Friday 28 August 2009

Cak Nur Menyelamatkan Citra Islam



Wawancara dengan Prof. Dr. Dawam Rahardjo

Pengantar:

Sampai dengan tahun 1970an, Islam sangat dipahami secara emosional, rigit alias kaku yang kemudian menyulitkan pemeluknya, terutama kaum terpelajar  untuk beragama secara sosial. Pemahaman ini kemudian mengesankan Islam itu kampungan, jorok, sarungan dan sebagainya. Para orang tua kita zaman itu harus sembunyi-sembunyi kalau mau melaksanakan sholat di sekolah atau di kampus. Dilain pihak agama lain, sebut saja kaum nasrani, begitu bangga menggunakan pakaian modern, gaul menenteng Al-kitabnya kemana-mana dengan bangga, tanpa canggung.

Saking sempitnya wawasan keislaman para ulama kita dahulu, sampai-sampai Soekarno ketika menikahi Utari, putri HOS Cokroaminoto, tidak dibolehkan menggunakan dasi karena dianggap meniru cara orang kafir, namun Soekarno membangkang  sehingga acara pernikahannya dilanjutkan. Muhammadiyahpun tidak luput dari tudingan itu karena  menggunakan meja dan kursi untuk belajar di sekolah. Demikian juga di bidang politik, seakan-akan haram hukumnya jika tidak memilih partai Islam.

Nah kezumutan itu dicairkan oleh para kaum intelektual Islam saat itu. Salah satu yang paling menghebohkan dalam ide Islam keindonesiaan adalah  Nurchalis Madjid, atau akrab disapa Cak Nur, salah seorang  intelektual muda genius yang sepanjang hidupnya mewarnai  corak pembaharuan pemikiran  islam di Indonesia.  Dia dijuluki sang begawan, Soesilo Bambang Yudoyono adalah salah seorang  petinggi yang kerap konsultasi dengan Cak Nur. Karena jasanya di bidang keilmuan, Negara menganuerahkan gelar Pahlawan RI. Gema Cak Nur bukan hanya di Indonesia tetapi di manca negara, baik dunia barat maupun dunia timur (negara-negara Islam). Jika ada pembicaraan tentang Islam di tingkat internasional, Cak Nur selalu diminta untuk harus hadir. 

Berikut ini adalah kutipan wawancara Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan  Prof. Dr.Dawam Raharjo, Ekonom Islam, tentang Cak Nur pada tanggal 28 Maret 2005, cukup lama tetapi bagi saya, harus diposting ulang untuk lebih mengenal Cak Nur – arya sosman

Proses pembaruan pemahaman keislaman di Indonesia pada era 1970 dan 1980-an tidak pernah lepas dari peran Cak Nur (sapaan akrab Prof. Dr. Nurcholish Madjid). Gagasan-gagasan segar Cak Nur tentang keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan, sampai kini masih menginspirasi dan mewarnai corak pemikiran beberapa generasi muda Indonesia. Hanya saja, seberapa jauh relevansi gagasan-gagasan tersebut untuk konteks kekinian masih harus terus diuji. Sebab, setiap gagasan tidak pernah terlepas dari konteks dan iklim yang dihadapi oleh seorang pemikir atau penggagas ide.

Jargon “Islam, Yes! Partai Islam, No!” yang pernah dilontarkan Cak Nur pada tahun 1971, misalnya, sangat terkait dengan problem keislaman dan afiliasi politik umat Islam ketika itu. Kritikan-kritikan beberapa tokoh Islam seperti Prof. Dr. H. M. Rasjidi atas ide-ide Cak Nur, juga tidak dapat dilepaskan dari prasangka-prasangka politik yang berkembang di masanya. Demikian intisari perbincangan Ulil Abshar-Abdalla dari JIL dengan Prof. Dr. Dawam Rahardjo, cendekiawan muslim yang juga teman seangkatan Cak Nur. Perbincangan berlangsung Kamis (17/3) lalu, bertepatan dengan simposium tiga hari (17-19/3) tentang pemikiran Cak Nur yang diselenggarakan Universitas Paramadina.

Mas Dawam, bagaimana hubungan Anda dengan Cak Nur?

Saat ini saya sudah berumur 62 tahun, sementara Cak Nur 66. Tapi dalam organisasi dulunya, saya satu angkatan dengan dia. Dari segi umur, Cak Nur itu sedikit kakak bagi saya. Tapi dalam organisasi, dia sahabat saya.

Apa reaksi Anda ketika tahun 1971 Cak Nur melontarkan gagasan “Islam, yes! Partai Islam, No!"?

Waktu itu, saya dengan cepat menangkap maksud Cak Nur. Cak Nur pernah memberi penjelasan bahwa banyak sekali orang yang menganggap partai Islam ketika itu telah banyak membuat kesalahan. Karena itu, dia pantas ditolak. Tapi masyarakat yang menolak partai Islam tidak serta merta bisa diartikan sedang menolak Islam. Mereka tetap setuju Islam, tapi tidak suka dengan penampilan partai Islam ketika zaman Orde Baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Jadi yang hendak ditekankan ketika itu adalah perasaan bahwa orang yang tidak setuju partai Islam belum tentu anti-Islam.

Apa motif Cak Nur ketika melontarkan gagasan itu?

Sekadar untuk menyelamatkan image Islam. Sebab dengan buruknya penampilan partai Islam, image Islam juga mendapat sorotan. Islam lalu ikut menjadi jelek juga. Saat itu juga ada perbedaaan tentang interpretasi hubungan Islam dan negara. Partai Islam ketika itu juga memperjuangkan negara Islam. Padahal, penafsiran semacam itu belum tentu otentik. Jadi yang ingin ditegaskan Cak Nur saat itu, orang Islam masih tetap merujuk Islam sebagai sumber ajaran, nilai maupun moral, tapi belum tentu menyetujui partai Islam. Makanya yang saya mengerti, Cak Nur sebenarnya ingin menyelamatkan Islam. Yang saya tidak mengerti, mengapa orang kemudian menentang pendapat Cak Nur begitu sengitnya.

Apakah pendapat Cak Nur ketika itu menyenangkan rezim Orba yang sedang berkuasa?

Menurut hemat saya tidak juga. Memang banyak kritik terhadap Cak Nur, misalnya dari Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Saya pernah berbicara sendiri dengan Pak Rasjidi di Jeddah setelah kontroversi itu berlangsung. Dia mengatakan bahwa dia sebenarnya tidak keberatan dengan ide-ide Cak Nur tentang pembaruan pandangan keislaman. Hanya saja, dia menganggap Cak Nur sedang diperalat oleh pemerintah Orde Baru, dan khususnya BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) yang waktu itu dikait-kaitkan dengan Ali Moertopo. Jadi, Cak Nur dianggap anteknya Ali Moertopo. Cak Nur juga banyak ditentang karena secara politik dia banyak sekali mengritik Masyumi.
Itulah yang mungkin menyakitkan bagi banyak orang. Sampai-sampai Prof. Husein Alatas pernah berpesan kepada saya sebagai kawan Cak Nur agar jangan sekali-kali memusuhi para orang tua. Pesan itu dia sampaikan ketika saya bertemu dengannya di Sri Lanka pada tahun 1974. Pesan itu dia ingatkan betul. Dari pesan seperti itu, saya lalu mengambil kesimpulan bahwa mereka yang menentang Cak Nur ataupun pro Pak Rasjidi, sebetulnya bukan karena gagasan Cak Nur itu sendiri, tapi lebih banyak karena faktor lain seperti kecurigaan politik.

Jadi dari substansi pemikirannya, Pak Rasjidi tidak keberatan?

Ya. Hanya saja dia kemudian mencari-cari dan menuduh sesuatu yang tidak benar. Padahal tuduhan-tuduhan politis itu justru dia lakukan sendiri. Misalnya, dia menuduh teologi Cak Nur banyak terpengaruh Barat. Prof. Dr. Harun Nasution juga dia tuduh terpengaruh Barat. Padahal buku Pak Rasjidi berjudul Filsafat Agama, merupakan saduran mentah-mentah dari seorang pemikir Kristen. Buku itu memang diterbitkan dengan judul berbeda untuk mengesankan itu murni karangan Pak Rasjidi. Tapi nyata-nyata, buku itu tidak dikarang sendiri, tapi cuma saduran. Jadi pada titik ini, Pak Rasjidi juga dapat dikatakan tidak beretika, dan juga tidak konsisten. Dia sendiri justru memakai pemikiran Barat, bahkan menyadurnya secara mentah-mentah dari karangan seorang pendeta. Makanya saya berpendapat, Pak Rasyidi itu sebenarnya menerima teologi Kristen. Kita tahu, teologi Kristen itu merupakan bentuk pembelaan orang-orang Kristen terhadap agamanya. Nah, kalau argumen-argumen itu bisa dipakai, secara tidak langsung dia bisa juga digunakan untuk membela Islam.

Setelah sekian lama perdebatan tentang gagasan-gagasan Cak Nur, bagaimana Anda kini melihatnya?

Saya melihat banyaknya kesalahpahaman terhadap gagasan-gagasan Cak Nur. Contohnya, pemahaman tentang gagasan sekularisasi Cak Nur. Bagi Pak Rasjidi dan orang yang menentangnya, sekularisasi itu tidak bisa dilepaskan dari sekularisme. Tapi bagi Cak Nur tidak mesti begitu, dan dia membuktikannya sendiri dalam kenyataan. Faktanya, Cak Nur tetap mengemukakan pelbagai wacana keagamaan yang bersumber pada Islam sebagai wacana perdebatan publik.

Cak Nur tetap ingin sekularisasi, karena banyaknya masalah-masalah—yang sebetulnya bersifat duniawi yang rasional—yang disakralkan dan dijustifikasi sebagai masalah agama. Misalnya perdebatan soal negara Islam. Siapa pun yang menentang konsep negara Islam, dia akan dicap anti Islam. Padahal itu tidak benar, karena perdebatan soal negara masih berada dalam wilayah pemikiran manusia. Jadi, wacana tentang negara Islam, bagi Cak Nur adalah konsep duniawi yang tidak boleh dijustifikasi, disakralkan, apalagi dihukumi dengan hukum agama.

Kalau tidak salah, dulu Cak Nur mengatakan bahwa sekularisasai adalah akibat atau konsekuensi logis dari konsep tauhid. Apa maksudnya?

Itu sejalan dengan pemikiran Ahmad Wahib. Ketika itu, Ahmad Wahib juga pernah mengatakan bahwa Islam itu turun dengan melakukan sebentuk sekularisasi. Artinya, Islam hadir dengan mengemukakan masalah-masalah duniawi secara rasional, seperti yang ditegaskan Nabi dalam sabdanya, antum a`lam bi umûri dunyâkum (kalian lebih paham urusan dunia kalian, Red). Artinya, dalam sabda itu terdapat pengakuan akan adanya bidang-bidang kehidupan yang masuk wilayah pemikiran, bukan arena agama. Di situ manusia bebas melakukan ijtihad sesuai dengan kemampuan pikirnya, dan tidak harus dicocok-cocokkan dengan agama. Makanya kalau pemikiran itu dikemukakan, itu tidak sama dengan menentang agama sendiri.

Dulu Cak Nur pernah berkorespondensi dengan Mohammad Roem, tokoh yang memperjuangkan negara Islam lewat partainya, Masyumi, tentang negara Islam. Pertanyaan saya, mengapa Pak Roem berubah jadi menentang negara Islam?

Pak Roem itu orang yang bijaksana. Itu (perjuangan menegakkan negara Islam) kan sikap partainya. Dia sendiri punya pendapat berbeda. Saya melihat, Pak Syafruddin Prawiranegara juga berpendapat seperti itu. Dia juga sama sekali tidak punya ideologi untuk mendirikan negara Islam. Jadi sebetulnya banyak juga orang-orang Masyumi yang tidak setuju negara Islam. Dalam AD/ART Masyumi sendiri sebetulnya tidak tercantum misi untuk mewujudkan negara Islam. Yang ada adalah visi menerapkan dan melaksanakan hukum Islam dalam segala aspek kehidupan. Visi seperti itu tentu saja bisa diperjuangkan secara demokratis.
Sekarang, tidak ada masalah lagi bagi kita untuk memperjuangkan nilai-nilai dan hukum Islam, asalkan melalui proses-proses tertentu. Pertama, melalui diskusi yang ilmiah. Di situ harus ada proses objektifikasi dan rasionalisasi. Itulah konsep yang dikemukakan almarhum Kuntowijoyo. Yang kedua, asalkan semua itu diterima pasar, seperti kasus Bank Mu’amalat. Artinya, kalau konsep-konsep Islam itu diterima pasar, why not? Kalau City Bank, HSBC, atau Bank Niaga yang dimiliki pihak asing bisa menerima konsep bank syariat, maka tidak ada masalah. Dan yang ketiga, semua itu harus diperjuangkan melalui sistem demokrasi, bukan dengan ketentuan konstitusional seperti Piagam Jakarta. Cara seperti itu tentu tidak benar. Kalau terus-menerus memakai ketentuan Piagam Jakarta, ujung-ujungnya tentu tidak demokratis.

Kenapa tidak demokratis?

Karena masih melalui otoritas tertentu, seperti kasus penetapan hukum positif yang dilakukan otoritas elite, yaitu ulama. Sebab asumsinya selalu begitu: Alquran harus diinterpretasikan; tapi yang berhak menginterpretasikannya hanya ulama-ulama tertentu. Di lingkungan Syi’ah Iran, kita mengenal konsep Wilayatul Faqih. Merekalah yang lalu menyetujui dan menentukan produk perundang-undangan. Kalau penetapannya melalui jalur seperti itu, tentu saja tidak demokratis. Itulah otoritarianisme atas nama agama. Sebab sebetulnya tidak ada pertentangan antara Islam dan demokrasi. Inti demokrasi itu kan bermusyawarah; dan Islam sangat menganjurkan itu. Pemilihan umum merupakan bentuk permusyawaratan paling kompleks pada masa modern.

Jadi perjuangannya mesti dari bawah, ya?

Ya, melalui perjuangan masyarakat. Sesuai dengan prinsip demokrasi, apa pun undang-undangnya, sekalipun bersumber dari agama tertentu, harus diperjuangkan oleh rakyat melalui wakil-wakilnya. Makanya, kalau ada yang ingin membuat undang-undang yang berorientasi pada Alquran, tidak ada salahnya. Yang ingin memperjuangkan hukum Islam secara demokratis juga tidak salah. Bung Karno pun setuju dengan cara seperti itu. Makanya, dia pernah berkata, “Coba saja kuasai parlemen!” Dengan begitu, wakil-wakil Islam dalam parlemen bisa memperjuangkan ajaran Islam. Inilah yang bisa saya tarik dari pemikiran Bung Karno.

Seandainya parlemen dikuasai kekuatan Islamis dan berhasil memperjuangkan sanksi hukum seperti potong tangan, bagaimana?

Itu harus dicegah. Tidak boleh memperjuangkan hal-hal semacam itu karena tidak demokratis, bahkan memperalatnya. Sebelum masuk ke sana, hukum-hukum Alquran terlebih dulu harus diperjuangkan melalui wacana. Pertama melalui wacana ilmiah, karena dari situlah dapat disaring sisi kebenaran sebuah pandangan seperti sanksi potong tangan. Selain itu, harus juga didiskusikan lebih dulu dengan masyarakat tentang setuju atau tidaknya mereka akan sanksi seperti itu.
Selama ini, hukum Islam yang berlaku di Indonesia adalah hasil pemikiran dan ijtihad masyarakat Indonesia sendiri. Jadi ada jurisprudensi di situ, melalui proses wacana dan proses demokrasi. Mungkin proses demokrasinya masih sangat sederhana. Karena itu, di masa yang akan datang, semua hukum Islam yang akan dilaksanakan harusnya melalui proses perundang-undangan di parlemen. Jadi arena pertarungannya ada di parlemen, dan memang begitulah seharusnya.

Kalau yang setuju potong tangan berhasil meyakinkan masyarakat, lalu mereka didukung parlemen, bagaimana?

Wah... itu pengandaian yang terlalu jauh. Saya melihat, tetap banyak yang tidak setuju. Saya malah berpendapat, sebagian besar orang Islam Indonesia tidak setuju sanksi seperti itu, sebab sekarang ini sudah ada penjara. Dulu kan belum ada penjara, karena belum ada negara yang efektif seperti sekarang, dan juga karena belum adanya hukum yang terlalu detail.

Ide penting Cak Nur lainnya adalah konsep Islam yang hanîf atau inklusif. Apa yang sebetulnya diinginkan Cak Nur?

Cak Nur itu sebetulnya sedang berdakwah untuk menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang monolitis dan tidak toleran.

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=782

Thursday 27 August 2009

Penghinaan Bangsa Melalui Lagu Indonesia Raya Oleh Orang Malaysia

JIka membaca sebuah situs http://www.topix.com/forum/world/indonesia/TN10GRH5H4NO0R98I milik orang Malaysia darah kita serasaa mendidih ketika membaca syair lagu kebangsaan Indonesia Raya diubah dengan kalimat pelecehan. Judulnya "MARI NYANYI LAGU INDON SIAL.
Dalam forum itu juga berbagai tanggapan yang bernada saling caci maki antar kedua bangsa tak terelakkan, bahkan orang-orang Indonesia yang berada di luar negeri tak ketinggalan memberi komentar. Sebenarnya bukan hanya satu versi , salah satunya   adalah sebagai beriku: 
Indonesial National Anthem
Indonesial tanah Cairku
Tanah tumpah muntahku
Disanalah aku merangkak hina
Jadi kubur

Indonesial negara miskin ku
Bangsa Busuk dan Tanah Miskinku
Marilah kita semua tidur
Indonesial negara miskinku

Mati lah tanahku
Modar lah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Miskin lah jiwanya
Tidurlah badannya
Untuk Indonesial Miskin

Indonesial Miskin
Mampous Modar
Datang kerja Malaysia
Tapi TKI Jadi perampok
Rompak Malaysia bawa wang ke Indon
Indonesial Pendatang Haram
Miskin lah Miskin lah
Datang Haram ke Malaysia
Tiada paspor
Bila kena tangkap dan hantar balik
Kata nya malaysia jahat

Indonesial Negara Perampok
Indonesial Menghantar perampok maling
pekerja TKI Indonesial
hantaq pi Malaysia

Indonesial Maling
Merampok lagu Malaysia
Mengatakan itu lagu mereka

Indonesial Tanah yang hina
Tanah gersang yang miskin
Di sanalah aku miskin Untuk slama-lamanya
Indonesial Tanah puaka
Puaka Hantu Kita semuanya
Negara luas hasil bumi banyak tapi miskin
Datang minta sedekah di Malaysia
Marilah kita mendoa Indonesial brengset

Gersang lah Tanahnya mundurlah jiwanya
Bangsanya Rakyatnya semuanya
Tidurlah hatinya Mimpilah budinya
Untuk Indonesial Miskin

Indonesial Tanah yang kotor Tanah kita yang Malang
Disanalah aku tidur selamanya bermimpi sampai mati
Indonesial! Tanah Malang Tanah yang aku sendiri benci
Marilah kita berjanji Indonesial miskin

Mati lah Rakyatnya Modar lah putranya
Negara Miskin Tentera Coma pakai Basikal
Miskinlah Negrinya Mundur lah Negara nya
Untuk Indonesial kurap

Wednesday 26 August 2009

Perspektif Peradaban Islam Indonesia

Agama dirumuskan para cendekiawan sebagai unsur pokok dalam suatu peradaban. Agama menurut para cendekiawan merupakan faktor terpenting dalam menentukan karakteristik peradaban.
Tanda-tanda kehancuran suatu peradaban dapat dilihat sejauh mana unsur utama peradaban tersebut dapat terpelihara dengan baik. “Jika agama yang menjadi pondasi utama peradaban sudah rusak, dapat diartikan peradaban telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Mungkin juga peradaban tersebut hanya tinggal nama. Tetapi hakikatnya peradaban itu sudah rusak atau hancur,” ujar Adian Husaini, Doktor bidang peradaban Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM), Sabtu (18/4) dalam acara tasyakur dan orasi ilmiah di Aula Masjid Al Furqon. 
Menurut Adian berbagai perdebatan seputar hubungan agama dan negara di Indonesia dan diskursus tentang Islam dan sekulerisme dalam sejarah perjalanan Indonesia bisa dijadikan bahan untuk melakukan introspeksi perjalanan bangsa. Umat Islam seharusnya dapat melihat secara cermat peradaban mana akan dikaitkan, pada masa lalu atau masa mendatang. Dikaitkan dengan peradaban Islam, peradaban Jawa, atau peradaban Barat atau dengan meramu ketiga unsur nilai dasar peradaban menjadi peradaban baru. 
Sejak zaman VOC, Belanda mengakui hukum Islam di Indonesia. Kemudian pada tahun 1855, Belanda mempertegas pengakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Dalam sejarah disebutkan perjuangan Pangeran Diponegoro, untuk menegakkan Islam di Tanah Jawa. 
Para Orientalis Belanda dalam usaha meminggirkan Islam dalam sejarah nasional Indonesia menjadikan Kitab Darmagandul sebagai bahan rujukan penulisan sejarah. Bahkan seorang orientalis Belanda, GWJ Drewes menjadikan rujukan kitab itu untuk menggambarkan islam sebagai agama yang ditolak oleh orang Jawa.  
Dalam kitab itu juga digambarkan seharusnya Al Quran tidak digunakan lagi sebagai pedoman dalam kehidupan manusia karena keberadaannya meresahkan. Kasus kitab Darmogandul menunjukkan kitab ini dirancang untuk menepikan Islam dari kehidupan masyarakat. 
Adian mengungkapkan, sebagaimana yang diungkapkan M Natsir, ada tiga tantangan dakwah yang dihadapi umat Islam Indonesia, yaitu pemurtadan, gerakan sekulerisasi, dan gerakan nativisasi. Dengan demikian, umat Islam harus mencermati secara serius gerakan nativisasi yang dirancang secara terorganisir, yang biasanya melakukan koalisi dengan kelompok lain yang tidak senang pada Islam 
Dikatakan Adian, Natsir dulu pernah mengkhawatirkan sekulerisasi dan pembaharuan yang dibuka tanpa kendali. Peristiwa-peristiwa tragis dalam dunia pemikiran Islam Indonesia susul menyusul berlangsung secara liar dan tidak dapat dikendalikan.  
Saat ini di tengah-tengah era liberalisasi dalam berbagai bidang, liberalisasi pemikiran Islam juga menemukan medan yang kondusif karena didukung secara besar-besaran oleh negara-negara Barat. Sekulerisasi dan liberalisasi Islam juga dilakukan secara besar-besaran di 500 Perguruan Tinggi Islam (PTI) di Indonesia. 
Begitupula dengan Piagam Jakarta yang ditolak karena adanya unsur-unsur Islam dalam kehidupan kebangsaan Indonesia. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia muslim. Salah satu poin terpenting Pancasila “ Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” 
Adian menggarisbawahi peradaban Islam akan dapat terwujud jika umat Islam dapat membangun satu bentuk perjuangan yang cerdas dan ikhlas. Secara internal, para pejuang Islam dituntut memiliki kemampuan keilmuan yang tinggi dan hati yang ikhlas. 
Tiga tantangan yang disebutkan M Natsir, yaitu pemurtadan, sekulerisasi, dan nativisasi harus dapat direspon dengan cerdas dan bijaksana oleh umat Islam. “ Tantangan tersebut tidak boleh membuat kita loyo, tetapi kita harus bersemangat menghadapi semua tantangan tersebut,” ujarnya.  
Tantangan terberat saat ini melalui gerakan liberalisasi Islam. Gerakan ini didukung kekuatan-kekuatan global yang masih memendam sikap islamofobia, dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama, kesetaraan gender dan gerakan liberalisasi lainnya yang berusaha meruntuhkan pondasi islam, dnegan mendangkalkan akidah Islam dan merombak tatanan kelurga dan sistem sosial Islam. 
Adian mengharapkan kaum Muslim dapat menekuni berbagai bidang dengan sungguh-sungguh dan sabar agar dapat menjadi teladan masyarakat. Dia memberi contoh, dalam lapangan politik, partai-partai Islam dan para politisi Muslim harus menjadi politisi teladan, baik dalam pemikiran maupun perilaku. “Mereka harus cerdas dan zuhud,” tegasnya. 
Sedangkan dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah dan pesantren dan perguruan tinggi Islam harus diarahkan untuk menghasilkan pelajar dan sarjana yang unggul, beradab dan menjadikan Rasulullah sebagai uswah. Dalam bidang ekonomi, Adia mengharapkan lembaga-lembaga ekonomi syariah benar-benar menjadikan iman, ilmu dan ketakwaan sebagai landasan aktivitas perekonomian, dan bukan berlandaskan pada pragmatisme ekonomi.  
Begitu juga di bidang lain, seperti sosial, budaya, informasi, sains dan teknologi. Umat Islam juga dituntut bekerja keras agar dapat menunjukkan bahwa Islam sebagai rahmatan lil'alamin.

Saturday 8 August 2009

Sajak Bulan Mei 1998

WS. Rendra

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa alamat
Kelakuan muncul dari sampah kehidupan
Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah
O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan bahwa hukum harus lebih tinggi
dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari Ratu Adil!
Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara
Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya
Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!
Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.
(Sajak ini dibuat di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1998
dan dibacakan Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998)

Monday 3 August 2009

Catatan untuk Umat Muslim Amerika

Mungkin agak terlambat saya memposting, sekalipun sebenarnya sudah lama memiliki file ini (2001) tetapi saya merasa isinya masih relevan untuk diposting kembali, sebuah tulisan dari Muqtedar Khan, Ph.D. Direktur Kajian Internasional, Adrian College, Michigan, Ikatan Sarjana Muslim Ilmu-ilmu Sosial Pusat Studi Islam dan Demokrasi.

Berikut tulisannya

Dengan nama Allah, yang Maha Pemurah dan Pengasih. Semoga Anda sekalian berada dalam naungan Islam dan memperoleh nikmat ampunan, lindungan dan rahmat Allah.
Saya menulis catatan ini dengan maksud yang jelas untuk mengajak Anda semua untuk memimpin komunitas Muslim Amerika untuk berpikir masak-masak, merenung dan menilai kembali.

Yang terjadi pada 11 September di New York dan di Washington, D.C. akan tetap menjadi cacat yang mengerikan dalam sejarah Islam dan kemanusiaan. Betapa pun besarnya kita mengecamnya, dan merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah untuk mendukung bahwa Islam mengharamkan pembunuhan orang tak berdosa, kenyataannya adalah bahwa para pelaku kejahatan terhadap manusia itu sudah mengindikasikan bahwa tindakan mereka didukung oleh nilai-nilai Islam.

Kenyataan bahwa sekarang sejumlah cendekiawan Muslim dan ribuan Muslim membela si tertuduh merupakan indikasi bahwa tidak semua Muslim percaya bahwa serangan itu tidak Islami. Ini benar-benar menyedihkan.

Kalaupun benar bahwa Israel dan A.S. adalah musuh-musuh Dunia Islam (saya heran apa yang menghalangi mereka sehingga mereka tidak melepas senjata nuklir mereka melawan kaum Muslim), maka suatu tanggapan yang secara keji membunuh ribuan penduduk sipil, termasuk ratusan kaum Muslim, adalah benar-benar tidak dapat dibela. Kalau di dalam lubuk hati Anda ada semacam simpati terhadap mereka yang melakukan tindakan tersebut, saya minta Anda untuk mengajukan pertanyaan ini: Mungkinkah Nabi Muhammad S.A.W. akan menyetujui tindakan seperti itu?

Kendati mendorong Muslim untuk menentang ketidakadilan (Al-Qur'an 4:135), Allah juga menerapkan peraturan yang keras tentang perang. Allah berfirman dengan tegas bahwa membunuh satu orang tidak berdosa sama dengan membunuh seluruh umat manusia (Al-Qur'an 5:32). Allah juga mendorong umat Muslim untuk mengampuni umat Yahudi dan Kristen jika mereka melakukan ketidakadilan terhadap kita (Al-Qur'an 2:109, 3:159, 5:85).

Umat Muslim, termasuk Muslim Amerika sudah bertindak sangat munafik. Mereka memprotes tindakan sewenang-wenang Israel namun diam saja menyaksikan diskriminasi di negara-negara Islam. Di kawasan Teluk Parsi kita bisa menyaksikan betapa undang-undang dan bahkan gaji ditentukan berdasarkan asal-usul etnik. Ini rasialisme, tapi kita tidak pernah mendengar ada umat Muslim yang memprotes mereka di forum-forum internasional.

Pendudukan Israel atas Palestina mungkin merupakan kekecewaan utama umat Islam terhadap Barat. Kendati mengakui hal tersebut, saya harus mengingatkan bahwa Israel memperlakukan satu juta warganya keturunan Arab dengan lebih hormat dan bermartabat daripada kebanyakan bangsa Arab memperlakukan warga mereka. Kini pengungsi Palestina dapat bermukim dan menjadi warga negara Amerika Serikat, namun di tengah-tengah semua retorika fasih dari Dunia Arab tersebut dan perintah Al-Qur'an (24:22), tak satu pun negara Islam, kecuali Yordania, memberi dukungan seperti ini kepada mereka.

Sementara kita dengan keras dan konsisten mengutuk Israel atas perlakuan buruknya terhadap bangsa Palestina, kita diam saja ketika rezim-rezim Muslim melanggar hak-hak umat Muslim dan membunuh ribuan di antara mereka. Ingatkah pada Saddam dan penggunaan senjata kimia terhadap umat Muslim (Kurdi)? Ingatkah pada tindakan berlebihan tentara Pakistan terhadap umat Muslim (Bengali)? Ingatkah pada kaum Muhajidin di Afganistan dan tindakan saling bantai mereka? Pernahkah kita mengutuk mereka atas ekses-ekses mereka? Sudahkah kita memintakan campur tangan internasional atau hukuman terhadap mereka? Tahukah Anda bagaimana keluarga Saudi memperlakukan minoritas Syiah? Sudahkah kita memprotes pelanggaran atas hak-hak mereka? Tapi kita bersemangat sekali mengecam Israel; bukan karena kita peduli pada hak-hak dan kehidupan bangsa Palestina, bukan. Kita mengutuk Israel karena kita "membenci" mereka.

Umat Islam senang tinggal di Amerika tapi juga membencinya. Banyak yang secara terbuka mengatakan bahwa A.S. adalah negara teroris tapi mereka terus tinggal di situ. Keputusan mereka untuk tinggal di sini merupakan bukti bahwa mereka lebih suka tinggal di sini daripada di tempat lain. Sebagai Muslim India, saya tahu dengan pasti bahwa tidak ada tempat lain di dunia, termasuk India, di mana saya akan mendapatkan rasa martabat dan penghormatan yang sama dengan yang sudah saya terima di A.S. Tak ada satu negara Muslim pun yang akan memperlakukan saya sebaik di A.S. Seandainya saja peristiwa 11 September itu terjadi di India, negara demokrasi terbesar di dunia, ribuan kaum Muslim sudah akan terbantai dalam kerusuhan-kerusuhan yang hanya berdasarkan pada kecurigaan dan akan ada pembantaian lagi setelah penyebabnya jelas.

Tapi di A.S., prasangka dan ketakutan pada orang asing telah ditekan oleh media dan para pemimpin. Di banyak tempat ratusan orang Amerika telah berkumpul di pusat-pusat kegiatan Islam menunjukkan lambang perlindungan dan rangkulan terhadap umat Muslim. Di banyak kota jemaah Kristen mulai memakai jilbab untuk mengidentifikasikan diri mereka dengan para Muslimah sesama warga negara. Dalam kesabaran dan toleransi, banyak warga Amerika biasa telah menunjukkan kebajikan mereka yang luar biasa.

Sudah saatnya kita mengakui bahwa berbagai kebebasan yang kita nikmati di A.S. lebih kita kehendaki daripada solidaritas dangkal dengan Dunia Islam. Jika Anda tidak setuju, buktikanlah dengan mengemasi tas-tas Anda dan pergilah ke negara Muslim mana saja tempat Anda mengidentifikasikan diri. Jika Anda tidak pergi dan tidak mengakui bahwa Anda lebih suka tinggal di sini daripada di tempat lain, Anda tahu Anda sedang bersikap munafik.

Sudah saatnya kita menghadapi segala kemunafikan ini dan berusaha mengatasinya. Sudah saatnya para pemimpin Islam Amerika berjuang memurnikan diri mereka dengan nama Islam.

Selama lebih satu dasawarsa ini kita menyaksikan umat Muslim atas nama Islam melakukan kekejaman terhadap Muslim lain dan orang lain. Kita senantiasa menemukan cara untuk mencocokkan jarak yang sangat jauh antara nilai-nilai Islam dan praktek Islam dengan menunjuk pada ketidakadilan yang dilakukan terhadap Muslim oleh pihak lain. Intinya adalah demikian: keyakinan kita pada Islam dan komitmen kita pada nilai-nilai Islam tidak bergantung pada tingkah-laku moral A.S. dan Israel. Dan sebagai Muslim, dapatkah kita berduka atas penghilangan nyawa secara tidak berperikemanusiaan dan keji itu atas nama Islam?

Korban-korban terbesar dari politik yang penuh kebencian sebagaimana terwujud dalam tindakan-tindakan beberapa milisi Muslim di seluruh dunia adalah Muslim pula. Kebencian merupakan bentuk ekstrem dari tidak adanya toleransi dan jika ada individu atau kelompok yang tunduk padanya, mereka bisa melakukan hal-hal yang tidak konstruktif. Milisi seperti Taliban sudah menyebabkan kebencian mereka pada Barat mengabaikan kewajiban mereka untuk memajukan kesejahteraan rakyat mereka dan sebagai akibat dari tindakan mereka bukan saja ribuan orang tak bersalah sudah tewas di Amerika, tapi ribuan orang juga akan tewas di Dunia Muslim.

Sudah setengah juta rakyat Afganistan terpaksa harus meninggalkan rumah dan negeri mereka. Tapi perang justru akan bertambah buruk. Hamas dan Jihad Islam mungkin bisa membunuh beberapa orang Yahudi, termasuk wanita dan anak-anak, dengan bom bunuh diri mereka dan untuk sementara dapat memuaskan rasa haus mereka akan darah Yahudi, tapi ribuan orang Palestina nantinya harus membayar harga dari tindakan mereka.
Budaya kebencian dan pembunuhan mulai mengoyak-oyak jalinan moral masyarakat Muslim. Kita lebih memberi perhatian pada "orang lain" dan sama sekali sudah lupa pada kewajiban kita terhadap Allah. Dalam upaya menegakkan jihad kecil, kita sudah mengorbankan jihad besar.

Kebangkitan Islam, cita-citanya yang luhur untuk memperoleh tujuan akhir berupa keadilan universal dan masyarakat yang bermoral sudah dibajak oleh kebencian dan seruan bagi pembunuhan dan aniaya. Kalau saja bin Laden itu hanya satu orang saja, maka kita tidak akan ada masalah. Namun sayangnya bin Laden sudah menjadi semacam fenomena - sebuah kanker yang menggerogoti moralitas kaum muda kita, dan mencemari kesehatan rohani masa depan kita.

Sekarang kebangkitan Islam yang telah berlangsung seabad ini berada dalam bahaya karena kita telah membiarkan kegilaan menyelemuti kearifan penilaian kita. Ya, A.S. telah berperan dalam penciptaan sosok bin Laden dan Taliban, namun kitalah yang telah membiarkan mereka berkembang dan memperoleh pijakan kuat. Merupakan kewajiban kita untuk memantau dunia kita. Adalah tanggung jawab kita untuk mencegah orang menyalahgunakan Islam. Adalah pekerjaan kita untuk memastikan Islam tidak disalahartikan. Mestinya sudah kita pastikan bahwa apa yang telah terjadi pada 11 September seharusnya tidak pernah terjadi.

Kini saatnya bagi para pemimpin Muslim Amerika untuk bangkit dan menyadari bahwa ada lebih banyak hal bagi kehidupan daripada sekadar menyaingi lobi Yahudi Amerika untuk mencari pengaruh dalam kebijakan luar negeri A.S. Islam tidak bicara soal mengalahkan kaum Yahudi atau menaklukkan Jerusalem. Islam bicara soal kemurahan hati, tentang kebajikan, tentang pengorbanan dan tentang kewajiban. Di atas itu semua adalah usaha mencapai kesempurnaan moral. Tak ada yang bisa lebih menjauhkan diri kita dari kesempurnaan moral ketimbang pembantaian keji atas ribuan orang tak berdosa. Saya harap sekarang kita akan kembali mengabdikan hidup kita dan lembaga kita untuk memperoleh keharmonisan, perdamaian dan toleransi. Mari kita siapkan diri untuk lebih menanggung ketidakadilan daripada menciptakan ketidakadilan.

Bagaimanapun, kitalah yang mengemban tanggung jawab suci Islam dan bukan orang lain. Kita harus lebih baik secara moral, lebih murah hati, dan lebih berkorban daripada yang lain, jika kita ingin meyakinkan dunia tentang kebenaran pesan agama kita. Kita bahkan tidak boleh sejajar dengan pihak lain dalam soal kebajikan, kita harus mengungguli mereka.

Sekarang saatnya untuk mempertimbangkan masak-masak. Bagaimana mungkin pesan dari Nabi Muhammad S.A.W., yang diutus sebagai rahmat bagi umat manusia, bisa berubah menjadi sumber teror dan ketakutan? Bagaimana mungkin Islam memberi ilham kepada ribuan kaum muda agar membaktikan hidup mereka untuk membunuh manusia lainnya? Seharusnya kita mengundang orang untuk datang kepada Islam, bukannya membunuh mereka.

Pameran terburuk tentang Islam telah terjadi di depan mata kita sendiri. Kita harus menjadi pihak yang pertama untuk memikul tanggung jawab membersihkan kebatilan yang baru saja terjadi. Ini adalah mandat bagi kita, tanggung jawab kita dan juga kesempatan kita.