Sunday 4 December 2011

Problematika Hukum Pemberlakuan Moratorium Remisi Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Oleh : Arya Sosman

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada bulan Agustus 2011 yang lalu, Pemerintah memberikan remisi bagi para koruptor. Tidak kurang dari 408 koruptor mendapatkan remisi pada perayaan 17 Agustus dan tidak kurang 235 orang lainnya mendapatkan remisi pada hari raya idul firti.

Remisi masal tersebut sebenarnya bukan sesuatu yang baru karena setiap hari-hari besar sudah lumrah para nara pidana (Napi) mendapatkannya sebagai reward (hadiah) untuk mereka yang dinilai berkelakuan baik selama di penjara, tanpa membedakan di kasus apa, karena Undang-undang memang tidak membedakannya.

Secara yuridis tidak ada yang salah atas peristiwa itu, apalagi Indonesia adalah negara yang bermazhab positivisme, sebuah aliran filsafat/teori yang berpandangan bahwa hukum itu adalah undang-undang. Bagi mazhab ini kebenaran dan keadilan disandarkan kepada bunyi undang-undang. Mazhab ini memang sangat legalistik, empirik dan yang terpenting adanya kepastian hukum. Jadi jangan heran jika seorang tua renta yang miskin karena kelaparan terpaksa mencuri buah kakau (ingat kasus mbah Minah dengan kasus kakaunya) harus menapatkan ganjaran 3 bulan penjara. Ganjaran itu bagi mazhab positivisme sudah setimpal dengan perbuatannya. Postitivisme tidak memberikan ruang buat rasa kemanusiaan dan bahkan pada moralitas.

Di lain pihak ada maling yang diberi label koruptor, untuk menandai mereka yang telah mendapatkan uang negara secara ilegal (melawan hukum). Oleh karena perbuatan korupsi di negara ini demikian masivnya seperti penyakit yang mewabah dan menahun sangat sulit untuk disembuhkan maka negara mendifinisikan korupsi sebagai perbuatan tindak pidana yang luar biasa. Karena sifat luar biasanya inilah kemudian dibuatkan aturan yang eksklusif (khusus), lembaga pengadilan yang mengadilinya juga dibuatkan secara khusus, yakni Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) bahkan dibuatkan juga lembaga eksklusif yang ditugaskan khusus untuk menyelidiki dan menyidiknya, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan ancaman hukuman yang juga jauh lebih berat.

Akan tetapi walau demikian, korupsi bukan berarti berkurang – apalagi hilang – bahkan terus tumbuh silih berganti, ibarat pepatah “mati satu tumbuh seribu” baik kuantitas maupun kualitasnya. Banyak sudah cara untuk mencegahnya. Di zaman Pemerintahan Soeharto sangat populer istilah Waskat (pengawasan melekat), sebuah teknis untuk saling mengawasi antara atasan dengan bawahan atau sebaliknya. Namun aturan itu ternyata tidak berfungsi karena antara atasan dengan bawahan melakukan konsfirasi atau kolusi, sepakat untuk tidak saling buka kartu, TST (tahu sama tahu).

Selama 32 tahun kepemimpinan Soeharto jarang-jarang terdengar koruptor tertangkap padahal setiap hari hidung rakyat merasakan bau busuk korupsi tetapi tak pernah dapat melihatnya secara nyata. Korupsi memang ibarat bau busuk yang hanya bisa dirasakan tetapi tidak bisa dilihat dan diraba. Karena atmosfir tersebut sudah menyebar di semua lini dan turun menurun selama puluhan tahun sehingga seakan-akan telah membudaya, paling tidak telah menjadi kebiasaan. Ironisnya lembaga penegak hukum, diantaranya di pengadilan yang seharusnya menjadi tumpuan harapan upaya pemberantasan korupsi ternyata tidak lebih baik dan bersih.
Seorang peneliti peradilan Indonesia asal Belanda, Dr. Sebastian Pompe (2002) menyatakan bahwa :

korupsi di peradilan tidak hanya terbatas pada: (1) individual corruption (need & greed corruption), tetapi telah dapat dikategorikan sebagai (2) structural corruption (melibatkan kesuluruhan komponen peradilan, dan merupakan praktek yang telah berlangsung sekian lama); (3) institutional corruption (terdapat sikap menghambat dan adanya gejala kehilangan motivasi untuk memerangi korupsi secara total, serta “menerima” praktek dan pola-pola korupsi); (4) political corruption (tidak memberikan reaksi atau tanggapan tegas terhadap praktek korupsi yang telah meluas dan mengakar, serta tidak mengutuk praktek korupsi yang telah diketahuinya. Kedua sikap pembiaran tersebut dianggap melindungi dan mendukung praktek korupsi serta menghambat upaya-upaya pembaruan).

Keberadaan seluruh bentuk-bentuk korupsi inilah yang kemudian peradilan Indonesia menyandang predikat hyper corruption. Hal ini tidak hanya terjadi di lembaga pengadilan tetapi juga sangat potensial terjadi pada lembaga-lembaga peradilan lainnya seperti kejaksaan dan kepolisian.

Banyak upaya yang dilakukan untuk menekan kejahatan korupsi di lingkungan peradilan, diantaranya langkah yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan, beberapa langkah pembaruan yang dilakukan sebagai berikut:
1. Penerapan kebijakan “ peradilan satu atap” (berlaku efektif 31 Maret 2004),
2. tersusunnya 7 (tujuh) “cetak biru” (blue prints) pembaruan peradilan yang terdiri dari cetak biru pembaruan MA, pembaruan manajemen sumber daya manusia, pembaruan sistem diklat hakim, pembaruan manajemn keuangan, pembaruan pengadilan niaga, pembaruan peradilan tipikor, dan cetak biru Komisi Yudisial.
3. dibentuknya Tim Pembaruan yang melibatkan stake holders di luar MA yang berfungsi melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap efektifitas pelaksanaan berbagai cetak biru dan melakukan koordinasi dalam pendanaan dan pelaksanaan program pembaruan;
4. tumbuhnya kultur keterbukaan di MA terhadap kekuatan pembaruan, terutama keterbukaan terhadap kelompok-kelompok civil society dalam mempengaruhi kebijakan pembaruan;
5. mulai diterapkannya proses seleksi hakim yang relative terbuka dengan juga mempertimbangkan hasil-hasil penyelidikan lapangan (field investigation) yang dilakukan oleh kelompok-kelompok civil society dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai contoh, proses seleksi hakim ad hoc pengadilan Tipikor angkatan I dan II (sedang berlangsung).
Akan tetapi upaya tersebut di atas belum menimbulkan dampak nyata terhadap masyaraat, khususnya masyarakat pencari keadilan. Masih ditemukan banyaknya pengaduan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti; putusan pengadilan yang tidak konsisten, janggal dan kontroversi; ditemukan indikasi masih terjadinya “jual beli perkara”, serta masih sulitnya masyarakat mendapatkan akses terhadap informasi tentang status kasus dan putusan pengadilan.

Semua upaya pemberantasan korupsi tidak membuat para pejabat atau siapa saja takut melakukannya bahkan ditengarai semakin terbuka. Sering orang mengatakan jika di jaman Soeharto korupsi dilakukan dengan cara yang lebih sopan, bermartabat dan elegan tetapi di jaman reformasi caranya lebih terbuka dan vulgar. Artinya semangat reformasi yang lahir untuk memberantas korupsi sama sekali tidak merasuki jiwa para individu penyelenggara pemerintahan.

Para koruptor yang ditahan /dipenjara di rumah tahanan negara (Rutan) sering-sering mendapat perlakuan istimewa. Perlakuan ini juga karena mereka melakukan penyogokan terhadap petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP). Para koruptor tidak hanya menyogok para petugas tetapi juga para Nara Pidana (Napi). Selama di penjara mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang positif dan bermanfaat untuk LP dan para penghuninya. Mereka di sana melakukan pembinaan, pemberian modal usaha bahkan mendirikan sekolah untuk para Napi.

Kegiatan mereka menimbulkan rasa simpati dari seluruh komunitas LP. Walaupun perbuatan mereka masih menyisakan pertanyaan “apakah perbuatan mereka didasarkan pada niat untuk membantu para Napi dan membantu para petugas LP yang gajinya kecil? Ataukah perbuatan mereka karena ada niatan agar segala urusan dipermudah sehingga ia bisa membuat ruangan yang be AC, higinis, mewah. Selain itu ia juga bisa bisa keluar masuk LP dengan bebas seperti di rumah sendiri?

Terlepas dari motif tersebut, yang pasti perbuatan mereka itu telah menimbulkan rasa senang dari para Napi dan petugas LP. Dengan demikian ketika dalam evaluasi perilaku Napi dengan gampang para petugas LP akan menaikkan status “kelakuan baik” mereka sebagai alasan untuk memberikan pengurangan masa tahanan, yang disebut remisi.

B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang pemikiran tersebut penulis merumuskan permasalahan, sebagai berikut:
1. Apakah penghentian pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi telah sesuai dengan hukum?
2. Apakah pemberian remisi bagi para pelaku tindak pidana korupsi telah sesuai dengan Prinsip-prinsip HAM?

BAB II PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pemberian Remisi Dari Sisi Hukum Positif


Pada dasarnya Remisi diatur didalam UU No.12 Tahun 1995 pasal 14 huruf I, yang diperkuat dengan kehadiran Keppres No.174 Tahun 1999 yang menjelaskan tentang 4 jenis remisi, yaitu : remisi umum, remisi khusus, remisi tambahan, remisi dasawarsa. Sedangkan dalam pemberian remisi bagi terpidana kasus korupsi berlaku ketentuan khusus yang diatur di dalam Pasal 34 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 (PP 28/2006) Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. bahwa remisi baru dapat diberikan setelah menjalani 1/3 masa hukuman pidana yang ia terima.
Pasal 34 ayat (3) PP PP 28/2006

Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan Remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berkelakuan baik; dan
b. telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana

Pasal 36 ayat (4) PP 28/2006
Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan Asimilasi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berkelakuan baik;
b. dapat mengikuti program pembinaan dengan baik; dan
c. telah menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidana.

Dalam sebuah diskusi yang bertajuk: “Moratorium dan Remisi untuk Koruptor, Legal atau Melanggar Hukum” di Gedung DPR, Jakarta, Kamis 3 November 2011, yang dipublikasikan melalui media online, salah seorang pembicara, Yusril Ihza Mahendra menyatakan:
“bahwa Hak remisi ini diatur bukan hanya dalam Undang-undang tapi juga konstitusi, konvensi PPB melawan korupsi (UN Convention Against Coruption), Tokyo Rules dan sebagainya. Selanjutnya dikatan: “Hak remisi ini dalam seluruh peraturan domestik dan internasional yang ada melekat pada narapidana. Sudah menjadi aturan diseluruh dunia, bahwa hukuman penjara dapat dikurangi atau dipercepat jika narapidana memiliki kelakuan baik”

Ketua Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ifdhal Kasim, menyatakan:

"Remisi pada dasarnya merupakan insentif bagi terpidana untuk menstimulasi agar merubah diri selama di tahanan," secara normatif seorang terpidana sudah dirampas kebebasannya dengan menjalani hukuman. Meski penyebabnya membenarkan pemberian hukuman tersebut. Namun setelah masuk ke dalam tahanan, lanjut dia, mereka tetap mempunyai hak minimal yakni mendapatkan remisi dan atau pembebasan bersyarat. Bila hak mendapatkan itu dicabut, secara otomatis haknya turut dirampas. Jelas tidak benar itu, dilakukan atas nama apapun."
Dengan penjabaran norma tersebut di atas yang diperkuat oleh pendapat para pakar tersebut dapat diketahui bahwa perbuatan tindak pidana korupsi memiliki hak konstitusional yang dijamin oleh undang-undang sebagaimana disebut di atas.

Di sisi lain saat ini banyak para pakar yang setuju dengan gagasan penghapusan remisi bagi tindak pidana korupsi, alasannya korupsi telah merusak masa depan bangsa dan tega memiskinkan jutaan rakyat, sebagaimana disampaikan oleh Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam sebuah media online, di jakarta tanggal 3 November 2011, mengatakan; untuk jangka panjang, remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor dan teroris perlu dihapus melalui legislative review. Peneliti ICW bidang hukum Febridiansyah mengatakan, pemberantasan korupsi dibutuhkan langkah konkret. Salah satunya adalah kebijakan penghentian remisi bagi koruptor

Itu adalah beberapa pendapat dari sekian banyak pro dan kontra pendapat tentang penghapusan remisi. Namun sebenarnya sebagian besar sepakat penghapusan remisi namun untuk memulainya tidak bisa dilaksanakan sekarang tetapi harus didahului dengan mengganti peraturannya. Penggantian inilah yang belum dilakukan sehingga kebijakan Menteri Hukum dan HAM yang menunda (moratorium) remisi terhadap pelaku korupsi menjadi kontroversial.
Dalam keterangan persnya Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Denny Indrayana menyatakan:

...“kebijakan yang diambilnya bersama Menkumham Amir Syamsudin terkait remisi terhadap koruptor merupakan bentuk perlawanan terhadap koruptor. Kebijakan tersebut berupa merupakan pengetatan remisi maupun pembebasan bersyarat bukanlah hal baru. Dalam PP No 28 Tahun 2006, sudah ada aturan menyangkut pengetatan remisi tersebut. "Syarat dan tata cara yang berbeda dan lebih berat untuk narapidana korupsi, terorisme, narkoba dan organize crime lainnya dalam hal mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat". Dalam hal ini, menurut Denny, hak narapidana untuk mendapat remisi dan pembebasan bersyarat dapat dikesampingkan sesuai konstitusi. "Menurut konstitusi kita (UUD '45), HAM ada yang dapat disimpangi dan ada yang tidak. Hak-hak narapidana untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat merupakan hak yang disimpangi dengan menerapkan syarat dan pembatasan dalam peraturan..."

Senada dengan itu Denny Indrayana menegaskan dalam pidato pembukaan bedah buku karangannya, Indonesia Optimis, di Aula Rektorat Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu, 29 Oktober 2011, dikatakan bahwa:

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan moratorium pemberian remisi atau keringanan waktu hukuman untuk koruptor dan teroris. moratorium tersebut telah diberlakukan kecuali kepada koruptor yang membantu pengungkapan kasus-kasus korupsi yang lebih besar. "Seperti Agus Condro masih bisa diberikan remisi karena banyak membantu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat penegak hukum dalam pengungkapan berbagai kasus korupsi yang besar," katanya.

Terhadap kebijakan tersebut para lawyer, sebagai kuasa hukum terpidana melakukan perlawanan. Mereka menyebut keputusan tersebut adalah keputusan “lisan” bertentangan dengan Undang-undang, sebagaimana sampaikan Yusril Ihza Mahendra di beberapa media, diantaranya:
...”moratorium telah melanggar hak-hak pembebasan bersyarat dan juga azas persamaan terhadap para narapidana. Dia menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang harus tunduk pada perundang-undangan yang telah dibuat, bukan berdasarkan ucapan lisan yang seolah-olah seperti negara diktator. Dalam negara hukum itu yang melakukan perintah itu hukum, dalam negara diktator itu yang melakukan perintah itu orang yang berkuasa”.

Sementara itu Jimly Assidiqie, Mantan Ketua MK, menyatakan:

“Kebijakan Pak Amir (Menkumham, pen) bisa dikatakan melanggar hukum, mungkin buru-buru atau mengejar harapan masyarakat. Niatnya sudah baik, cuma caranya perlu dievaluasi. Jangan sembrono, harus prosedural, datanya lengkap dan untuk perbaikan bukan cari popularitas” lebih lanjut dikatakan Sebab bila ditelaah lebih lanjut sebetulnya kebijakan yang bertujuan meningkatkan efek jera terhadap pelaku korupsi dan terorisme tersebut tidak klop dengan payung hukum pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana, ....sebelum kebijakan diterapkan secara efektif, maka payung hukum pemberian remisi dan pembebasan bersyarat harus diperbaiki terlebih dahulu... setelah semua perangkat kebijakan siap, baru bisa diumumkan untuk diterapkan segera.

Sedangkan Mahfud MD, Ketua MK, menyatakan:

...”setuju dengan kebijakan moratorium remisi, dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi dan terorisme. Meskipun akhirnya menjadi perdebatan di masyarakat, kebijakan itu sah. Saya sangat setuju. Soal hukumnya memang bisa diperdebatkan, tapi menurut saya tak ada isi undang-undang yang secara terang-terangan dilanggar oleh kebijakan itu," kata Mahfud MD kepada VIVAnews.com di Jakarta, Kamis 3 November 2011. Apalagi pemerintah bukan meniadakan, melainkan hanya melakukan moratorium dan pengetatan."

Belakangan istilah moratorium diralat, menurut Indra Jaya, "Beberapa kalangan keliru memahami kebijakan ini sebagai penghapusan remisi dan pembebasan bersyarat. Padahal tidak dihapus, tetapi dilakukan pengetatan dengan syarat dan kriteria yang terukur serta dapat dipertanggungjawabkan," Lebih jauh dikatakan dari hasil kajian para pakar hukum menyimpulkan, bahwa moratorium itu melanggar hukum, karena itu Kemenkum HAM memberlakukan kebijakan pengetatan remisi terhadap koruptor.

Dari pandangan para pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa penghapusan remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi masih terdapat perbedaan pendapat antara yang setuju dengan yang tidak setuju. Demikian pula terhadap kebijakan Menkumham yang melakukan moratorium remisi, di antara para pakar masih terjadi perbedaan pendapat.

Menurut penulis, gagasan penghentian remisi dapat dipandang dari dua sisi; pertama; dari sisi Koruptor dan kedua dari sisi rakyat. Sebagaimana telah ditulis di atas bahwa hukum postif Indonesia memberikan hak untuk pelaku korupsi untuk mendapatkan remisi, sehingga jika adanya kebijakan moratorium remisi dari pemerintah secara hukum tidak memungkinkan, sebelum semua aturan hukumnya dirubah.

Di sisi yang lain, rakyat sudah terlalu lama mendambakan kesejahteraan dan keadilan namun sampai sekarang hal itu belum tercapai secara merata. Banyak pakar berpendapat bahwa keterhambatan kesejahteraan sosial berkaitan erat dengan maraknya korupsi di Indonesia. Hampir bisa dipastikan setiap tahun anggaran, baik di APBN maupun di APBD, yang seharusnya diprogramkan untuk peningkatan kesejahteraan, mengalami kebocoran, baik ketika masih dalam proses pembahasan maupun setelah sampai kepada implementasi di lapangan. Rakyat sebenarnya tidak menyadari jika terhambatnya kesejahteraan mereka dikarenakan oleh perbuatan para koruptor. Hal ini dikarenakan kurangnya akses rakyat untuk mendapatkan informasi pada pemerintah. Di samping itu rakyat juga kurang memiliki pengetahuan tentang tehnis penyusunan anggaran sehingga para penyusun anggaran serta para pelaksana anggaran kurang merasa dapat dikontrol oleh rakyat yang kemudian menumbuhkan iklim yang memudahkan melakukan korupsi.

Dengan kondisi seperti itu maka penulis berpandangan bahwa gagasan pencabutan remisi bagi terpidana korupsi sejalan dengan cita-cita proklamasi, tujuan negara dan kepentingan rakyat. Hukum hanya merupakan produk politik, kehendak rakyat dijelmakan ke dalam lembaga perwakilan rakyat (DPR) dan mandataris rakyat (Presiden) di mana keduanya merupakan lembaga politik dan keduanya bisa dan harus membuat hukum yang sesuai dengan keinginan rakyat, hukum yang sejalan dengan cita-cita proklamasi dan tujuan negara.

B. Remisi dan Perlindungan HAM Bagi Terpidana Kasus Korupsi

Secara individual koruptor juga manusia yang memiliki hak yang diberikan oleh undang-undang. Baik Undang-undang Dasar 1945 maupun UU No. 39 tetang HAM memberikan jaminan persamaan di depan hukum tanpa membedakan jenis kasusnya. Dalam pasal 28D ayat (1) disebutkan; “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Hal yang sama diatur dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 3 ayat (2) disebutkan: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

Pasal pasal tersebut dibahasakan secara abstrak sehingga untuk mengkongkritkannya harus dibahasakan kembali ke dalam peraturan perundang-undangan yang lebih khusus. Hal ini untuk menghindari penafsiran yang debatebel. Sebagaimana dalam kasus moratorium yang sedang dibahas ini, para pakar berbeda-beda pendapat antara mereka yang menganggap pencabutan remisi merupakan pelanggaran HAM, pendapat ini direfresentasikan oleh Yusril Ihza Mahendra dan Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM. sedangkan Deny Indra Jaya dan Mahfud MD memandang pencabutan remisi tidak melanggar HAM. Adanya perbedaan pendapat di antara kedua kubu tersebut menunjukkan bahwa rumusan pasal tentang HAM di UUD maupun di Undan-undang lainnya masih sangat abstrak.

Menurut Penulis, Jika ingin mencari kemanfaatan untuk rakyat maka terlebih dahulu harus didikotomikan antara keadilan rakyat di saru sisi dan keadilan koruptor di sisi lain. Atau hak asasi rakyat dan hak asasi koruptor.

Rakyat memiliki hak untuk sejahtera, hak untuk bersekolah di sekolah/perguruan tinggi yang baik, hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan bermartabat sesuai kemampuannya dan seterusnya. Pemerintah wajib melakukan upaya untuk pemenuhan hak hak tersebut melalui pembangunan yang terencana dan berkeadilan. Tetapi hak-hak tersebut sulit didapatkan oleh sebagian besar rakyat karena anggaran untuk itu banyak diselewengkan untuk kepentingan pribadi oknum penyelenggara negara. KPK pernah memperkirakan jumlah kebocoran APBN hingga mencapai 30%. Bahkan ditengarai setiap tahun anggaran rata-rata mengalami kebocoran hingga 20%, meskipun angka-angka tersebut belum diverifikasi namun paling tidak menggambarkan bahwa korupsi merupakan sesuatu yang sudah sedemikian kuat dan meluasnya di Indonesia. Jika dihitung jumlah APBN (dibulatkan) Rp.1000 triliyun, kalikan dengan 20% maka akan menghasilkan Rp. 200 triliyun. Sebanyak itulah anggaran yang dikorup dari APBN setiap tahun. Tapi lagi-lagi angka tersebut belum dapat dijadikan data yang valid, jadi angka tersebut sekedar untuk memberi ilustrasi akan betapa besar kerugian rakyat akibat korupsi.

Dengan demikian cukup alasan untuk mengatakan bahwa korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary) yang menyengsarakan rakyat, menindas hak asasi rakyat, melumpuhkan kepastian dan keadilan hukum, menghambat perkembangan demokrasi dan seterusnya.

Dengan latar belakang tersebut peulis setuju dengan pendapat pakar hukum UGM, Hifdzil Alim, yang menyatakan hukuman mati bagi koruptor tidak melanggar hak asasi manusia karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Atau terkait dengan masalah remisi, penulis juga setujua dengan Deny Indra Jaya yang menyatakan bahwa; Menurut konstitusi kita, HAM ada yang dapat disimpangi dan ada yang tidak. Hak narapidana memperoleh remisi dan pembebasan bersyarat dapat disimpangi dengan menerapkan syarat dan pembatasan dalam peraturan

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Dari kajian tersebut maka dapat disimpulkan beberapa hal, sebagai berikut:
1. Perbuatan korupsi merupakan kejahatan yang telah sedemikian kuat, meluas dan terjadi sepanjang berdirinya republik Indonesia, sehingga banyak orang mengatakan korupsi telah menjadi budaya di negara Indonesia
2. Pemberian Remisi bagi para pelaku korupsi menurut kaedah hukum positif Indonesia dilegalkan karena itu merupakan bagian dari hak-hak asasi narapidana, tidak ada kekecualian untuk tindak pidana jenis apa
3. Gagasan moratorium remisi dari Menteri Hukum dan HAM merupakan kebijakan yang bertentangan dengan hukum bahkan bertentangan dengan HAM, sehingga untuk saat ini tidak dapat dilaksanakan sampai menunggu adanya perubahan terhadap semua peraturan yang mengatur tentang remisi. Namun dengan adanya revisi kebijakan tersebut menjadi “pengetatan remisi” terhadap kasus korupsi, maka secara hukum dapat dibenarkan dan tidak melanggar hak-hak terpidana;
4. Tindak pidana Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena telah membuat kesengsaraan bagi rakyat, sehingga sesungguhnya perbuatan korupsi itu merupakan pelanggaran hak asasi rakyat untuk mendapatkan hidup yang layak, bermartabat dan sejahtera. Karena itu gagasan pencabutan remisi serta hukuman mati terhadap koruptor tidak akan bertentangan dengan HAM.

DAFTAR PUSATAKA

http://www.antaranews.com/print/1271230582
http://www.detiknews.com/read/2011/11/03/044659/1758902/10
http://www.pelitaonline.com/read/hukum-dan-kriminalitas/nasional/42/9588/pengetatan-remisi-sesuai-konstitusi/
http://berita.liputan6.com/read/360388/kemenkum-ham-berlakukan-moratorium-remisi-koruptor
http://www.fajar.co.id/read-20111104100444-yusril--remisi-adalah-hak-narapidana
http://www.pelitaonline.com/read/hukum-dan-kriminalitas/nasional/42/9588/pengetatan-remisi-sesuai-konstitusi/
http://berita.liputan6.com/read/360388/kemenkum-ham-berlakukan-moratorium-remisi-koruptor
Mas Achmad Santosa, Upaya Pemberantasan Korupsi di Dunia Peradilan, Menelaah Gerak Pembaruan di MA dan Kejaksaan, makalah
http://www.vivanews.com/Jumat, 04 November 2011/ 06:19:29
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2011/11/04/brk,20111104-364965,id.html
http://www.silaknasnews.com/05 Nopember 2011 | 10:49 WIB