperti itu tidak terjadi. Karena itu penyebab KDRT di kota-kota dengan masyarakat adat yang tinggal di desa tidak sama. Kalau di masyarakat adat penyebabnya lebih banyak disebabkan karena faktor ego laki-laki yang merasa superior dan berikutnya adalah karena faktor watak suami yang buruk. Seorang isteri yang kebetulan mendapatkan jodoh suami yang berwatak tempramental (gampang marah, ringan tangan dan sebagainya) tentu akan sangat gampang mendapatkan tekanan psykologis dan bahkan kekerasan dalam kehidupan rumah tangganya. Demikian juga dengan rumah tangga yang didiami laki-laki yang terlalu membanggakan superioritasnya terhadap isteri akan sulit bagi perempuan terhindar dari kemarahan, tekanan dan kekerasan. Tentu saja faktor-faktor ekonomi juga turut menyumbang.



Kesimpulan 

Dari bahasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa:

Efektifitas keberlakuan UU No. 23/2004 Tentang KDRT tidak dapat berjalan secara efektif dalam arti keberlakuan undang-undang tersebut tidak menjangkau kesadaran masyarakat untuk berhenti melakukan KDRT, karena persoalan KDRT dianggap sebagai urusan internal rumah tangga yang tidak terlalu penting diurus, kecuali jika kekerasan itu mengakibatkan luka yang parah.

Referensi
  • Deklarasi PBB Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Kepada Perempuan, Washington DC, 2000
  • Istiadah, “Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam”, Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan PSP. 
  • Maggi Humm, London: Harvester Wheatsheaf, 1989, h.23 (mengutip dari Novian Djafri, “Tinjauan Pendidikan Sosial dan Hukum Terhadap KDRT”, Jurnal Inovasi, Vol.5, No.4, Desember 2008) 
  • Novian Djafri, “Tinjauan Pendidikan Sosial dan Hukum Terhadap KDRT”, Jurnal Inovasi, Vol.5, No.4, Desember 2008.

Monday 30 May 2016

Pokok-Pokok Pikiran Tentang Perlu Tidaknya Menghidupkan GBHN

oleh: Arya Sosman 
Wacana untuk menghidupkan kembali GBHN belakangan ini semakin santer dibicarakan di kalangan intelektual. Pro dan kontrapun bermunculan. Yang pro berargumentasi bahwa pembangunan di Indonesia dari periode ke periode tidak berkesinambungan, masing-masing Presiden akan mengawali dengan program baru sehingga tidak ada kejelasan kearah mana tujuan bangsa ini dibawa. Sementara yang tidak setuju berargumentasi bahwa GBHN sebenarnya telah ada sejak zaman rezim Soekarno, dengan nama “Pembangunan Semesta Berencana”, di zaman rezim Soeharto dinamakan GBHN, sedangkan di era reformasi namanya Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang kesemuanya hampir sama tujuannya untuk kemajuan bangsa serta kesejahteraan yang berkeadilan bagi rakyat.  bedanya hanya  bentuk, nama dan pelakunya.
Pertanyaannya adalah :
Apakah dengan dihidupkannya GBHN akan menjamin negara semakin maju, rakyat semakin makmur, sentausa dan sejahtera?



1. Konsep Pembangunan Era 1945 - 1965


Pembangunan adalah sebuah proses yang tiada henti merubah keadaan yang tidak baik ke arah yang lebih baik, dari yang tidak sejahtera menjadi sejahtera, dari yang tidak bahagia menjadi bahagia dan seterusnya. Negara Indonesia telah memulai proses pembangunannya sejak tahun 1945 (pasca kemerdekaan) namun waktu itu belum ada (belum sempat) membuat konsep pembangunan yang sistematis dan terrencana dikarenakan situasi politik dan keamanan yang belum stabil. Baru kemudian pada tahun 1959, pasca dekrit Presiden 59, perencanaan pembangunan secara menyeluruh dan sistematis dimunculkan. Adalah Presiden Soekarno dalam Pidato tahunannya tahun 1959 menggagas “Pembangunan Nasional Semesta Berencana” yang kemudian ditetapkan dengan TAP MPRS Nomor II/MPRS/ 1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 1961-1969.
Namun konsep pembangunan ini tidak sempat dilaksanakan karena situasi politik yang tidak kondusif, seperti munculnya peristiwa Trikora, kemudian Dwikora, dan akhirnya pemberontakan G30S/PKI dan disusul kemudian dengan kejatuhan Presiden Soekarno pada tahun 1967, kemudian digantikan dengan Presiden Soeharto yang berkuasa hingga tahun 1998.

Salah satu ciri atau roh dari system ekonomi PNSB ini adalah sifat “Terpimpin”nya, yang dalam Pemerintahan Soekarno terkenal dengan Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin sebagai antitesa dari ekonomi liberal saat itu. Karena itu boleh dibilang paradigmanya adalah top down bukan bottom up, kemudian dikendalikan secara otoriter dan sebagainya. Konon PDI-P sedang melakukan pengkajian yang serius untuk menghidupkan kembali konsep PNSB ini.

2. Konsep Pembangunan Era Orde Baru (1967-1998)

Di era pemerintahan Orde Baru, Soeharto ternyata mengadopsi pola PNSB, namun dengan melakukan banyak modifikasi, misalnya tidak ada lagi istilah “terpimpin” kemudian namanya menjadi garis – garis besar haluan negara, yang lebih dikenal dengan nama GBHN. GBHN merencanakan pembangunan Nasional secara bertahap, perlima tahunan hingga 25 tahun kedepan, sehingga dulu muncul istilah Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (25 tahun I) PJPT I dan Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (25 tahun II) PJPT II. Untuk PJPT II belum dapat dilaksanakan sepenuhnya akibat pergantian rezim di tahun 1998. Walau demikian tetap saja dalam pengelolaannya menggunakan cara-cara terpimpin - otoriter dengan segala konsekwensinya.

Mekanisme untuk pembuatan konsep GBHN adalah : Konsepnya dibuat oleh Lemhannas dengan melibatkan para pakar, kemudian diserahkan ke MPR untuk dibahas dan ditetapkan dalam TAP MPR dan selanjutnya diserahkan ke Presiden untuk dijabarkan ke dalam REPELITA.

Dalam prakteknya pembahasan di MPR bersifat formalistis dan untuk kepentingan legitimasi. GBHN disusun secara metode top down sehingga saat itu banyak rakyat merasa berbeda apa yang diterima dengan apa yang diharapkan.


Sisi Negatif Pelaksanaan Konsep GBHN
Beberapa kelemahan GBHN adalah :
  • Secara moral Presiden tidak memiliki kaitan batin dan intelektual yang kuat dengan GBHN karena tidak ikut merumuskannya. Presiden hanya diperintah oleh MPR untuk melaksanakan GBHN yang belum tentu dia pahami sepenuhnya bahkan bisa jadi berbeda dari cita cita besar Presiden.
  • GBHN dibuat secara top down sehingga rakyat hanya berposisi sebagai “obyek” pembangunan karena tidak dilibatkan sebagai subyek maka konsekwensinya adalah rakyat tidak memiliki tanggungjawab moral terhadap program pembangunan, walaupun pembangunan itu untuk kepentingan mereka. Misalanya rendahnya tanggung jawab rakyat terhadap sarana publik. 
  • Dari sisi implementasi, pengalaman 32 tahun diterapkan, walaupun pembangunan berjalan lancar (karena faktor otoriterisme) namun yang dialami oleh rakyat adalah ketidakadilan, akibat pembangunan yang tidak merata. misalnya di era Soeharto Pembangunan hanya tumbuh di perkotaan, terutama Jakarta sedangkan di daerah-daerah seperti NTB, NTT hingga Papua sama sekali tidak mengalami nasib yang sama dengan saudara saudara mereka yang ada di Jakarta dan beberapa tempat di Jawa – Sumatera dan Bali. Keadilan itupun juga berlaku di bidang lainnya, seperti hukum, politik, dan lain-lain termasuk perilaku korup para birokrat yang merajalela di zaman Soeharto jarang terpublikasikan sehingga masyarakat jarang mengetahui adanya pejabat yang korupsi. Ketidakadilan inilah yang kemudian menjadi alasan utama reformasi di tahun 1998.

Sisi Positif GBHN

Pelaksanaannya walaupun ada unsur otoriternya namun semua program pembangunan dapat berjalan lancar, karena rakyat tidak mungkin mengkritisi pemerintah di depan publik – tidak sebagaimana sekarang. Namun para penyelenggara negara baik di tingkat Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dan seterusnya, akan merasa nyaman dan tenang dalam menjalankan program pembangunan karena dijamin oleh stabilitas politik, sosial dan keamanan. GBHN juga disosialisasikan secara masiv oleh pemerintah sehingga rata-rata rakyat memiliki pengetahuan tentang konsep GBHN saat itu, apalagi materi GBHN juga masuk dalam Penataran P4.

Perlu diingat bahwa GBHN berjalan lancar selama 32 tahun karena dijalankan oleh Presiden yang sama, yakni Presiden Suharto, sangat berbeda dengan sekarang sejak reformasi 1998 Bangsa ini telah mengalami pergantian Presiden sebanyak 5 kali (BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarno Putri, Susilo Bambang Yudoyono dan Joko Widodo)

3. Konsep Pembangunan Era Reformasi

Era reformasi merupakan antitesa dari Orde Baru, sama juga halnya dengan Orde Baru merupakan antitesa dari Orde Lama. Mungkin kelak akan muncul antitesa reformasi. Namun kita tidak berharap demikian, yang kita harapkan adalah munculnya synthesa tiga zaman itu, yang berusaha mengambil yang baik dan membuang yang buruk dari ketiganya. Bahkan sebenarnya kalau mau dibuat “era reformasi” merupakan synthesa dari Orde Lama dan Orde Baru, sehingga tidak perlu ada dikotomi diantara ketiganya.

Konsep “pembangunan yang berlanjut” sebenarnya dipertahankan di era reformasi namun dengan nama dan bentuk yang berbeda. Jika di era Orde Lama namnya PNSB yang kemudian ditetapkan oleh MPRS, sedangkan di era Orde Baru namanya GBHN yang juga berikan stampel Ketetapan MPR, sedangkan di Era Reformasi kewenangan MPR dicabut kemudian digantikan oleh kewenangan Presiden bersama-sama dengan DPR menyusun konsep Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang kemudian diwadahi dengan Undang-undang, dalam hal ini UU No 25 /2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Di dalam UU ini juga memuat konsep pembangunan Jangka Pendek menengah dan Panjang (RPJM - RPJP).


Sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 UU 25/2004, disebutkan bahwa:
  • RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan Nasional.
  • RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan Nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.Kosep RPJM/RPJP dilaksanakan dalam suasana demokratis. Ini yang membedakannya dengan GBHN maupun dg PNSB. Selain itu program kerja pembangunan dilaksanakan dengan pendekatan bottom up berbeda dengan pendekatan GBHN maupun PNSB yang top down.

Sisi Negatif Pelaksanaan RPJP


  1. Kurang sosialisasi sehingga rakyat tidak terlalu mengetahui program utama pemerintah
  2. Rawan terjadinya program titipan dari tim sukses atau kelompok2 pendukung
  3. Banyak program yang terhambat/terlambat direalisasikan. Akibat terlalu bebasnya partisipasi politik dalam pembangunan[1] realisasi juga dapat terhambat karena ada perasaan ragu dan bahkan takut melanggar hukum yang berujung ke penjara. 
  4. Titik tekan program pembangunan per-lima tahunan dapat berbeda-beda setiap pergantian kepemimpinan (Prersiden, Gubernur dst), berbeda dengan GBHN[2] sehingga muncul kesan terjadi diskontinyuitas pembangunan atau bahkan tuduhan bahwa ganti presiden ganti program baru.
4. Dampak menghidupkan kembali GBHN
  • Adanya ide untuk menghidupkan kembali GBHN akan memerlukan situasi dan kondisi yang cukup kondusif secara politik, dalam arti seluruh tokoh-tokoh bangsa lintas partai, lintas agama dst. harus duduk bersama-sama membuat kesepakatan dan kesepahaman terhadap perubahan pasal 3 UUD 1945, karena konsekwensinya adalah wajib melakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945 yang menyangkut pasal kewenangan MPR. 
  • Oleh karena yang membuat GBHN adalah MPR sedangkan Presiden sebagai pelaksananya (Presiden selaku mandataris MPR) maka secara teoritis Presiden mempertanggungjawabkan pelaksanaan GBHN 5 tahun sekali kepada MPR juga. Ini berarti mengembalikan system semi (quasi) parlementer, artinya harus dilakukan penambahan pasal dalam UUD 1945 tentang pertangungjawaban Presiden. Ini akan menjadi janggal jika Presiden bertanggungjawab kepada MPR untuk pembangunannya sedangkan secara politik bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya. Lalu problemnya bagaiman menyinkronkan system pemerintahan yang presidensial disatu sisi dan parlementer di sisi lain.
  • Orang dapat berasumsi bahwa dengan menghidukan kembali GBHN dianggap atau dicurigai sebagai pintu masuk untuk memberlakukan kembali UUD 1945 versi Orde Baru.
  • Dengan ketiga problem tersebut di atas akan menyebabkan pikiran serta energi bangsa ini akan terkuras lagi untuk jangka waktu yang relatif panjang dan akhirnya kita mengulang ulang kembali berjalan dari awal (start) dan tidak pernah sampai di akhir (finish) perjalanan.

5. Kesimpulan

  • Untuk menghidupkan kembali GBHN bukanlah pekerjaan yang ringan tetapi kita masih memerlukan pemikiran yang mendalam.
  • Ide perlu tidak diberlakukannya GBHN kembali menurut penulis tidak terlalu urgen, sebab tidak ada jaminan dengan GBHN rakyar mengalami kesejahteraan yang merata atau juga tidak ada jaminan negara ini akan mengalami lompatan atau akselerasi kemajuan di segala bidang.
  • Yang panting bagi penulis adalah para penyelenggara negara di seluruh tingkatan dan seluruh sector harus memiliki kesadaran kolektif dan komitmen kolektif (bukan individual) untuk sama-sama membangun bangsa dan negara ini, sehingga perilaku menyimpang para pelaku pembangunan akan dapat diminimalisir.

Kebanyakan Tertawa 5 Orang Ini Sampai Akhirnya Tewas


Tertawa itu tanda bahagia dan senang, bahkan juga bisa menyehatkan. Tapi jangan sampai terlalu banyak ketawa atau kamu malah mati dibuatnya. Gara-garanya, ketawa terlalu keras malah bisa membuat pembuluh darah di otak pecah, gagal jantung, paru-paru berhenti, kejang, stroke, juga sesak napas. Kalau sudah seperti itu, ketawa bukan lagi hal yang menyenangkan jika seseorang sampai tewas karenanya. Sudah ada beberapa orang yang tercatat meninggal seketika gara-gara ketawa berlebihan. Berikut ini beberapa diantaranya.


1. Pria yang tertawa dalam tidur sampai tewas 

Pada tahun 2003, seorang pengemudi es krim di Thailand tiba-tiba tertawa saat tidur. Celakanya, pria berusia 52 tahun tersebut nggak bisa menghentikan tawanya selama 2 menit. Istrinya terus berusaha membangunkannya, tapi ia nggak bisa bangun dan terus saja tertawa. Akhirnya, pria tersebut langsung meninggal seketika dalam tidurnya. Hasil otopsi menunjukkan bahwa ia terkena serangan jantung. gara-garanya ya ia tertawa terlalu lama dan tak bisa mengontrolnya dan berakhir pada kematian.


2. Tertawa sampai tewas gara-gara nonton film komedi

Alex Mitchell adalah seorang tukang bangunan asal Inggris yang suka nonton acara humor. Pada tahun 1975, ia nonton Kung Fu Kapers episode The Goodies. Melihat kelucuan film tersebut, ia tertawa terbahak-bahak sampai setengah jam lamanya. Pada akhirnya, pria tersebut juga tewas karena tawanya yang nggak bisa berhenti. Istrinya, Nessie, kemudian menulis surat kepada stasiun televisi tersebut terutama untuk acara The Goodies. Inti suratnya adalah bahwa ia berterimakasih karena sudah membuat momen terakhir hidup suaminya begitu menyenangkan.

3. Pria yang tertawa keras gara-gara adegan film

Pada tahun 1988, ada sebuah film komedi berjudul A Fish Called Wanda. Dalam sebuah adegan, aktor Michael Palin tidak sengaja memasukkan kentang goreng ke dalam hidungnya. Pada tahun 1989, seorang pria Belanda bernama Ole Bentzen menonton film tersebut. Menurutnya adegan kentang masuk hidung itu benar-benar lucu hingga ia ketawa tanpa henti. Celakanya, ia ketawa sampai detak jantungnya meninggkat hingga 250-500 detakan per menit. Akibatnya ia langsung terkena serangan jantung dan langsung tewas

4. Tertawa gara-gara lihat pemain opera waria

Foto wanita era Victoria tertawa keras
Pada tahun 1782, seorang janda bernama nyonya Fitzherbert menonton opera berjudul The Beggar’s Opera bersama teman-temannya. Salah seorang aktor bernama Bannister kemudian masuk berdandan sebagai wanita dengan naman Polly sehingga para penonton kemudian tertawa terbahak-bahak.
Ketika penonton lain sudah berhenti tertawa, ternyata nyonya Fitzherbert nggak bisa menghentikan tawanya. Ia bahkan terpaksa keluar dari gedung opera sebelum drama berakhir. Karena tetap tak bisa menghentikan tawanya, kabarnya ia mengalami histeria hingga akhirnya tewas beberapa hari kemudian.

5. Raja yang kebanyakan makan dan ketawa

Suatu ketika pada tahun 1410, raja Martin sedang menikmati makan malam yang sangat besar di ruangannya. Ia bahkan menghabiskan satu ekor angsa sendirian dengan ditemani badut istana favoritnya, Borra. Raja bertanya kepada Borra, ia ke mana saja. Ternyata, jawaban Borra baginya begitu lucu sampai ia tertawa terbahak bahak. Karena tawanya yang tak bisa berhenti bersama dengan kebanyakan makan, pria tersebut akhirnya meninggal dunia.






Saturday 14 May 2016

Amerika Mengembangkan Baju BajaTentara Super

Baju Perang Talos


Angkatan bersenjata Amerika Serikat dikabarkan sedang mengembangkan baju baja revolusioner untuk tentaranya agar memiliki ketahanan super. Proyek ini bernama Tactical Assault Light Operator Suit (TALOS), yang akan menjadi baju perang tentara AS. Dengan TALOS ini memungkinkan para tentara AS mampu membawa beban yang jauh lebih berat dan tentu saja kebal terhadap peluru. Sahabat anehdidunia.com bagi US Army, pembuatan TALOS ini sebagai upaya untuk menciptakan pasukan dengan perlengkapan seperti Iron Man. Tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan kemampuan dengan mobilitas tinggi serta perlindungan terhadap personal masing-masing tentara.

TALOS ini juga dilengkapi dengan sistem komputerisasi seperti yang ada di film Iron Man yang berguna untuk pengawasan dan pendeteksian kondisi tubuh para tentara maupun kondisi lingkungan dimana tentara berada. BBC melansir, baju perang baja ini adalah kolaborasi antara industri teknologi, pusat penelitian pemerintah, dan para akademisi. Kepala Komando Operasi Khusus AS (USSOCOM), William McRaven, telah meminta kepada perusahaan senjata, akademisi dan para pengusaha untuk bekerjasama membuat baju perang TALOS ini.

Thursday 12 May 2016

Kapan Umat Islam Muak Berperang?

(Berkaca pada Perang Unta dan Perang Siffin)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Red: Maman Sudiaman
Jika kita mau bersikap jujur terhadap Islam sebagai agama langit yang terakhir yang ingin menebarkan salam (kesegaran, perdamaian, keamanan, kesehatan) dan rahma (rahmat, belas asih, keharuan, simpati, kebaikan), maka apa yang berlaku di bagian-bagian bumi Muslim dari dulu sampai sekarang adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur itu semua. Pertumpahan darah antara sesama Muslim justru terjadi di era awal, saat tanah makam nabi mungkin belum berubah warna. Khalifah Utsman bin Affan dibunuh pada 17 Juni 656 M setelah komplotan Muslim dari Kufah dan Mesir memulai perlawanan.

Tragedi ini seluruhnya bertalian dengan masalah kekuasaan dan harta rampasan perang, sedangkan khalifah sendiri tidak suka pertumpahan darah itu tetapi tidak berdaya. Utsman yang dituduh nepotis terbunuh tanpa pertahanan, setelah rumahnya dikepung selama 40 hari, kata satu sumber. Bukan karena tidak ada pihak yang siap membela, tetapi karena khalifah pribadi yang tidak mau dibantu demi menghindari pertumpahan darah sesama Muslim.

Pembunuhan Utsman kemudian telah memicu eskalasi politik yang tak terkendali. Berbagai pihak terlibat di dalamnya dengan motif yang beragam, tetapi tidak dapat dipisahkan dari masalah kepentingan kekuasaan. “Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat dalam urutan al-Khulafa al-Rasyidun: Abu Bakr (632-634), Umar bin al-Khaththab (634-644), Utsman bin Affan (644-656), Ali bin Abi Thalib (656-661). Tahun-tahun pascakenabian, wilayah kekuasaan Muslim Arab memang menjadi semakin luas melalui ekspansi politik dan militer, tetapi konflik internal sesama Muslim tidak lagi bisa dibendung, khususnya di akhir masa Utsman dan di awal pemerintahan Ali. Seluruh perbelahan ini sebenarnya bersifat Muslim Arab, tetapi mengapa harus meluas ke seluruh dunia Muslim pada abad-abad yang panjang berikutnya? Apakah seluruh perilaku elite Muslim Arab itu patut dan baik ditiru? Pada Sabtu, 18 Juni 656, Ali dibai'at di Masjid Kufah (Irak) menjadi khalifah, sehari setelah kematian Utsman. Di awal pemerintahan Ali ini berkecamuk dua perang saudara yang sangat buruk dan mengguncangkan. Pertama, Perang Unta (8 Desember 656) dekat Kota Basrah, selatan Irak, di sekitar unta Aisyah.

 Hanya berjarak tujuh bulan, meledak pula Perang Siffin (26-29 Juli 657) yang lebih dahsyat di selatan Sungai Furat (Irak). Dua pertempuran sesama Muslim nyaris melumatkan fabrik sosial umat Islam yang masih sangat muda saat itu. Perang unta melibatkan janda Nabi dan para sahabatnya yang terdekat: Aisyah dan pendukungnya dan Ali bersama pendukungnya. Ini adalah sebuah perang saudara pertama sepeninggal Nabi di kalangan komunitas Muslim Arab. Sulit kita bayangkan mengapa drama semacam ini harus berlaku yang melibatkan para elite Quraisy Muslim yang tentunya paham Alquran karena langsung diajar Nabi. Tetapi, ternyata semuanya tidak cukup untuk mengekang ambisi mereka dan absennya kesediaan berdamai antara pihak-pihak yang berseteru.

Alangkah sukarnya umat Islam mengalahkan ego dan nafsunya yang tidak jarang dibungkus dengan teks-teks suci dan dalil-dalil agama. Tentu kita, khususnya saya, tidak bisa menilai siapa dari mereka yang terlibat sengketa itu yang berada di pihak yang benar atau di pihak salah. Kelompok Syiah tentu menilai Aisyah dan pendukungnya sebagai pihak yang salah dan 'Ali sebagai pihak yang benar. Apalagi, janda Nabi ini kalah dalam pertempuran unta itu. Dalam Perang Unta yang hanya berlangsung selama empat jam itu, sekitar 6.000 Muslim telah terbunuh, termasuk di dalamnya Ṭalḥah bin ‘Abdullâh dan al-Zubayr bin al-‘Awwâm (keduanya pendukung ‘Âisyah), dua kandidat potensial sebagai pengganti ‘Ustmân, selain ‘Alî. Tuan dan puan dapat membayangkan betapa sengit dan brutalnya perang singkat itu dan betapa kacaunya Kota Makkah dan Madinah saat mendengar tragedi itu. Perang ini sepenuhnya dimenangkan pihak ‘Alî. ‘Âisyah sendiri selamat, kemudian diantarkan kembali ke Madinah. Sekiranya ‘Âisyah terbunuh pula dalam perang saudara ini, tentu akibat eskalatifnya akan lebih buruk dan runyam.

Memang dari sumber-sumber sejarah Arab, hubungan ‘Âisyah dengan ‘Alî tidak pernah mulus, bahkan di saat nabi masih hidup. Sekalipun keduanya dicintai dan disayangi nabi, mereka adalah manusia biasa yang prilakunya tidak langsung dibimbing wahyu. Profesor Mahmoud M Ayoub memberikan komentar penting tentang Perang Unta ini: “Pertempuran ini meragakan kemerosotan yang tajam dalam konsepsi moral dan agama kekhilafahan, dan menandai berawalnya kemenangan real politik atas nilai-nilai yang di atasnya Nabi Muḥammad telah membangun Persemakmuran Islam di Madinah.” (Lih. Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History (Religion and Politics in Early Islam. Oxford, England: Oneword Publications, 2009, hlm. 48). Artinya, dengan meledaknya pertempuran ini, nilai-nilai kesucian agama telah diterjang dan diketepikan sampai batas-batas yang jauh, demi real politik. Jika semuanya harus menyerah kepada real politik, lalu wahyu dibuang ke mana? Saya semakin tidak faham mengapa komunitas Muslim ini dari dulu sampai hari ini tidak mau menjadikan Alquran sebagai hakim tertinggi bilamana berlaku perselisihan antara mereka.

Mengapa egoisme dan kepentingan golongan mengalahkan Kitab Suci ini? Tujuh bulan pascaperang Unta pecah pula perang yang lebih dahsyat, Perang Ṣiffîn: Khalifah ‘Alî dari Bani Hasyim berhadapan dengan gubernur Suria, Mu’âwiyah bin Abî Sufyân dari Bani Umayyah, dua bani seketrunan yang berebut kuasa. Ironisnya, dampak sengketa antar sesama elite Arab masa silam itu dirasakan sampai hari ini di seluruh dunia Islam. Seolah-olah orang Arab lebih faham Alquran dibandingkan umat Islam lain yang non-Arab. Perebutan hegemoni antara Saudi Arabia dan Iran sekarang ini, akarnya bisa dicari akibat Perang Ṣiffîn yang membuahkan munculnya: golongan sunni, syi’ah, dan khawarij. Begitu juga perang berdarah di Yaman sekarang, akar penyebabnya tidak berbeda. Sudah ratusan yang tewas, demi real politik. Tentara Saudi Arabia bersama beberapa pasukan negara-negara Arab lain tega hati membunuh saudara-saudaranya di Yaman, sebuah negara miskin.

Mengapa selama berabad-abad umat Islam tetap saja berbangga dengan memasukkan dirinya ke dalam sekte-sekte yang muncul pasca kenabian itu? Belumkah datang masanya agar kita bersedia keluar dari kotak-kotak sejarah yang mengkhianati ajaran al-Qur’an tentang persaudaraan umat yang wajib dikuatkan dan larangan keras untuk berpecah? Dunia Arab modern semakin tidak dapat diteladani. Iran pun selama masih bersikukuh dengan syi’ahnya mustahil akan dipercaya memimpin dunia Islam. Nasionalisme Iran lebih menonjol dibandingkan keislamannya, seperti halnya juga Saudi Arabia.

Perang Ṣiffîn adalah perang saudara kedua yang terjadi pada masa kepemimpinan ‘Alî. Lawan ‘Alî adalah Mu’âwiyah bin Abî Sufyân, sebagaimana telah disinggung di muka, satu marga dengan ‘Ustmân. Mu’âwiyah menuduh ‘Alî sebagai arsitek pembunuhan ‘Ustmân, suatu helah yang dicari-cari. Dalam perspektif duniawi, Mu’âwiyah adalah seorang politikus ulung, tangguh, sigap, dan kata banyak sumber juga licik. Pengalamannya sebagai gubernur telah mengukuhkan posisinya di kalangan rakyat Suria, sekalipun dia tidak populer di Mekkah dan Madinah. Perang ini berlangsung sekitar tiga bulan, pihak ‘Ali nyaris merebut kemenangan, tetapi berkat politik tipu musihat dari ‘Amr bin al-‘Ash, pengikut ‘Ali berhasil dipecah belah yang sangat menguntungkan pihak Mu’âwiyah yang kemudian minta berunding dengan mengangkat Alquran agar perang berhenti. ‘Alî sendiri faham betul kelicikan ini, tetapi dia gagal mempersatukan pendukungnya yang sebagian pro perdamaian, sebagian yang lain ingin melanjutkan perang.

Tentu ‘Âlî sebagai manusia biasa menjadi sangat frustrasi oleh suasana yang serba mencekam ini. Dari sisi moral, Mu’âwiyah memang tidak bisa disandingkan dengan ‘Alî. 

http://m.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/05/05/nnuz5x-kapan-umat-islam-muak-berperang