Monday 29 June 2009

Pendidikan Moral Orang Jepang

Oleh: Murni Ramli
(Mahasiswa Program Doktor Graduate School of Education and Human Development,Nagoya University, Jepang)

Artikel di 28 Juli 2008

Sebuah poster di kereta bawah tanah di Nagoya, Jepang mengilustrasikan ketidaksopanan sebagai penumpang kereta. Seorang siswa SMA digambarkan duduk dengan posisi kaki mengangkang sehingga mengambil tempat yang lebar, dan tas besarnya diletakkan di depan, menghalangi orang untuk berdiri bebas. Gambar lain tentang seorang gadis yang berbicara melalui telepon genggam dengan suara keras, sehingga mengganggu penumpang lain.

Tidak hanya poster, kendaraan umum di Jepang sangat terkenal dengan sarat peringatan dan ajakan untuk mematuhi norma-norma, misalnya larangan untuk menelepon, berbicara keras, dan beberapa tindakan yang mengganggu.

Ketika datang pertama kali ke Jepang, saya berdecak kagum dengan kerapihan, ketertiban dan kedisiplinan warga Jepang mengantri masuk ke dalam kereta. Tidak ada yang berebut, bahkan anak kecil pun berdiri sabar menunggu giliran. Dari mana kedisiplinan itu dibangun ? Menjawab pertanyaan ini tidaklah gampang jika analisa hanya didasarkan pada peraturan hukum, pun tidak bisa sekedar dilihat sebagai wacana sosial politik. Secara teoritis dan empirik, dapat dikatakan bahwa kedisiplinan itu erat kaitannya dengan pendidikan.

Bagaimana sekolah-sekolah di Jepang mengajarkan kedisiplinan dapat kita cermati melalui pendidikan moralnya. Norma dalam masyarakat Jepang sangat terkait dengan ajaran Shinto dan Budhha, tetapi menariknya kedua agama ini tidak diajarkan di sekolah dalam bentuk pelajaran wajib, seperti halnya pelajaran agama di Indonesia. Namun nilai-nilainya diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah.

Pendidikan moral di dalam bahasa Jepang disebut ‘doutokukyouiku‘. Kata doutoku berarti moral dan kyouiku berarti pendidikan. Kata ‘doutoku‘ terdiri dari dua kata yaitu ‘dou‘ yang berarti jalan dan kata ‘toku‘ yang berarti virtue atau kebaikan. Penggunaan kata ‘dou‘ dalam terminologi Jepang banyak sekali, misalnya judou, kendou, akidou (olahraga tradisional Jepang), shodou (kaligrafi), sadou (tradisi minum teh) yang dalam pemahaman orang Jepang memerlukan ketekunan untuk mencapai taraf tertinggi. Demikian pula moral atau kebaikan, memerlukan ketekunan untuk menemukan ‘jalan’ mencapainya.

Karenanya, pendidikan moral di sekolah-sekolah di Jepang tidak diajarkan sebagai sebuah mata pelajaran khusus, tetapi diintegrasikan dalam semua mata pelajaran. Secara khusus wali kelas bertanggung jawab untuk mendiskusikan aturan kelas, aturan bermain bersama, atau hubungan kerjasama antaranggota kelas dalam 35 jam setiap tahun di SD dan SMP. Dalam pelajaran lain seperti seikatsuka atau pendidikan tentang kehidupan sehari-hari, siswa SD diajari tatacara menyeberang jalan, adab di dalam kereta, yang tidak saja berupa teori, tetapi guru juga mengajak mereka untuk bersama naik kereta dan mempraktekkannya. Wali kelas juga menyampaikan kasus pelanggaran, dan mengajak siswa untuk mendiskusikan pemecahannya. Pendidikan moral di SMA selanjutnya menjadi pendidikan kewarganegaraan. Pembekalan prinsip dasar hidup yang kuat di masa pendidikan dasar inilah yang membuat kedisiplinan dan keteraturan dalam masyarakat Jepang.

Ketika berbicara tentang sains, yang muncul di kepala kita adalah teori dan rumus yang harus dihafalkan. Demikian pula ketika kita mendengar istilah pendidikan sosial, maka imajinasi akan mengerucut pada sejumlah uraian panjang tentang konsep hubungan manusia dengan makhluk, dan saat kita berbicara tentang pendidikan agama, maka otomatis kita merujuk kepada hubungan manusia dengan Tuhannya.
Pola pemikiran yang seperti itu yang membuat kita terjebak dan memisahkan ranah pembicaraan sains dan moral, sains dan agama, sosial dan sains, dan sebagainya, padahal sebenarnya pembelajaran dengan menyatukan kesemua konsep akan menciptakan pemahaman yang mendalam.

Kegiatan mempelajari pohon dalam pelajaran IPA di sebuah SD di Jepang menggambarkan bahwa siswa diarahkan tidak saja untuk memahami pohon secara ilmiah, tetapi mereka diajak pula untuk menempatkan pohon sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Dengan konsep ini siswa akan peduli dengan kondisi pohon di sekitarnya. Sebagai dampaknya, tidak ada penebangan liar di Jepang.

Ketika mengajarkan tentang dinamika air, guru tidak saja mengajarkan konsep bahwa air mengalir dari tempat yang tinggi ke rendah, atau air mempunyai kekuatan yang bisa menghasilkan energi, tetapi empati siswa untuk menjaga kebersihan sumber-sumber air dan ekosistemnya adalah bentuk pembelajaran yang melengkapi inti pembelajaran sains.

Jika ingin mencontoh Jepang, pendidikan moral di Indonesia sudah saatnya beralih dari pendidikan teori kepada pendidikan praktis.

Tuesday 23 June 2009

Neoliberalisme Vs Ekonom Kerakyatan


Dari Diskusi Freedom Institute

Mendengar Istilah "Ekonomi Neoliberalisme" ingat Prof. Boediono, sedangkan mendengar istilah "Ekonomi Kerakyatan" ingat Prof.Emil Salim dan Prof.Mubiarto.
Sementara itu bagi orang awam istilah-istilah itu membingungkan mereka jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah. Benarkah Neoliberalisme sungguh-sungguh bagaikan monster yang siap menerkam rakyat kecil? atau jangan-jangan istilah itu hanyalah merupakan imajinasi semata? atau sebagai bentuk baru dari sebuah perlawanan orang-orang sosialis yang telah frustasi menghadapi serangan ekonomi liberal?, Betulkah faham ini yang menjadi biang kerok kehancuran ekonomi Indonesia - yang kemudian dijadikan isu politik oleh lawan politik SBY? Relevankah membedakan neoliberalisme dengan ekonomi keakyatan jika dilihat dari kebijakan-kebijakan negara-negara liberal pada masa ini?

Penunjukkan Boediono sebagai cawapres Susilo Bambang Yudhoyono telah memantik polemik hangat tentang arah pembangunan ekonomi Indonesia. Para pendukung pasangan capres-cawapres Mega-Pro dan JK-Wiranto menyerang ekonomi yang diusung SBY-Boediono sebagai pengusung agenda “neoliberal,” sambil mengklaim pendekatan ekonomi mereka sendiri sebagai “ekonomi kerakyatan.”

Untuk memahami apa yang dimaksud ekonomi kerakyatan dan neoliberal, Freedom Institute, Liberal Society, Café Salemba, dan Friedrich Naumann Stiftung, menggelar diskusi tentang isu ini bersama M. Ikhsan Modjo (INDEF) dan Arinto A. Patunru (LPEM UI), pada Selasa, 26 Mei 2009, di Kantor Freedom Institute, Jalan Irian No 8. Menteng, Jakarta.
Diskusi dipandu Luthfi Assyakaunie. Berikut jalan diskusi itu.
Untuk pertama kalinya, isu ekonomi menjadi isu penting dalam pemilihan presiden kali ini. Ini berbeda dengan pemilu presiden sebelumnya. Saat itu isu yang berkembang adalah isu Islam dan nasionalisme.

Neoliberalisme sendiri merupakan nomenklatur yang diciptakan dari luar. Istilah umum yang dikenal adalah liberalisme. Ia berangkat dari filsafat pada masa pencerahan Eropa berupa kebebasan individu dan pasar yang otonom.
Istilah neoliberal muncul pertama kali tahun 1960-an, bersamaan dengan gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin. Istilah neoliberal datang dari mereka yang tidak menyukai istilah liberalisme.

Sementara, istilah ekonomi kerakyatan sudah dikenal sejak sebelum kemerdekaan. Adalah Muhammad Hatta yang pertama kali memperkenalkan. Pada tahun 1930-an, Hatta menyebutnya dengan istilah “ekonomi rakyat.” Apa yang disebut ekonomi rakyat adalah ekonomi pribumi. Tujuan Hatta adalah membela kepentingan ekonomi pribumi.
Tak cuma Hatta yang menulis soal ekonomi kerakyatan. HOS Tjokroaminoto juga menulis soal ini. Dalam perspektif Tjokroaminoto dia membedakan dua jenis kapitalisme. Yakni kapitalisme yang baik dan kapitalisme yang jahat. Kapitalisme yang baik adalah ekonomi pribumi sementara kapitalime yang jahat adalah kekuatan ekonomi penjajah.

Dengan demikian, ekonomi kerakyatan pada masa sebelum kemerdekaan adalah ekonomi pribumi melawan ekonomi penjajahan. Sedang pada masa awal kemerdekaan, ekonomi kerakyatan berubah tafsir menjadi ekonomi rakyat miskin melawan ekonomi pengusaha besar.

Pada tahun 1960-an, juga ada program demokrasi ekonomi. Program ini berusaha melibatkan rakyat dalam ekonomi. Dengan demokrasi ekonomi, modal diharapkan dikuasai oleh masyarakat dan digunakan sepenuh-penuhnya untuk kepentingan rakyat.

Pada tahun 1980-an, ekonomi kerakyatan berubah istilah menjadi ekonomi Pancasila. Namun semangatnya masih sama seperti ekonomi kerakyatan pada masa pra kemerdekaan.
Perdebatan neoliberal dan ekonomi kerakyatan pada saat pemilihan presiden menunjukkan semakin matangnya kehidupan berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia. Berpolitik tidak lagi identik dengan pelemparan isu-isu sempit yang bersifat ideologis dan sektarian, tetapi lebih kepada isu-isu pragmatis dan ekonomi. Ini merupakan pertanda sehat walau tidak sempurna

Sementara, kemunculan neoliberal pada tahun 1960-an dilatarbelakangi oleh beragam kegagalan kebijakan ekonomi teknokratis dan intervensionis. Neoliberal mensyaratkan dua hal. Pertama, meminimalisir intervensi negara. Dan kedua, mengakui kebebasan individu.
Neoliberal adalah sebuah istilah yang digunakan dari berbagai teori kontemporer anti intervensi yang dikembangkan pada konteks historis, politik dan institusi tertentu. Ia juga merupakan perkawinan aliran ekonomi neoklasik yang menganut paham kebebasan pasar di satu sisi, dengan mazhab politik Libertarian-Austria yang mengusung kebebasan dan kemerdekaan individu di sisi lain.

Setidaknya ada beberapa model yang dikenal dalam kelompok neoliberal. Model-model itu adalah model monetaris, penolakan terhadap perencanaan terpusat, kekakuan lembaga,principal agent model of bureaucracy, perburuan rente serta penolakan terhadap perusahaan publik dan privatisasi.

Untuk model terakhir, kaum neoliberal berpendapat bahwa perusahaan publik merupakan salah satu sumber utama dari inefisiensi ekonomi dan stagnasi yang dialami negara berkembang. Untuk konteks negara berkembang seperti Indonesia, di mana inefisiensi perusahaan publik sering terjadi, kebijakan privatisasi banyak mendapat dukungan.
Lalu, dengan berbekal kesuksesan aplikasi kebijakan di negara maju, World Bank, IMF dan Departemen Keuangan Amerika Serikat sepakat untuk mengeneralisasi teori itu dengan apa yang sekarang dikenal sebagai Washington Consensus. Setidaknya ada 10 kebijakan inti dari Washington Consensus itu.

Sepuluh kebijakan itu adalah: displin kebijakan fiskal; pengalihan belanja subsidi, kecuali subsidi langsung pada belanja pendidikan, kesehatan dan infrastruktur; reformasi pajak –memperluas basis pajak dan penurunan tingkat pajak; suku bunga yang ditentukan pasar dan positif secara riil; nilai tukar kompetitif; liberalisasi perdagangan, terutama penghapusan lisensi dan penerapan tarif tunggal; liberalisasi investasi langsung asing; privatisasi BUMN; deregulasi; dan perlindungan hak milik.

Namun Washington Consensus juga memicu kritik. Kelompok sayap kiri menuduh penghapusan subsidi bertujuan untuk mempercepat pembayaran utang ke negara maju.

George Stiglitz sendiri juga mengritik liberalisasi tanpa penahapan dan persiapan yang cukup. Kegagalan Washington Consensus dinilai Stigltitz dibuktikan oleh fakta bahwa perekonomian negara-negara yang menerapkan bukan saja tidak membaik, melainkan malah memburuk, seperti kasus Argentina dan Indonesia. Stigltitz menyarankan liberalisasi seharusnya dimulai dari sektor riil, perdagangan lalu keuangan. Sementara di Indonesia posisinya malah terbalik. Sektor keuangan terlebih dahulu diliberalisasi melalui Pakto 88, baru sektor perdagangan dan sektor riil.

Kelemahan pemikiran neoliberal juga muncul sebagai akibat kelahiran “kawin kepentingan” antara aliran neoklasik yang memberikan legitimasi akademis-intelektual, dan tradisi Libertarian-Austria sebagai sumber retorik politik.

Dari paparan ini, dapat dikatakan bahwa apa yang dinamakan neoliberal tidak lebih dari kumpulan pemikiran anti intervensi pemerintah dalam perekonomian yang sangat beragam dan bisa saja bertentangan dengan akar pemikiran neoklasik. Akan tetapi terlepas dari kekurangan dan bias inteletual, ia juga menunjukkan kepada kita berbagai kelemahan fundamental dari visi teknokratik dalam suatu perekonomian.

Ekonomi kerakyatan sendiri merupakan kumpulan pemikiran tentang sebuah orientasi kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat jelata, baik di sisi komsumsi dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar dan pokok, maupun di sisi produksi dengan berpihak pada usaha kecil menengah.

Penemu istilah ekonomi kerakyatan pertama kali adalah Emil Salim. Ia menulis istilah itu dalam sebuah artikel koran pada tanggal 30 Juni 1966. Sementara yang mempopulerkan adalah Mubyarto dengan istilah ekonomi Pancasila pada tahun 1980-an.
Namun, apa yang dinamakan ekonomi kerakyatan baru sebatas semantik, karena belum serius menjawab peran negara, pasar dan individu seperti teori-teori ekonomi pada umumnya.
Perbedaan tajam yang membedakan ekonomi kerakyatan dan neoliberal adalah peran pemerintah. Pada ekonomi kerakyatan pemerintah diharap melakukan intervensi dan berpihak pada rakyat banyak, sementara ekonomi liberal mengandaikan pemerintah netral dan tidak campur tangan.

Lantas bagaimana wajah pemerintah SBY sekarang? Boleh dibilang pemerintahan SBY sekarang adalah pemerintah dengan corak ekonomi neoliberal kerakyatan. Disebut kerakyatan, karena pemerintah juga melakukan intervensi. Salah satunya dengan program pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Pemerintah juga menggulirkan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM). Tapi dikatakan neoliberal karena di sisi lain, pemerintah juga meliberalkan investasi asing.

Di luar isu liberalisasi modal asing dan privatisasi, agenda ekonomi rakyat tidak banyak bertentangan langsung dengan pemikiran neoliberal. Bahkan, pemerintah saat ini bisa menggabungkan keduanya. Jargon ekonomi rakyat memang lebih terkesan pada pemrioritasan sektor pertanian dan UMKM. Karenanya, ekonomi rakyat kurang tepat untuk menjadi jargon melawan liberalisasi dan privatisasi.

Sumber: www.vivanews.com

Monday 15 June 2009

Hutang Adalah Instrumen Untuk Mencapai Kesejahteraan




Saduran
Dalam: "Wimar Live" di Metro TV

05 June 2009

oleh Didiet Adiputro


Persepsi negatif masyarakat kita terhadap hutang luar negeri tidak terlepas dari trauma masa lalu pada zaman Orde Baru, dimana kita berhutang dalam jumlah yang sangat besar tanpa ada transparansi dalam pemakaiannya. Belum lagi pendapat beberapa ekonom yang mejadi panutan seperti Prof. Sumitro Djojohadikusumo yang mengatakan 30 persen dari APBN kita pasti bocor (dikorupsi). Hal tersebut ditengarai menjadi penyebab masyarakat kita hingga kini bersikap antipati terhadap hutang.

Padahal menurut Sri Mulyani, hutang hanyalah instrumen penerimaan negara untuk mengatasi defisit. Karena kita tidak hanya bisa mengandalkan sektor penerimaan pajak disaat kondisi kesadaran pajak masyarakat kita masih rendah. Belum lagi kewajiban membayar beban hutang masa lalu (Orde Baru) yang membuat kebutuhan kita semakin besar.

Dengan kondisi hutang luar negeri kita yang mencapai 1.640 Triliun, Sri Mulyani mengakui jumlah hutang kita memang bertambah, tapi itu tidak buruk. Jika dibandingkan dengan Jepang yang hutangnya mencapai 150 persen dari PDB, sementara kita 30 persen dari PDB. Indonesia masih masuk kategori aman dengan jumlah hutang tersebut. Disaat banyak negara-negara raksasa ekonomi seperti India yang mengalami defisit APBN sekitar 6 persen dan AS yang mencapai defisit 9 persen, justru Indonesia tahun 2008 hanya defisit sebesar 0,1 persen. Secara makro kondisi hutang kita sebenarnya masih dalam situasi yang belum membahayakan.

Namun Sri Mulyani menyayangkan sikap para politisi saat ini yang sering menggunakan kata hutang sebagai salah satu jargon politik untuk mendapatkan simpati masyarakat. "Kekhawatiran masyarakat akan hutang justru disebabkan karena ketidaktahuan itu sendiri", ujar mantan Kepala Bappenas ini.

Yang penting di era keterbukaan sekarang pengawasan penggunaan hutang dilakukan secara bersama dan berlapis. Jika dulu tidak pernah jelas jumlah dan penggunaannya untuk apa, saat ini anggaran yang ada diawasi oleh internal auditor seperti BPKP, ditambah kondisi DPR yang makin kritis dan BPK yang independen. Masyarakat, LSM. Pengamatpun bebas mengontrol dan mengetahui penggunaan hutang yang selalu diupdate dalam website. Sehingga hutang yang kita punya bisa digunakan untuk membangun berbagai hal yang mempunyai manfaat ekonomi yang lebih besar dari nilai hutang tadi.

Menjawab isu yang mengaitkan dirinya sebagai antek IMF yang punya stigma buruk di masyarakat. Mantan ketua LPEM UI ini mengatakan bahwa sebagian orang yang mencekoki masyarakat dengan konsep seperti itu sehingga menimbulkan ketakutan di masyarakat akan IMF. Mungkin ini dilakukan agar mereka terlihat seperti pahlawan dan berkepentingan untuk membuat masyarakat Indonesia tetap bodoh, agar dia bisa berkuasa. "Indonesia anggota IMF, makanya seluruh menteri keuangan yang menjadi anggota IMF otomatis menjadi anggota board, ini sama seperti Presiden mengirim dubes saja", tuturnya. Sri Mulyani sendiri ditunjuk sebagai anggota Board Director di IMF oleh Presiden Megawati. “itu bukan keinginan saya sendiri tapi ditunjuk oleh Presiden Megawati untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia dan 11 negara lainnya”, ujarnya

Thursday 4 June 2009

Prita Mulyasari

Dunia hukum merasa dipermalukan lagi bulan ini dengan adanya kasus Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga, yang ditahan di LP Wanita Tangerang, gara-gara menyampaikan keluhannya (uneg2) kepada teman-teman dekatnya melalui email atas pengalamannya berobat di RS OMNI Internasional Tangerang. Email itu kemudian menyebar melalui mailing lis ke public.
Dalam emailnya, Prita merasa dibohongi oleh diagnosa dokter ketika dirawat di RS tersebut pada Agustus 2008. Dokter semula memvonis Prita menderita demam berdarah, namun kemudian menyatakan dia terkena virus udara. Tak hanya itu, dokter memberikan berbagai macam suntikan dengan dosis tinggi, sehingga Prita mengalami sesak nafas.

Itu yang kemudian membuat Prita pindah rumah sakit. Saat hendak pindah ke RS lainnya, Prita mengajukan komplain karena kesulitan mendapatkan hasil laboratorium medis. Namun, keluhannya kepada RS Omni Internasional itu tidak pernah ditanggapi, sehingga dia mengungkapkan kronologi peristiwa yang menimpanya kepada teman-temannya melalui email dan berharap agar hanya dia saja yang mengalami hal serupa.
PT Sarana Mediatama Internasional, pengelola rumah sakit itu, rupanya menganggap nama baiknya tercemar oleh email tersebut, mereka lalu menggugat Prita, baik secara perdata maupun pidana. Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan Prita kalah dalam gugatan perdata dengan hukuman – kalau tidak salah Rp.300 jutaan. Sedangkan sidang pidananya sedang berlangsung.
Dalam rangka pidana ini, sejak 13 Mei lalu Prita dititipkan Kejaksaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang (Rabu petang 3 Juni sudah dibebaskan dari LP dan hanya dikenakan tahanan luar setelah mendapat tekanan yang luar biasa dari berbagai pihak – tidak terkecuali Presiden SBY dan Wakil Presiden JK). Jadi Prita nginap di Penjara selama 14 hari. Yang paling menyentuh adalah dia harus terpisah dengan anaknya yang masih kecil kecil.
Kejanggalannya adalah pasal yang dikenakan oleh Polisi berbeda dengan Jaksa, jika Polisi hanya mengenakan pasal pencemaran KUHP – dengan alasan ini Polisi tidak menahan Prita di samping menurut pihak kepolisian, ada alasan kemanusiaan, karena Ibu Prita memiliki 2 orang anak yang masih sangat kecil yang masih sangat membutuhkan Ibunya – sedangkan Jaksa rupanya menambahnya dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang memberi ancaman hukuman maksimal 6 tahun dan atau denda Rp. 1 miliar (baca pasal 27 ayat 3 UU No. 11 Th 2008) dengan alasan ini maka Jaksa menahan Prita. Jaksa jelas tidak mempertimbangkan unsur kemanusiaan di sini.
Anehnya UU ITE sebenarnya belum berlaku tetapi entah dengan alasan apa dipergunakan oleh Jaksa, selanjutnya Jaksa juga melanggar prosedur Hukum Acara karena penambahan itu seharusnya dikembalikan ke Polisi dan Polisilah yang menambahkan untuk diajukan kembali ke Jaksa.
Kitapun bertanya mengapa Ibu Prita harus ditahan, Secara pribadi saya berpendapat bahwa hukum harus diletakkan dalam semangat bingkai “kemanusiaan dan keadilannya” Jika tidak maka hukum itu sama saja seperti mesin penghukum yang tidak memiliki hati. Bayangkan gara2 email yang isinya cuma keluhan harus mendapat ganjaran seberat itu? Gila!.
Kecurigaan kita tertuju pada Jaksa yang semberono menempatkan hukumnya. Demikian juga Hakim Perdata yang mengabulkan gugatan Rumah Sakit – sama-sama aneh. Jangan heran jika timbul kecurigaan terhadap Jaksa maupun Hakim, kedua lembaga ini masih kerap ditengarai menerima uang suap.

Berikut ini adalah email Prita yang dikutip dari http://www.mail-archive.com/parentsguide@yahoogroups.com/msg09863.html

From: prita mulyasari [mailto:prita. mulyasari@ yahoo.com]
Sent: Friday, August 15, 2008 3:51 PM
To:
Subject: Penipuan OMNI Iternational Hospital Alam Sutera Tangerang

Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya, terutama anak-anak, lansia dan bayi. Bila anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan RS dan title International karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat dan suntikan.
Saya tidak mengatakan semua RS International seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International.
Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB, saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala, datang ke RS. OMNI Intl dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus. Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000, saya diinformasikan dan ditangani oleh dr. Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap.
Dr. Indah melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000. Dr. Indah menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan tapi saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr. Indah adalah dr. Henky. Dr. Henky memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau ijin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr.Henky visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?), saya kaget tapi dr. Henky terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa ijin pasien atau keluarga pasien.
Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat kuatir karena dirumah saya memiliki 2 anak yang masih batita jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.
Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apapun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu box lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul. Tangan kiri saya mulai membengkak, saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr.Henky namun dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan.
Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa, setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr. Henky saja.Esoknya dr. Henky datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi, saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah tapi dr. Henky tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.
Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr. Henky saja. Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.
Esoknya saya dan keluarga menuntut dr. Henky untuk ketemu dengan kami namun janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr. Henky mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi.
Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri saya. Dr, Henky tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan, dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr. Henky bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. Dr. Henky menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat namun saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.
Dalam catatan medis, diberikan keterangan bahwa BAB saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow upnya samasekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000. Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000, kepala lab saat itu adalah dr. Mimi dan setelah saya complaint dan marah-marah, dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.
Saya mengajukan complaint tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Ogi (customer service coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan complaint, saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Ogi yang tidak ada service nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan complaint tertulis.
Dalam kondisi sakit, saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen, atas nama Ogi (customer service coordinator) dan dr. Grace (customer service manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.
Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000 makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.
Tanggapan dr. Grace yang katanya adalah penanggung jawab masalah complaint saya ini tidak profesional samasekali. Tidak menanggapi complaint dengan baik, dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr. Mimi informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen dan dr. Henky namun tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular, menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak, kalau kena orang dewasa yang ke laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.
Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.
Suami saya datang kembali ke RS Omni menagiih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut. Saya telepon dr. Grace sebagai penanggung jawab compaint dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya namun sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang kerumah saya.
Kembali saya telepon dr. Grace dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah, ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali, dirumah saya tidak ada nama Rukiah, saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. Logikanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya kemana kan ? makanya saya sebut Manajemen Omni PEMBOHONG BESAR semua.
Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang. Terutama dr. Grace dan Ogi, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard International yang RS ini cantum.
Saya bilang ke dr. Grace, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami, pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.
Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap. Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah FIKTIF dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.
Saya dirugikan secara kesehatan, mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin tapi RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.
Ogi menyarankan saya bertemiu dengan direktur operasional RS Omni (dr. Bina) namun saya dan suami saya terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.
Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.
Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing, benar tapi apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dpercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan, semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis, mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.
Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni, tolong sampaikan ke dr. Grace, dr. Henky, dr.Mimi dan Ogi bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda.
Saya informasikan juga dr. Henky praktek di RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.

salam,

Prita Mulyasari

Manohara

Akhir-akhir ini Manohara menyedot perhatian yang luar biasa dari masyarakat Indonesia. Semua media massa, baik cetak maupun elektronik membuat berita Manohara sebagai berita nomor wahid. Sepanjang hari terutama 2 hari pertama seluruh stasiun televisi antri mewawancarainya. Hal ini terjadi karena identitasnya yang eksklusif. Dia adalah anak hasil perkawinan campuran antara orang yang berkebangsaan Prancis (Ayah) dan kebangsaan Indonesia (Ibu). Perempuan yang memiliki nama lengkap Manohara Odelia Pinot ini memiliki wajah yang cantik nan jelita disertai denga sikapnya yang sedikit lugu menambah cepatnya aliran simpati kepadanya. Sebelum kawin dia berprofesi sebagai model yang, menurut agen model yang menanganinya saat itu, memiliki harapan yang cemerlang. Manohara sendiri berasal dari keluarga bangsawan Bugis.

Prospeknya di dunia model harus ditinggalkan secara sepihak karena harus melaksnakan pernikahan dengan seorang pangeran, Muhammad Fakhry Petra, putra raja kerajaan Kelantan, Malaysia, pada 26 Agustus 2008.

Dia melaksanakan perkawinan di usia yang sangat muda, 17 tahun, kabarnya terpaksa karena mereka telah melakukan hubungan suami isteri. Sebagai orang Islam dan sesama bangsa Melayu, perbuatan itu adalah aib – apalagi dilakukan oleh anak raja yang sangat terhormat , maka sebelum aib itu terbaca oleh publik keduanya harus segera dinikahkan secara resmi.

Pernikahan yang dilaksanakan di Negeri Kelantan itu Manohara dinikahkan oleh Wali Hakim di depan penghulu disana tentunya yang dihadiri seluruh keluarga dan kerabat kedua belah pihak. Ayah Manohara sendiri saat itu berada di Amerika. Tidak jelas apakah dia mengetahui pernikahan itu atau tidak. Lebih jauh lagi apakah Manohara mendapat ijin?, jika Manohara tidak memiliki ijin resmi dari Ayahnya maka perkawinan itu dapat dimohon pembatalan oleh keluarga, demikian UU Perkawinan Indonesia mengaturnya.

Persoalan lain adalah Manohara saat itu memiliki dwi kewarganegaraan yakni kewarganegaan Amerika dan kewarganegaraan Indonesia. Dalam UU Kewarganegaraan Indonesia seseorang yang belum berumur 18 tahun dari hasil perkawinan campuran maka dia adalah warganegara Indonesia (asas kelahiran/Ius Solli) (baca pasal 4 s.d. ps 5 UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan) Manohara sendiri lahir di Indonesia maka Undang-undang menempatkan status kewarganegaraannya sebagai warga negara Indonesia. Sementara dia lahir dari Ayah yang berdarah Prancis tapi berkewarganegaran Amerika, negara ini menggunakan asas ius sanguinis (keturunan) maka otomatis juga Manohara berkewarganegaraan Amerika. Jadi dia memiliki kewarganegaraan ganda (dwi kewarganegraan) bahkan belakangan setelah kawin menjadi 3 kewarganegraaan sekaligus.

Jika seseorang melakukan perkawinan dengan warganegara lain maka status kewarganegaraannyapun mengikuti kewarganegaraan suaminya tetapi setelah yang bersangkutan melaksanakan hak opsinya, apakah akan memilih warganegara Indonesia atau mengikuti suaminya (baca pasal 58 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).

Dalam kasus Manohara kita tidak mengetahui informasi akan legalitas kewarganegaraanya maupun perkawinannya, karena kita lebih tertarik mendengar kasus penganiayaan atas dirinya oleh suaminya sendiri selama perkawinan.

Menurut Manohara selama perkawinan tidak pernah mendapat kebahagiaan, selama perkawinannya yang 2.5 tahun tersebut Manohara hanya dijadikan mainan oleh suaminya, bahkan disiksa dengan disilet, disetrika, di sundut rokok dan sebagainya. Tentu saja kasus ini menjadi perhatian luas dari seluruh masyarakat. Kasus ini menjadi kasus kemanusiaan (pelanggaran hak asasi manusia) bukan sekedar kasus rumah tangga. Bahkan apabila tidak dikelola dengan baik bisa-bisa menjadi persoalan antar bangsa apalagi disaat yang bersamaan persoalan pulau Ambalat sedang menjadi perhatian publik yang tidak kalah menariknya. Sebagaimana kita ketahuai hari hari terakhir ini kapal perang Malaysia sering memasuki wilayah kedaulatan RI yang menyebabkan kemarahan bangsa Indonesia. Belum lagi persoalan TKI yang tidak henti2nya bermasalah. Semuanya menjadi bahaya jika konflik tidak dikelola secara benar.

Apabila Manohara memiliki bukti-bukti kuat atas penyiksaan dirinya, maka bisa dipastikan hal ini akan menjadi persoalan yang akan menyedot perhatian publik baik di Indonesia maupun di Malaysia. Sebab kasusnya dilakukan oleh anak seorang Raja yang sangat berkuasa di negerinya.

Lalu Pengadilan manakah yang akan mengadilinya?

Dalam hukum Indonesia, suatu kasus hanya dapat diadili di tempat kasus itu terjadi (locus delicti), artinya Manohara harus mengajukan tuntutan ke pengadilan Malaysia. Persoalannya adalah apakah Pengadilan Malaysia bisa dipercaya? Mengingat Fahry adalah anak Raja, sementara Manohara hanya seorang selebritis.

Karena itu kemungkinan yang terjadi adalah kasus ini harus dibawa ke Mahkamah Internasional di Den Hag atas tuduhan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Hal lain yang juga mendapat perhatian kita adalah, adanya kecurigaan terhadap Kedubes RI di Malaysia tidak serius menangani kasus ini, sebab dari penuturan Manohara sudah sering sekali dia mencoba mengadukan masalahnya tetapi respon Kedubes dianggap tidak serius. Artinya bahwa pihak Kedubes jelas-jelas tidak memiliki naluri kenegaraan dan semangat untk melindungi warganegaranya yang sedang tertimpa musibbah. Ini sangat bertentangan dengan tujuan dari Negara itu sendiri yang memiliki kewajiban melindungi setiap warganegaranya dimanapun berada dan dalam keadaan apapun juga.

Kita mengetahui Manohara bisa melepaskan dirinya dari sekapan suaminya setelah ia berada di Singapura bersama keluarga besar Kerajaan. Dia ditolong oleh Polisi Singapura, berkat kerjasama Deplu Indonesia/Kedubes Indonesia di Singapura, Kedutaan Besar Amerika, setelah Mano berteriak-teriak di dalam lift sambil memencet alarm di sebuah hotel di Singapura tempat Raja dan keluarga menginap selama menjalankan pengobatan jantung. Polisi Singapura dan Polisi Amerika (FBI) segera datang kurang lebih 20 menit setelah ditelpon oleh Ibunya Manohara yang saat itu ada di ruang lobby hotel. Drama pembebasan Manoharapun berlangsung secara professional. Amerika bisa menolong karena Manohara juga berstatus sebagai warganegara Amerika.

Sekarang kita masih menunggu Manohara memberikan bukti atas penganiayaannya berupa visum.